NTT Siaga Menghadapi Ancaman Bencana Jelang Akhir Musim Hujan
Koordinasi dan kolaborasi semua pihak dalam mengantisipasi terjadinya bencana di NTT sangat diperlukan. Untuk itu, Polda NTT menggelar apel gabungan kesiapsiagaan bencana.
Oleh
KORNELIS KEWA AMA
·3 menit baca
KUPANG, KOMPAS — Belajar dari badai siklon tropis Seroja akhir musim hujan tahun 2021, Kepolisian Daerah Nusa Tenggara Timur menggelar apel gabungan kesiapsiagaan bencana. Saat ini, NTT dalam puncak musim hujan yang bakal berakhir Maret-April 2022.
Koordinasi dan kolaborasi untuk mendapatkan upaya dalam penanganan bencana secara pasti. Januari-17 Februari 2022 terjadi 34 bencana di provinsi ini dan menyebabkan dua warga meninggal.
Apel gelar pasukan itu dipimpin Komandan Pangkalan Utama TNI Angkatan Laut VII Kolonel Laut (P) Heribertus Yodho Warsono di Lapangan RickySitohang Kepolisian Daerah Nusa Tenggara Timur (NTT). Apel kesiapsiagaan ini untuk membangun pemahaman yang sama mengenai keterlibatan semua pihak menghadapi musim hujan dan masa berakhirnya musim hujan tahun ini.
Apel ini memastikan bahwa TNI-Polri, pemda, BMKG, BPBD, Basarnas, dan semua instansi terkait kebencanaan siap siaga menghadapi musim hujan sampai masa musim hujan berakhir. Belajar dari pengalaman akhir musim hujan 2021 saat terjadi badai siklon tropis Seroja yang meluluhlantakkan sebagian wilayah NTT, kesiapsiagaan perlu digalakkan sejak dini.
Kegiatan tersebut juga untuk memastikan semua elemen masyarakat benar-benar siap dari segi kekuatan personel, kemampuan, serta kelengkapan sarana dan prasarana yang akan digunakan sebelum turun ke lapangan menangani bencana. Sarana dan prasarana dalam menangani bencana agar selalu tersedia, termasuk juga kualitas dan kegunaannya.
Bencana itu dipahami secara lebih luas tidak hanya kejadian yang menyebabkan korban jiwa, tetapi juga kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis. NTT rawan bencana. Hampir semua jenis bencana terjadi di provinsi kepulauan ini.
Mengantisipasi
Gubernur NTT Viktor Laiskodat mengajak semua pihak mengantisipasi kemungkinan terjadi bencana yang dipicu cuaca ekstrem. Para bupati dan wali kota serta masyarakat tetap diminta meningkatkan kewaspadaan dan terus memonitor informasi cuaca dari BMKG, memastikan peringatan dini tersampaikan ke masyarakat. Membangun posko siap siaga saat terjadi cuaca ekstrem dan melaporkan setiap perkembangan situasi di lapangan sedini mungkin.
Petugas lapangan menetapkan titik evakuasi, memastikan jalur evakuasi aman dan diketahui warga, serta memastikan ketersediaan logistik terutama beras dan lainnya untuk kondisi darurat. Upaya lain adalah dengan menebang, membersihkan ranting pohon yang rapuh dan mudah patah di sekitar rumah atau kantor, jalan, dan fasilitas umum lainnya. Membersihkan sampah di setiap selokan yang berpeluang terjadi penyumbatan air hujan.
Data BPBD NTT memperlihatkan, sejak 1981-2021 atau selama 40 tahun terjadi 811 bencana, terdiri 131 kejadian bukan disebabkan hidrometeorologi, yakni gempa bumi, erupsi gunung api, dan serangan hama tanaman, seperti tikus dan belalang. Sementara 643 bencana merupakan akibat dari hidrometeorologi, seperti banjir, banjir bandang, tanah longsor, angin kencang, dan kekeringan ekstrem.
Data itu menggambarkan NTT sangat rawan terhadap bencana hidrometeorologi basah ataupun kering. Pada 2022 ini terjadi bencana yang terdiri dari angin kencang 4 kejadian, angin puting beliung 1 kejadian, banjir 7 kejadian, banjir bandang 2 kejadian, dan tanah longsor 13 kejadian.
Peristiwa bencana ini menyebabkan dua warga meninggal, 65 rumah rusak berat, sedang, dan ringan, dan dua fasilitas umum rusak berat, serta kerusakan material lain.
Disebutkan Warsono, pada 3-5 April 2021, peristiwa badai Seroja menyebabkan 182 meninggal, 47 jiwa hilang hingga hari ini, 53.745 warga mengungsi, 115 warga luka berat dan ringan. Kerusakan fasilitas umum sebanyak 3.518 unit dan rumah rusak sebanyak 53.432 unit yang penanganannya masih berlanjut hingga kini.
Bencana Seroja memberi pelajaran berhaga. Semua mesti berbenah, menguatkan koordinasi dan kolaborasi, tetapi bukan lagi koordinasi ”cangkang”. Artinya, pihak-pihak yang terlibat dibatasi oleh ego sektor yang menjadi cangkang pembatas koordinasi.
Kelihatan sama-sama bekerja, tetapi tidak bekerja sama; saling berkoordinasi, tetapi tidak mengetahui siapa bekerja apa dan di mana. Pada akhirnya output dan outcome yang dihasilkan pun tidak signifikan dalam penanggulangan bencana, baik fase prabencana, fase tanggap darurat, maupun fase pascabencana. ”Ego sektor ini mestinya dihilangkan untuk menghasilkan output dan outcome yang memuaskan,” kata Laiskodat.