Universitas Islam Negeri Sunan Ampel, Surabaya, memandang kegaduhan dan reaksi berlebihan terhadap surat edaran Menteri Agama berpotensi mengganggu harmoni sosial dan kerukunan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Oleh
AMBROSIUS HARTO MANUMOYOSO
·3 menit baca
SURABAYA, KOMPAS — Kalangan warga Indonesia diimbau menyikapi secara bijaksana Surat Edaran Nomor 5 Tahun 2022 tentang Pedoman Penggunaan Pengeras Suara di Masjid dan Musala yang dikeluarkan oleh Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas.
Demikian diutarakan oleh Rektor Universitas Islam Negeri Sunan Ampel (UINSA) Prof Masdar Hilmy dalam jumpa pers di Gedung Rektorat UINSA, Surabaya, Jawa Timur, Jumat (25/2/2022). UINSA berpendapat penerbitan surat edaran (SE) bertujuan terutama merawat persaudaraan dan harmoni sosial.
”Kami bisa memahami semangat dan jiwa dari surat edaran itu untuk harmoni sosial dan kerukunan umat beragama,” ujar Masdar, Guru Besar Sosiologi Keislaman.
Kebijakan ini bukan yang pertama sebab pernah terbit SE Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam tentang Tuntunan Penggunaan Pengeras Suara di Masjid dan Mushola pada 17 Juli 1978. Artinya, negara sudah sejak lama menghendaki pengaturan kehidupan beragama demi kerukunan sosial.
Kebijakan Gus Men (Menteri Agama) tidak untuk menjerumuskan atau menimbulkan kerusakan dalam kehidupan umat beragama. Kami sangat memahami posisi regulasi ini (Masdar Hilmy)
Masdar melanjutkan, Menteri Agama adalah pejabat negara yang ditugaskan atas nama negara (Republik Indonesia) untuk menjaga kehidupan beragama dan harmoni sosial. ”Kami, sebagai perguruan tinggi Islam, tidak kesulitan mengikuti alur atau nalar surat edaran itu sehingga UINSA amat mendukung aturan dimaksud karena bertujuan untuk kerukunan umat beragama,” katanya.
Untuk itu, Masdar menyatakan rasa heran mengapa muncul reaksi yang berlebihan terhadap penerbitan SE atau pernyataan Menteri Agama tentang regulasi itu.
Dia bahkan memandang SE sebagai wujud kehadiran kebijakan negara untuk kemaslahatan publik. Dengan begitu, sepatutnya tidak ada alasan penolakan. UINSA tidak dalam posisi berprasangka buruk terhadap SE.
”Kebijakan Gus Men (Menteri Agama) tidak untuk menjerumuskan atau menimbulkan kerusakan dalam kehidupan umat beragama. Kami sangat memahami posisi regulasi ini,” ujarnya.
Masdar memandang, kontroversi terhadap SE malah muncul bukan dari subtansi regulasi tersebut, melainkan pernyataan Menteri Agama yang keliru dipahami oleh kalangan publik. Menteri Agama seolah menganalogikan ”gangguan” penggunaan pengeras suara dengan gonggongan anjing sehingga muncul tudingan penghinaan terhadap Islam.
”Perlu narasi yang mendidik dan sejuk untuk menjembatani analogi tadi. Yang jelas, betapa penting mengelola keragaman atau harmoni sosial karena merupakan anugerah tak ternilai bagi bangsa Indonesia,” katanya.
”Jangan-jangan, polemik yang berasal dari yang remeh-temeh berasal dari pihak-pihak yang ingin menciptakan kekacauan sosial dan kehancuran Indonesia,” ujar Masdar lagi.
Sementara Ketua Pusat Studi Moderasi Beragama UINSA Prof Ahmad Zainul Hamdi menambahkan, kampus secara resmi mendukung regulasi karena memang diperlukan agar ekspresi keberagamaan secara umum dan keberislaman secara khusus tidak mengganggu ketenteraman, ketertiban, dan kenyamanan dalam kehidupan bersama sebagai bangsa.
Kampus juga menghormati seluruh respons dari masyarakat terhadap kebijakan itu sebagai bagian dari kehidupan demokrasi di Indonesia. ”Mengecam pihak-pihak yang mendistorsi isi surat edaran ataupun penjelasan Menteri Agama terkait dengan tujuan regulasi itu sehingga distorsi menjadi fitah keji dan pembohongan terhadap publik,” ujar Ahmad, Guru Besar Sosiologi Agama dan Perbandingan Agama.
Ahmad mengatakan, negara berhak mengatur ekspresi keberagamaan di ruang publik untuk menjamin kerukunan kehidupan bangsa. Pengaturan tentang pengeras suara juga dilakukan oleh sejumlah negara dengan mayoritas penduduk beragama Islam.
Ahmad mencontohkan Mesir, Arab Saudi, dan Malaysia yang antara lain menggunakan pengeras suara luar hanya untuk azan. Pengajian dan atau syiar keagamaan memakai pengeras suara dalam.
Dalam SE No 5/2022 disebutkan pengumandangan azan menggunakan pengeras suara luar. Pengeras suara dalam dimanfaatkan untuk kegiatan syiar Rhamadan, gema takbir Idul Fitri, Idul Adha, dan upacara hari besar Islam kecuali jemaah membeludak atau melimpah ke luar tempat ibadah sehingga diperlukan pengeras suara luar. Volume pengeras suara diatur sesuai kebutuhan dengan kekuatan paling besar 100 desibel (dB).