Normalisasi Kebijakan Tiap Negara Diharapkan Selaras
Normalisasi kebijakan moneter dan fiskal tiap-tiap negara yang saling selaras dan transparan diyakini punya dampak positif bagi kesetaraan pemulihan ekonomi global.
Oleh
DIMAS WARADITYA NUGRAHA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kementerian Keuangan RI dan Bank Indonesia akan mengampanyekan pentingnya komunikasi terkait strategi normalisasi kebijakan fiskal dan moneter tiap-tiap negara dalam pertemuan level menteri keuangan dan gubernur bank sentral G-20. Keselarasan visi normalisasi kebijakan antarnegara diperlukan demi tercapainya pemulihan ekonomi dunia yang lebih serempak.
Dalam agenda pembahasan forum G-20 di jalur keuangan (finance track), Kementerian Keuangan RI dan Bank Indonesia akan membawakan sejumlah agenda prioritas. Salah satu agenda yang diprioritaskan adalah pembahasan strategi keluar (exit strategy) untuk mendukung pemulihan global yang adil dan setara.
Exit strategy adalah sebuah bentuk normalisasi kebijakan ekonomi, baik kebijakan fiskal maupun moneter yang dilakukan oleh tiap-tiap negara untuk keluar dari kebijakan luar biasa yang diterapkan selama menghadapi situasi krisis akibat pandemi Covid-19.
Negara anggota G-20 akan berkoordinasi agar strategi keluar dapat terkomunikasikan dengan baik, untuk negara-negara maju, berkembang, dan miskin. (Wempi Saputra)
Staf Ahli Bidang Ekonomi Makro dan Keuangan Internasional Kementerian Keuangan Wempi Saputra mengatakan, strategi keluar yang akan dibahas pada lanjutan pertemuan G-20 pada jalur keuangan merupakan koordinasi kebijakan pemulihan ekonomi jangka pendek.
”Negara anggota G-20 akan berkoordinasi agar strategi keluar dapat terkomunikasikan dengan baik, untuk negara-negara maju, berkembang, dan miskin,” ujar Wempi.
Ia menyampaikan hal tersebut dalam konferensi pers persiapan pertemuan kedua level deputi bank sentral (2nd FCBD) serta pertemuan pertama level menteri keuangan dan gubernur bank sentral (1st FMCBG), Senin (14/2/2022).
Baca juga: Keluar dari Stimulus Ekonomi
Sementara itu, dari sisi bank sentral, normalisasi kebijakan moneter yang dilakukan negara maju seperti Amerika Serikat (AS) akan menjadi salah satu isu sentral dalam pertemuan FMCBG.
Direktur Eksekutif Kepala Departemen Internasional Bank Indonesia (BI) Rudy Brando Hutabarat mengatakan, kebijakan yang dilakukan bank sentral AS atau Federal Reserve (The Fed) dapat memberikan efek buruk terhadap negara berkembang.
”Pasalnya, saat ini pemulihan ekonomi di negara berkembang belum merata,” katanya.
Rudy mengatakan, The Fed saat ini sudah mulai melakukan pengurangan likuiditas atau tapering dan berencana menaikkan suku bunga. Bila kebijakan The Fed ini tidak dikoordinasikan dan dikomunikasikan dengan baik, hal itu akan mengganggu pemulihan ekonomi di negara-negara berkembang.
”Bila ekonomi dunia mengalami pemulihan secara lebih serempak, permintaan dan harga produk perdagangan global akan ikut meningkat. Ini akan menjadi dampak positif dari strategi keluar,” ujar Rudy.
Kesiapan delegasi
Dalam kesempatan yang sama, Sekretaris Pokja Logistik Bidang jalur keuangan G-20 Rudy Rahmaddi menjelaskan, terdapat 389 delegasi yang akan hadir dalam pertemuan jalur keuangan G-20 pada pekan ini.
Sebanyak 175 delegasi akan hadir secara langsung (offline), sedangkan 214 delegasi akan hadir secara daring (online).
Berdasarkan data panitia jalur keuangan G-20, delegasi yang akan hadir secara fisik, antara lain, berasal dari Amerika Serikat, Italia, Uni Eropa, Jepang, Arab Saudi, Afrika Selatan, Perancis, Argentina, Australia, Turki, dan Inggris.
Baca juga: Presidensi G-20 Bukan Sekadar Giliran
Adapun negara yang tidak mengirimkan delegasi secara fisik dan hanya menghadiri pertemuan secara virtual ialah China, India, Brasil, Meksiko, Korea Selatan, Rusia, Kanada, dan Jerman. Rudy menjelaskan, panitia menerapkan skema gelembung sebagai bentuk karantina untuk para delegasi yang datang ke Jakarta.
”Semua delegasi sejauh ini dipandang layak secara kesehatan untuk mengikuti rangkaian kegiatan,” ujarnya.