Upaya percepatan penurunan angka ”stunting” menghadapi tantangan baru berupa kenaikan inflasi. Wakil Presiden Ma’ruf Amin memimpin rapat salah satunya guna membahas cara-cara untuk mengatasi tantangan baru tersebut.
Oleh
MAWAR KUSUMA WULAN
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah berupaya mencapai target penurunan angka prevalensi stunting atau tengkes hingga 14 persen pada 2024. Pada 2022 ini, angka prevalensi stunting ditargetkan turun minimal 3 persen dari angka saat ini yang masih mencapai 24,4 persen. Upaya menurunkan target tengkes ini diakui cukup berat karena menghadapi tantangan baru berupa kenaikan harga bahan pangan akibat kenaikan inflasi yang terjadi di seluruh dunia.
”Perlu koordinasi, konvergensi antarsemua kelembagaan, termasuk juga pengaturan pendanaannya dari berbagai kementerian dan lembaga dan dari pertemuan-pertemuan ini, kita harapkan ada percepatan-percepatan karena intervensi-intervensi yang dilakukan dari berbagai lembaga bisa efektif dan tepat sasaran,” ujar Wakil Presiden Ma’ruf Amin dalam keterangan pers seusai memimpin Rapat Koordinasi Tim Percepatan Penurunan Stunting (TPPS) Pusat di Istana Wapres, Jakarta Pusat, Rabu (11/5/2022).
Rapat Koordinasi TPPS Pusat ini, antara lain, dihadiri Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin, Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Hasto Wardoyo, Kepala Kantor Staf Presiden Moeldoko, serta berbagai pejabat terkait.
Ketika mendampingi Wapres Amin dalam keterangan pers seusai rapat, Sri Mulyani menyebut bahwa upaya percepatan penurunan stunting menghadapi tantangan baru berupa kenaikan inflasi.
Seiring pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal pertama tahun 2022 yang mencatatkan angka 5,01 persen, Sri Mulyani meyakini bahwa ekonomi rumah tangga, terutama untuk kalangan menengah ke bawah yang rentan stunting, secara bertahap akan membaik. ”Karena kalau menengah atas dilihat dari indikator tabungan dana pihak ketiga, tabungan mereka di perbankan sebetulnya naik tumbuh 10 persen,” ujarnya.
Proses pemulihan ekonomi juga masih bergantung pada kondisi pandemi Covid-19. ”Kenapa inflasi seluruh dunia naik karena ada permintaan terhadap komoditas yang melonjak karena negara-negara maju pulih ekonominya cepat, suplainya enggak nututi (mengikuti), ditambah dengan perang di Ukraina yang menyebabkan suplai dari energi dan pangan juga terkena sehingga meningkatkan lebih tinggi lagi harga-harga tadi,” ujarnya.
Menurut Sri Mulyani, negara-negara berkembang mengalami inflasi, bahkan ada yang hingga di atas 8 persen. Sesuai data Badan Pusat Statistik (BPS), inflasi di Indonesia saat ini masih 3,5 persen. ”Namun, kita waspada beberapa barang, terutama barang makanan tadi yang memengaruhi stunting, harus kita waspadai. Yang kedua inflasi yang tinggi pasti akan menyebabkan risiko kebijakan moneter, yaitu kenaikan suku bunga,” ucap Sri Mulyani.
Kenaikan suku bunga ini dipastikan akan mengerem pemulihan ekonomi. ”PR kita masih ada yang harus kita selesaikan dan muncul tantangan baru. Nah, rapat hari ini mengenai stunting, melihat secara lebih tajam apa yang sudah kita capai apa yang belum dan harus diakselerasi serta bagaimana koordinasi lebih baik,” ucapnya.
Sinkronisasi anggaran
Penurunan stunting 3 persen bisa dicapai dengan koordinasi bersama, terutama untuk pendataan. Anggaran terbesar untuk penanganan tengkes berada di Kementerian Sosial dalam bentuk bantuan sosial PKH (Program Keluarga Harapan) dan bantuan lain, seperti BLT (bantuan langsung tunai). ”Ini semuanya adalah karena kita tahu di bawah belum tentu pulihnya secepat mereka yang menengah atas,” ujar Sri Mulyani.
Ia juga mendorong agar penggunaan anggaran harus lebih sinkron karena lebih dari Rp 34 triliun anggaran belanja berada di 17 kementerian. ”Ada yang betul-betul direct stunting, ada yang supporting stunting. Itu harus diyakinkan, mereka koordinasi terutama sampai level desa. Tadi Kepala BKKBN minta dana desa harus juga ikut mengurangi jumlah stunting karena kita mentransfer hampir Rp 70 triliun dana desa,” katanya.
Muhadjir Effendy menambahkan, berdasarkan data yang ada, tingkat level ekonomi masyarakat paling bawah sudah membaik. Hal ini terutama karena pemerintah telah melakukan intervensi dalam bentuk pemberian bantuan sosial yang dinilai sudah berjalan dengan baik.
Pemerintah juga berupaya menangani tengkes secara holistik, mulai dari perbaikan lingkungan, sanitasi lingkungan, air bersih, hingga perbaikan rumah tidak layak huni yang diintegrasikan dengan penanganan stunting dan penanganan kemiskinan ekstrem. ”Karena itu rapat yang dipimpin Pak Wapres mengintegrasikan itu, memastikan anggaran-anggaran yang sekarang ada di pos-pos kementerian dan lembaga bisa dikoordinasikan, disinkronkan, kemudian bisa digunakan secara simultan,” katanya.
Ketika memimpin rapat, Wapres Amin menyampaikan agar setiap kementerian/lembaga dapat menyusun rencana pencapaian setiap target antara dan memastikan kecukupan dana, sarana, serta kapasitas implementasinya. ”Pelaksanaan program harus dipantau, dievaluasi, dan dilaporkan secara terpadu dan berkala sehingga dapat diketahui perkembangan, capaian, dan kendala yang dihadapi dalam pelaksanaannya,” katanya.
Menurut Wapres, BKKBN sebagai ketua tim pelaksana penanganan stunting perlu didukung semua kementerian/lembaga terkait sesuai tugas pokok dan fungsi masing-masing. ”Selain itu, perlu dipastikan agar Rencana Aksi Nasional Penurunan Angka Stunting Indonesia (RAN PASTI) digunakan sebagai pedoman untuk percepatan penurunan stunting di tingkat lapangan,” ucap Wapres.
Wapres juga meminta sinergi terkait alokasi anggaran penurunan stunting tahun anggaran 2022, baik melalui APBN, APBD, maupun Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa. Wapres mengarahkan agar penanganan stunting difokuskan pada daerah-daerah dengan angka prevalensi tinggi dan daerah yang mempunyai jumlah anak stunting tinggi melalui intervensi yang lebih intensif, pendanaan yang terkonsolidasi dan terpadu, sehingga lebih efektif dan efisien.
”Selain Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Barat, Aceh, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Sulawesi Tengah, dan Nusa Tenggara Barat yang mempunyai prevalensi tinggi, perlu juga diperhatikan daerah yang punya jumlah anak stunting yang banyak, seperti di Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, Banten, dan Sumatera Utara. Daerah-daerah ini yang perlu mendapat perhatian,” katanya.