Vonis Bebas Syafri Harto Jadi Preseden Buruk Penindakan Kasus Pelecehan Seksual
Putusan bebas Dekan Fisip nonaktif UNRI dinilai tidak adil bagi korban dan akan jadi preseden buruk bagi penanganan kasus-kasus serupa selanjutnya. Kejaksaan ajukan kasasi.
PADANG, KOMPAS — Vonis bebas Pengadilan Negeri Pekanbaru terhadap Syafri Harto (53), terdakwa kasus pelecehan seksual terhadap mahasiswanya di Universitas Riau, disesalkan sejumlah pihak. Putusan bebas bagi Dekan Fisip nonaktif itu dinilai tidak adil bagi korban dan akan menjadi preseden buruk bagi penanganan kasus-kasus serupa selanjutnya.
Direktur Pusat Pengembangan Sumberdaya Wanita (PPSW) Riau Herlia Santi, Kamis (31/3/2022), mengatakan, ia menghargai putusan pengadilan. Namun, ia juga menyesalkan vonis bebas tersebut karena bakal berdampak terhadap korban L, terutama secara psikologis.
Menurut Herlia, proses hukum yang sudah sampai ke persidangan menandakan penyidik mempunyai alat bukti yang cukup dalam kasus dugaan pelecehan seksual ini. Proses penyelidikan hingga sampai persidangan sudah sesuai prosedur.
”Kami kecewa. Vonis bebas ini nanti bakal menjadi contoh atau pola negatif pada kasus lain. Biar saja masuk pengadilan, nanti bisa dibilang alat bukti kurang,” kata Herlia ketika dihubungi dari Padang, Sumatera Barat, Kamis.
Baca juga: Dekan FISIP UNRI Nonaktif Divonis Bebas atas Kasus Pelecehan Seksual
Herlia melanjutkan, upaya mengawal kasus kekerasan terhadap perempuan ini memang berat, apalagi jika masih mengedepankan adanya alat bukti yang terlihat jelas. Menurut dia, bakal sulit mendapatkan bukti rekaman video saat kejadian berlangsung.
”Mana ada kasus kekerasan seksual, yang orang diajak untuk melihat, disediakan CCTV untuk direkam, kan tidak ada,” ujarnya.
Kata Herlia, vonis bebas itu akan berdampak bagi perempuan korban kekerasan seksual lainnya. Vonis seperti ini bakal menjadi trauma bagi korban lainnya bahwa percuma saja mengungkap dan melaporkan kasus serupa. Meskipun sudah sampai persidangan, ada kemungkinan korban kalah.
”Korban perempuan semakin takut untuk melapor dan speak up. Semakin tidak percaya terhadap proses hukum yang dialami perempuan korban,” kata Herlia.
Ditambahkan Herlia, PPSW Riau bakal tetap terus memperjuangkan agar hak korban tetap terpenuhi dan tidak menjadi korban lagi di dalam sistem peradilan. Ia juga berharap jaksa penuntut umum mengajukan kasasi atas putusan tersebut.
Kekecewaan serupa diungkapkan oleh tim Advokasi Korps Mahasiswa Hubungan Internasional (Komahi) Universitas Riau (Unri) Agil Fadlan. Menurut dia, vonis bebas itu tidak adil dan bakal menjadi preseden buruk dalam upaya penegakan hukum kasus kekerasan seksual di Indonesia.
Baca juga: Diduga Melecehkan Mahasiswi, Dekan FISIP UNRI Jadi Tersangka
Menurut Agil, sangat sedikit korban yang berani untuk melapor atau speak up seperti korban L. Banyak pertimbangan korban dalam melaporkannya, antara lain masa depan perkuliahan dan stigma buruk dari lingkungan. Keberanian dan perjuangan korban L mencari keadilan sangat luar biasa.
Akan tetapi, berkaca pada kasus ini, kata Agil, korban seperti sudah jatuh malah tertimpa tangga pula. Korban terpaksa kembali menjadi korban.
”Ke depannya, tidak akan ada korban-korban yang akan berani untuk speak up dan melapor karena kemarin sudah jelas bahwa pengadilan bukan tempat mencari keadilan bagi korban kekerasan seksual. Ke depannya, korban kekerasan seksual akan kehilangan harapan untuk mendapatkan keadilan,” kata Agil.
Menurut Agil, hakim tidak melihat kasus ini lebih jauh, tetapi hanya pada bukti dan saksi yang minim sehingga disimpulkan kejadian itu tidak terbukti. Hakim tidak melihat kasus kekerasan seksual itu dengan perspektif korban atau pendekatan jender. Hal itu sangat berpengaruh dalam pertimbangan hakim dalam memutuskan.
Komahi dan aliansi mahasiswa Unri, kata Agil, bakal mendorong dan mendesak jaksa untuk melakukan kasasi. Mahasiswa terus mengawal kasus ini hingga benar-benar final. ”Kami yakin, korban mengatakan hal yang benar. Kami yakin, keadilan masih ada,” ujarnya.
Baca juga: Darurat, Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi
Presiden Mahasiswa Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Unri Kaharuddin HSN DM mengatakan, mahasiswa sangat kecewa terhadap putusan pengadilan yang melupakan adanya relasi kuasa antara terdakwa dan korban.
”Mengungkap kasus pelecehan seksual itu tidak bisa disamakan dengan kasus lainnya. Diperlukan keyakinan dari hakim untuk melihat dan mendengar apa yang disampaikan saksi-saksi saat persidangan,” kata Kaharuddin.
