Koalisi Jurnalis Cirebon: Kekerasan hingga Serangan Digital Mengancam
Koalisi Jurnalis Cirebon menggelar aksi peringatan Hari Kebebasan Pers Sedunia di Tugu Proklamasi, Kota Cirebon, Jawa Barat, Senin (30/5/2022). Massa menuntut semua pihak menjaga kebebasan pers.
Oleh
ABDULLAH FIKRI ASHRI
·3 menit baca
CIREBON, KOMPAS — Koalisi Jurnalis Cirebon menggelar aksi peringatan Hari Kebebasan Pers Sedunia atau World Press Freedom Day di Tugu Proklamasi, Kota Cirebon, Jawa Barat, Senin (30/5/2022). Dalam aksi tersebut, massa mengingatkan adanya ancaman kekerasan fisik hingga serangan digital terhadap jurnalis.
Koalisi Jurnalis Cirebon merupakan kolaborasi antara Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bandung, Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Cirebon Raya, sejumlah organisasi pers kampus (seperti Fatsoen dan unsur mahasiswa), serta para jurnalis di wilayah Cirebon. Dalam aksinya, massa berorasi dan menampilkan berbagai poster.
Poster itu berisi harapan dan tuntutan massa aksi, seperti ”Jurnalis Harus Independen”, ”Tolak Kekerasan terhadap Jurnalis”, ”Jurnalis Ramah Gender”, hingga ”Jurnalis Ramah Anak”. ”Ini aksi refleksi terhadap Hari Kebebasan Pers Sedunia yang diperingati setiap 3 Mei dan rangkaiannya selama bulan Mei,” ujar Nurul Fajri, koorinator aksi.
Sejak 3 Mei 1993, Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa memproklamasikan Hari Kebebasan Pers Sedunia. Momentum tersebut untuk mengingatkan berbagai pihak terkait kebebasan pers dan menghormati para jurnalis yang gugur saat menjalankan kerja jurnalistik.
Jauh dari harapan
Meskipun sudah 29 tahun lalu masyarakat dunia memberikan perhatian untuk kebebasan pers, menurut Fajri ,kondisi jurnalis masih jauh dari harapan. Rabu (11/5/2022) lalu, misalnya, jurnalis Al Jazeera, Shireen Abu Akleh (51), dibunuh dalam serangan tentara Israel di kawasan Jenin, wilayah pendudukan Tepi Barat.
”Kasus tersebut menunjukkan jurnalis belum sepenuhnya terlindungi,” ucap anggota AJI Bandung tersebut.
Di Indonesia, kasus pembunuhan jurnalis juga masih menghantui. Kasus pembunuhan Fuad Muhammad Syafruddin, wartawan harian Bernas, Yogyakarta, pada 1996, misalnya, hingga kini belum terungkap pelakunya.
Panji Prayitno, anggota AJI Bandung, menambahkan, peringatan Hari Kebebasan Pers Sedunia juga diinisiasi AJI di 20 kota di Indonesia, seperti Bandung dan Kendari. Di Cirebon, pihaknya juga mengampanyekan Hari Kebebasan Pers Sedunia dalam acara bincang-bincang di Pilaradio, Cirebon, Jumat lalu.
”Untuk jurnalis, kami mengingatkan agar menjaga kode etik jurnalistik dan tetap profesional. Kepada pemerintah dan aparat keamanan, diharapkan melindungi jurnalis, termasuk menuntaskan kasus kekerasan terhadap jurnalis,” ujar Panji.
AJI, lanjutnya, mencatat, sejak 1996 hingga 2016 terdapat 12 kasus pembunuhan terhadap jurnalis. Delapan kasus di antaranya masih terbengkalai.
Massa aksi juga mengingatkan masyarakat agar menaati Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. ”Misalnya, jika ada protes tentang pemberitaan, masyarakat bisa mengajukan hak jawab atau hak koreksi ke media bersangkutan, bukan main sikat ke polisi. Sengketa pers diselesaikan di Dewan Pers,” ungkapnya.
Dengan begitu, lanjutnya, jurnalis bisa terlindungi. Apalagi, kasus kekerasan terhadap jurnalis terus terjadi. AJI mencatat, sejak 2006 hingga awal 2022, terdapat 911 kasus kekerasan kepada jurnalis. Kasus itu meliputi kekerasan fisik, ancaman teror, hingga serangan digital. ”Saat ini, serangan digital marak terjadi, seperti doxing atau peretasan,” kata Panji.
Pada 23 Februari lalu, misalnya, akun Whatsapp, Instagram, dan Facebook Ketua Umum AJI Indonesia Sasmito mengalami peretasan. Telepon genggamnya juga tak dapat menerima panggilan dan pesan pendek. Keesokan harinya, empat poster berisi informasi palsu atau disinformasi beredar di Twitter.
Kerja jurnalis dilindungi undang-undang. Itu sebabnya, pers menjadi salah satu pilar demokrasi. Tanpa kebebasan pers, demokrasi tidak ada.
Serangan tersebut diduga terkait dengan aktivitas AJI yang kerap menyuarakan kebebasan pers di Papua dan hak kebebasan berekspresi masyarakat Wadas. ”Kami mendorong aparat keamanan untuk menindak serangan digital terhadap jurnalis,” ujar Panji.
Ketua IJTI Cirebon Raya Faizal Nurathman menambahkan, kasus kekerasan juga mengancam jurnalis di Cirebon. Seorang rekan jurnalis televisi di Cirebon, lanjutnya, pernah diminta aparat menghapus videonya karena merekam kekerasan polisi yang diduga dilakukan kepada pendemo pada unjuk rasa RUU Cipta Kerja 2020. Padahal, jurnalis itu telah menunjukkan identitasnya.
”Kerja jurnalis dilindungi undang-undang. Itu sebabnya, pers menjadi salah satu pilar demokrasi. Tanpa kebebasan pers, demokrasi tidak ada,” ujar Faizal.