Pandemi Covid-19 telah berdampak nyata meningkatkan jumlah anak putus sekolah. Sejumlah anak yang masih sekolah pun berisiko putus sekolah. Sinergi antarpemangku kepentingan diperlukan untuk mengatasi masalah ini.
Oleh
Yovita Arika
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pandemi Covid-19 telah berdampak nyata pada bertambahnya anak putus sekolah. Pemantauan dampak Covid-19 melalui pendataan Sistem Informasi Pembangunan Berbasis Masyarakat di 1.104 desa menunjukkan, 938 atau satu persen anak berusia 7-18 tahun putus sekolah, mayoritas karena alasan ekonomi.
Pemantauan tersebut dilakukan melalui sensus terbatas pada sekitar 109.000 keluarga miskin penerima Program Keluarga Harapan dan Bantuan Langsung Tunai-Dana Desa di 1.404 desa yang mempunyai anak usia 4-18 tahun. Dari sekitar 145.000 anak yang dipantau, lebih dari 13.500 (11 persen) anak usia 7-18 tahun sudah putus sekolah sebelum pandemi.
Meskipun baru mewakili data di 1.404 desa, kondisi tersebut memperlihatkan dampak nyata pandemi terhadap pendidikan di Indonesia. Sebelum pandemi, berdasarkan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2019, lebih dari 4,34 juta atau 7,9 persen anak berusia 7-18 tahun putus sekolah.
Anak yang putus sekolah karena pandemi Covid-19 kebanyakan usia SMA. Alasan utama faktor ekonomi, yaitu karena tidak ada biaya. Kebanyakan mereka bekerja.
”Anak yang putus sekolah karena pandemi Covid-19 kebanyakan usia SMA. Alasan utama faktor ekonomi, yaitu karena tidak ada biaya. Kebanyakan mereka bekerja,” kata Hiroyuki Hattori, Chief of Education Unicef Indonesia, dalam acara peluncuran Strategi Nasional Penanganan Anak Tidak Sekolah (ATS) dan Diseminasi Hasil Monitoring ATS dan Anak Berisiko Putus Sekolah (ABPS) akibat Pandemi Covid-19 yang diselenggarakan secara daring oleh Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas), Rabu (23/12/2020).
Pemantauan yang dilakukan Unicef Indonesia bersama Direktorat Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa (PPMD) Kementrian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Kemendes PDTT) tersebut juga menemukan, 70 persen ABPS karena pandemi. Dari jumlah itu, sebanyak 30 persen berisiko tinggi putus sekolah.
Faktor ekonomi karena anak harus bekerja membantu orangtua, kurangnya fasilitas pembelajaran jarak jauh, dan tugas pengasuhan menjadi faktor risiko terbesar yang berpotensi menyebabkan anak putus sekolah. Pada Maret 2020, penduduk miskin di Indonesia bertambah 1,63 juta orang.
Pelaksana Tugas Direktur Jenderal PPMD Kemendes PDTT Rosidah Rahmawati mengatakan, jumlah ATS karena dampak pandemi paling banyak di Provinsi Gorontalo (2,7 persen), paling rendah di Bengkulu (0,1 persen). Sementara ABPS paling tinggi di Papua, lebih dari 50 persen, dan paling rendah di Bengkulu sebesar 18 persen.
”Data ini tidak hanya data mati, tetapi kami berharap tindak lanjut dari desa dan semua pemangku kepentingan. Pendataan ini agar dapat direplikasi desa-desa lainnya, saat ini baru dilakukan di 1.104 desa, total ada 17.000-an desa di Indonesia,” katanya.
Strategi Nasional (Stranas ATS) yang disusun pemerintah melalui Kementerian PPN/Bappenas bekerja sama dengan Unicef ini bertujuan memberikan penguatan kebijakan dan program lintas pelaku, baik pusat maupun daerah, dalam penanganan permasalahan ATS. Stranas ATS mengedepankan strategi intervensi dan strategi pencegahan.
Strategi intervensi ditujukan mengembalikan ATS ke program pendidikan dan pelatihan yang relevan. Adapun strategi pencegahan untuk memastikan anak yang berisiko putus sekolah tetap bersekolah sampai tuntas pendidikan dasar dan menengah 12 tahun.
”Permasalahan ATS bukan semata fenomena sosial atau ekonomi. ATS terkait erat dengan isu akses dan kualitas pendidikan, perlindungan anak, ketenagakerjaan, isu hukum, dan lainnya. Sinergi lintas pelaku dan lintas sektor menjadi kunci penanganan ATS,” kata Menteri PPN/Kepala Bappenas Suharso Monoarfa.
Suharso mengatakan, pendataan yang tepat sasaran menjadi kunci penanganan ATS. Salah satu strategi pendataan melalui Sistem Informasi Pendidikan Berbasis Masyarakat (SIPBM) yang terintegrasi dengan Sistem Informasi Desa (SID). Sistem ini dapat mengidentifikasi ATS secara rinci. Selanjutnya data yang ada bisa menjadi landasan bagi daerah untuk menyusun strategi penanganan ATS yang spesifik dan terarah.
Menteri Desa, PDTT Abdul Halim Iskandar mengatakan, semua desa harus miliki daftar anak sekolah, ATS, dan anak tidak sekolah. Sesuai dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) Desa ke-4, yaitu pendidikan desa berkualitas, pemerintah desa bisa menyediakan bantuan biaya pendidikan hingga tingkat menengah atas.
”Penyediaan smarthphone (telepon pintar) dan langganan internet bersama juga dapat dilakukan desa. Jika dibutuhkan, desa bisa membiayai operasionalisasi anak-anak di luar sekolah,” kata Iskandar.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Anwar Makarim mengatakan, jumlah anak yang mendapatkan layanan pendidikan terus meningkat. Meskipun begitu, masih ada masalah ATS dan ABPS karena kurangnya ketersediaan layanan pendidikan terutama di daerah terdepan, terluar, dan terbelakang (3T), serta karena faktor ekonomi.
”Pandemi memberi hikmah yang begitu banyak kepada kita. Upaya tetap kita lakukan agar pendidikan tetap berlangsung untuk anak-anak, mulai dari bantuan kuota, subsidi upah untuk tenaga pendidik, relaksasi penggunaan dana BOS (bantuan operasional sekolah), penyesuaian uang kuliah tunggal dan beasiswa, dan kurikulum di masa darurat yang mengutamakan kompetensi dasar. Selain itu juga melanjutkan PIP, retreival untuk ATS, serta menyediakan layanan pendidikan anak-anak untuk daerah 3T, seperti sekolah garis depan dan sekolah berasrama,” tutur Nadiem.