BEM Unri juga mendesak jaksa penuntut umum untuk melakukan langkah kasasi. Itu upaya selanjutnya yang bisa ditempuh agar keadilan dan kebenaran terungkap. ”BEM Unri akan terus mengawalnya sampai tuntas,” ujarnya.
Kasasi
Secara terpisah, Kepala Seksi Pidana Umum Kejaksaan Negeri Pekanbaru Zulham Pardamean Pane mengatakan, kejaksaan segera menyatakan kasasi atas putusan tersebut. ”Pertimbangannya karena semua dakwaan yang didakwakan tidak terbukti dan tidak memenuhi rasa keadilan pada korban,” katanya.
Pertimbangannya karena semua dakwaan yang didakwakan tidak terbukti dan tidak memenuhi rasa keadilan pada korban.
Sebelumnya, kata Zulham, jaksa penuntut umum menuntut hukuman 3 tahun penjara bagi terdakwa Syafri Harto. Dakwaannya, antara lain, dakwaan primer melanggar Pasal 289 KUHP, subsider melanggar Pasal 294 Ayat 2 ke-2 KUHP, dan lebih subsider melanggar Pasal 281 ke-2 KUHP.
Vonis bebas terhadap terdakwa Syafri Harto yang dibacakan di PN Pekanbaru, Rabu (30/3/2022), dimpimpun Ketua Majelis Hakim Estiono. Dalam petikan putusan yang Kompas terima, terdakwa Syafri Harto tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana dakwaan primer, dakwaan subsider, dakwaan lebih subsider penuntut umum.
”Membebaskan terdakwa oleh karena itu dari dakwaan primer, dakwaan subsider, dakwaan lebih subsider penuntut umum tersebut,” kata Estiono, Rabu. Dalam sidang putusan itu, Estiono didampingi hakim anggota, yaitu Tommy Manik dan Yuli Artha Pujayotama.
Hakim juga memerintahkan penuntut umum agar mengeluarkan terdakwa dari tahanan. Selanjutnya, juga memulihkan hak terdakwa Syafri Harto dalam kemampuan, kedudukan, dan martabatnya.
Kuasa hukum
Atas putusan bebas itu, kuasa hukum korban L, Rian Sibarani dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pekanbaru, mengatakan menghormati putusan hakim yang dibacakan di PN Pekanbaru, Rabu. Walakin, ia kecewa terhadap putusan bebas tersebut.
”Tentunya putusan ini tidak membawa kegembiraan bagi penyintas (L), ini juga semakin membuktikan bahwa kasus kekerasan seksual itu sulit untuk diadili karena pertimbangan kurangnya saksi sehingga perbuatan itu dinyatakan tidak terbukti,” kata Rian, Rabu kemarin.
Menurut Rian, hakim tidak berpedoman pada Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2017. Hakim juga tidak mempertimbangkan adanya relasi kuasa yang timpang antara terdakwa dan penyintas yang berstatus sebagai dosen dan mahasiswa. LBH Pekanbaru meminta jaksa penuntut umum untuk melakukan upaya hukum kasasi.
Sementara itu, kuasa hukum Syafri Harto, Dody Fernando, mengatakan bersyukur atas vonis bebas tersebut. ”Putusan itu sudah sesuai fakta yang terungkap di persidangan. L juga menjelaskan, pada kejadian itu tidak ada kekerasan atau ancaman,” kata Dody. Terkait kemungkinan diajukannya kasasi, Dody mengaku, pihaknya siap menghadapi.
Bimbingan skipsi
Kuasa hukum L dari LBH Pekanbaru, Noval Setiawan, Kamis (18/11/2021), mengatakan, dugaan kasus pelecehan seksual ini terjadi pada 27 Oktober 2021. Waktu itu korban mengikuti bimbingan skripsi dengan Syafri Harto. Dalam bimbingan itu, terduga pelaku mulai bertanya soal privasi korban, lalu mengarah ke hal lain, dan terjadilah perbuatan pelecehan seksual.
Korban mengadukan perbuatan tersangka kepada beberapa dosen, tetapi tidak ada tindak lanjut. Korban kemudian bertemu dengan teman-teman Korps Mahasiswa Hubungan Internasional (Komahi) UNRI, lalu mereka berbicara di Instagram dan viral.
Sehari setelah viral, pada Jumat (5/11/2021) LBH Pekanbaru mendampingi L untuk melapor ke Polresta Pekanbaru. Di tengah jalan, kasus diambil alih oleh Polda Riau. Syafri Harto ditetapkan sebagai tersangka oleh Polda Riau pada 18 November 2021.
Kepala Bidang Humas Polda Riau Komisaris Besar Sunarto, Kamis (18/11/2021), mengatakan, penetapan Syafri sebagai tersangka sudah melalui proses penyelidikan. Penyelidik sudah mengumpulkan keterangan saksi-saksi dan barang bukti.
Tersangka dikenai Pasal 289 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dan/atau Pasal 294 KUHP Ayat (2) e. ”Ancaman hukumannya sembilan tahun penjara,” ujar Sunarto.
Sementara Dody pada saat itu mengatakan, berdasarkan sejumlah saksi, Syafri Harto tidak melakukan perbuatan yang dituduhkan pelapor pada hari dan waktu tersebut.