Perempuan Masih Terpinggirkan dalam Perekonomian G-20
Perempuan secara global masih terpinggirkan dalam aktivitas ekonomi ataupun pengambilan kebijakan publik, terutama semasa pandemi. Perwakilan kaum perempuan dari negara G-20 mendesak perubahan.
Oleh
KRISTIAN OKA PRASETYADI
·4 menit baca
MANADO, KOMPAS — Perempuan secara global masih terpinggirkan dalam aktivitas ekonomi ataupun pengambilan kebijakan publik. Keadaan itu memburuk semasa pandemi Covid-19. Perwakilan kaum perempuan dari negara-negara G-20 pun mendesak adanya perumusan kebijakan yang berpihak pada perempuan di bawah presidensi Indonesia.
Hal ini mengemuka dalam pertemuan Women 20 (W-20), jejaring transnasional organisasi perempuan dari negara-negara Group of 20 (G-20), Selasa (15/2/2022), di Likupang, Minahasa Utara, Sulawesi Utara, yang digelar secara hibrida. Pembebasan perempuan dari diskriminasi berbasis jender menjadi inti bahasan.
Data Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) selama 2012-2020 menunjukkan jumlah perempuan yang bekerja di seluruh negara G-20 masih lebih rendah ketimbang laki-laki. Secara keseluruhan, hanya 59 persen dari populasi perempuan memiliki pekerjaan, sementara populasi laki-laki bisa mencapai 80 persen.
Kepala Divisi Jaringan, Kerja Sama, dan Jender Pusat Pembangunan OECD Bathylle Missika mengatakan, keikutsertaan perempuan dalam pasar tenaga kerja sudah lebih baik, tetapi belum cukup ideal. Terdapat beberapa faktor yang menghambat keterlibatan perempuan, seperti kebijakan dan budaya.
”Di tujuh negara G-20, perempuan tidak bisa bekerja di beberapa bidang yang dianggap berbahaya, seperti konstruksi bangunan, energi, dan pertambangan. Pekerjaan domestik di rumah yang tidak berbayar juga menjadi penghalang terbesar untuk mencapai kesetaraan dalam ketenagakerjaan,” kata Missika.
Pada 2020, survei Social Institutions and Gender Index (SIGI) menunjukkan, 37 persen warga di negara-negara G-20 menyatakan anak-anak akan menderita jika ibu bekerja. Bahkan, 16 persen responden juga menyatakan sah saja jika perempuan mengerjakan semua tugas domestik, seperti menjaga anak dan warga lanjut usia.
Antara 2019 dan 2020, survei SIGI juga menyatakan jumlah perempuan pemilik bisnis masih terbilang rendah. Misalnya, hanya 2 persen dari jumlah unit bisnis di Arab Saudi dimiliki perempuan. Namun, di negara seperti Amerika Serikat yang demokratis dan menghargai hak perempuan sekalipun, tingkat keterwakilan perempuan di dunia usaha hanya 34 persen.
”Di beberapa negara, ada isu tentang warisan. Anak perempuan tidak mendapatkan hak yang sama seperti saudara laki-laki mereka. Jadi, mereka harus mengajukan pinjaman ke bank untuk memulai bisnis. Namun, mereka kerap tidak punya jaminan. Ini tragis karena permohonan kredit Anda bisa ditolak hanya karena Anda perempuan,” papar Missika.
OECD pun menyarankan agar negara-negara G-20 mengambil kebijakan yang peka akan isu jender, terutama semasa pandemi. Di bidang ketenagakerjaan, pemerintah bisa menyediakan layanan pengasuhan anak dan lansia selama jam kerja sehingga lebih banyak perempuan bisa bekerja.
Di bidang keuangan, pemerintah perlu menyediakan dana untuk perempuan. Program ini sudah dimulai di beberapa negara, seperti Indonesia, Jerman, dan Meksiko. ”Literasi keuangan untuk perempuan sangatlah penting agar lebih banyak perempuan bisa berkontribusi terhadap ekonomi lewat usaha,” ujarnya.
Satu dari empat perempuan merasa tidak aman di rumah karena kekerasan fisik.
Sementara itu, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) I Gusti Ayu Bintang Darmawati menggarisbawahi meningkatnya kekerasan terhadap perempuan selama pandemi. Di 10 negara G-20, jumlah laporan kekerasan dalam rumah tangga meningkat antara 25 persen hingga 111 persen.
”Perempuan terisolasi di rumah bersama orang yang menyiksanya karena pembatasan sosial. Kekerasan terhadap perempuan juga diperburuk oleh stress yang disebabkan oleh bencana sosial dan ekonomi yang terjadi. Akibatnya, satu dari empat perempuan merasa tidak aman di rumah karena kekerasan fisik,” tutur Bintang.
Kesehatan jasmani dan mental perempuan pun menjadi prioritas bagi pemerintah. Menurut dia, negara-negara G-20 harus bekerja sama dengan berbagai pihak yang mengadvokasi kepentingan perempuan sehingga dimensi kesetaraan jender dan pemberdayaan perempuan selalu ada dalam kebijakan pemerintah.
”Banyak pekerjaan yang menanti. Dialog W-20 harus bisa menghasilkan rekomendasi kebijakan demi menghapuskan diskriminasi berbasis jender serta memberdayakan perempuan. Kalau perempuan terlindungi, semua orang akan terlindungi pula,” kata Bintang.
Konferensi seperti W-20 sangat penting untuk memunculkan perubahan.
Jamshed Kazi, Perwakilan UN Women Indonesia and ASEAN Liaison, mengatakan, tema Recover Together, Equally (pulih bersama secara setara) sejalan dengan tema presidensi Indonesia di G-20, yaitu Recover Together, Recover Stronger (pulih bersama, pulih lebih kuat). Namun, visi ini tak mungkin tercapai tanpa peran lebih perempuan.
Mengutip data Forum Ekonomi Dunia (WEF), ia mengatakan, butuh waktu 267 tahun untuk menutup kesenjangan kesempatan di bidang ekonomi antara laki-laki dan perempuan. Selama pandemi pun, tingkat kehilangan pekerjaan secara global di kalangan perempuan mencapai 5 persen, lebih tinggi dari laki-laki yang hanya 3,9 persen.
Memulai bisnis pun tak mudah bagi perempuan. Sebab, dari 1,7 miliar orang di dunia yang tak memiliki akses ke bank, sekitar 55 persen adalah perempuan. ”Konferensi seperti W-20 sangat penting untuk memunculkan perubahan. Namun, hasil pembicaraan harus bisa diimplementasikan,” kata Jamshed.
Beberapa negara dan pelaku usaha multinasional ia sebut telah berkomitmen mengucurkan investasi sebesar 40 miliar dollar AS. Pada saat yang sama, negara-negara G-20 berupaya menekan kesenjangan keterlibatan perempuan dalam ekonomi hingga 25 persen pada 2025.
”W-20 harus bisa menagih komitmen pemerintah negara-negara G-20 akan kesetaraan jender dan pemberdayaan perempuan. Ini yang kita butuhkan untuk bisa pulih bersama menjadi lebih kuat dan secara setara,” kata Kazi.
Sementara itu, Chair W-20 Hadriani Uli Silalahi mengatakan, perempuan mesti menjadi pusat dari upaya pemulihan ekonomi pascapandemi. ”Diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan adalah tantangannya. Karena itu, kita butuh masukan sebanyak-banyaknya untuk mengadvokasi kepentingan perempuan ke dalam strategi pembangunan,” katanya.