Desa-desa di Borobudur Kembangkan Permainan Tradisional dan Budaya Spiritual
Sebanyak 20 desa di Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, mulai mengangkat dan mengembangkan potensi lokal mereka, yakni permainan tradisional dan budaya spiritual. Diharapkan berdampak pada perekonomian.
Oleh
REGINA RUKMORINI
·4 menit baca
MAGELANG, KOMPAS — Sebanyak 20 desa di Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah terus menggali dan mengembangkan ragam potensi budaya spiritual dan permainan tradisional di daerahnya. Selain sebagai upaya pelestarian, pengembangan potensi lokal itu diharapkan dapat berdampak positif pada perekonomian warga desa setempat.
”Dengan pemanfaatan dan pengembangan yang tepat, semua ragam potensi lokal yang ada di desa tersebut bisa dikemas menjadi paket wisata yang semakin menambah daya tarik kunjungan wisatawan ke desa-desa di kawasan Borobudur,” ujar Direktur Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Masyarakat Adat, Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Sjamsul Hadi.
Sjamsul ditemui saat hadir dalam Lokakarya Pemajuan Budaya Spiritual dan Permainan Rakyat dan Olahraga Tradisional di Balai Ekonomi Desa (Balkondes) Ngargogondo, Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang, Rabu (2/3/2022).
Ia mengatakan, tahun 2021, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan telah mendampingi 20 desa itu dan mengajak warga, terutama kalangan pemuda-pemuda desa, untuk menemukan dan menggali potensi lokal yang ada di tiap desa. Dari upaya tersebut, ditemukan sedikitnya 75 permainan tradisional, dan 400 jenis ragam kebudayaan lokal.
Tahun ini, setiap desa diminta segera menindaklanjutinya dengan mengembangkan semua temuan tersebut menjadi paket atau aktivitas wisata yang menarik bagi wisatawan.
Pihaknya juga berencana bekerja sama dengan sekolah untuk memasukkan permainan-permainan tersebut sebagai bagian dari aktivitas dalam pelajaran olahraga ataupun ekstrakurikuler. Dengan demikian, permainan bisa dimainkan secara rutin oleh anak-anak sebagai bagian dari pelestarian.
Tidak sekadar mengajarkan tata cara permainannya di sekolah, materi permainan tradisional tersebut juga akan diberi tambahan materi budaya spiritual di dalamnya sehingga anak-anak bisa mengetahui tentang makna kearifan lokal yang ada dalam setiap permainan.
Ditemukan sedikitnya 75 permainan tradisional dan 400 jenis ragam kebudayaan lokal.
”Sembari bermain, anak-anak nantinya diharapkan juga bisa belajar tentang bentuk-bentuk kebijakan dan kearifan lokal dari nenek moyangnya,” ujarnya.
Jika ingin menawarkannya sebagai aktivitas wisata, warga setempat pun diharapkan berinisiatif membuat alat-alat permainan tersebut untuk dijual kepada wisatawan. Adapun alat permainan di desa yang bisa dijual antara lain alat berbahan bambu atau tanah liat.
Kawasan Borobudur, menurut dia, sangat kaya dengan potensi budaya spritual. Pada bulan Sura atau Sapar sesuai penanggalan Jawa, misalnya, desa-desa di Kecamatan Borobudur juga sudah sepakat untuk bersama-sama menggelar Festival Ruwat Nusantara di lokasi masing-masing.
Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Magelang Azis Amin Mujahidin mengatakan, permainan tradisional sejak lama sudah diajarkan sebagai salah satu materi dalam pelajaran olahraga. Dia mengakui belum semua permainan tradisional yang tumbuh di masyarakat diperkenalkan kapada para murid.
”Kami masih harus melakukan inventarisasi dan identifikasi lebih lanjut karena jumlah permainan tradisional yang ada di desa-desa terbilang sangat banyak,” ujarnya.
Ke depan, dia pun berencana meningkatkan gairah bermain permainan tradisional, dengan cara menggelar lomba atau festival permainan.
Jiyo Martono, salah satu pegiat wisata di Desa Wringinputih di Kecamatan Borobudur, mengatakan, sembilan dusun di Desa Wringinputih memiliki ratusan ragam potensi lokal, yang terdiri dari permainan dan makanan tradisional serta berbagai ragam budaya spiritual.
Kebanyakan warga desa sama sekali tidak menyadari bahwa semua kekayaan potensi lokal itu layak untuk diunggulkan sebagai potensi wisata.
”Kebanyakan warga hanya menganggap bahwa semua konten lokal, seperti permainan tradisional ataupun budaya spiritual, itu adalah hal biasa, yang sebatas dijalankan sebagai rutinitas keseharian belaka,” ujarnya.
Sebagian besar warga, menurut dia, cenderung tidak memiliki kreativitas atau inisiatif untuk mengemas acara-acara desa. Desa sangat membutuhkan penggagas atau inisiator. Jika ada inisiator, warga akan antusias bekerja membantu pelaksanaan acara yang digagas.
Hari Sulikhah, salah satu perangkat Desa Wringinputih, mengatakan, Desa Wringinputih sangat kaya dengan cerita sejarah dan mitos. Di salah satu dusun, misalnya, setiap orang yang datang berkunjung dilarang membawa ternak angsa. Di dusun lain, warga dilarang menggunakan mebel atau perkakas berbahan kayu-kayu nangka.
Semua cerita-cerita menarik tersebut nantinya akan ditulis dalam sebuah buku. Adapun, buku-buku tersebut nantinya akan ditawarkan kepada siapa pun yang datang berkunjung pada acara, seperti bersih desa atau merti desa.