Jebakan ”Jahitan Suami”
Tindakan mempersempit vagina pasca-persalinan pada istri atau disebut ”jahitan suami” dianggap bisa meningkatkan kebahagiaan suami. Namun, manfaat dari tindakan yang menyakiti perempuan ini tidak terbukti.
Persalinan merupakan proses yang menyakitkan sekaligus membahagiakan bagi ibu. Meski harus bertaruh nyawa, sebagian ibu masih dibebani kekhawatiran kurang bisa membahagiakan kembali suaminya pascapersalinan. Kuatnya mitos tentang kepuasan seks di masyarakat sering berujung pada penderitaan dan kekerasan pada perempuan.
Dalam persalinan normal, bayi keluar melalui vagina. Jika kondisi bayi normal, yaitu diameter kepala sekitar 10 sentimeter dan berat lahir 2.500-3.000 gram, serta petugas kesehatan yang membantu persalinan sabar, persalinan itu hanya akan menimbulkan lecet pada perineum (otot, kulit, dan jaringan antara vagina dan anus), bibir vagina, atau muara vagina bagian bawah.
”Lecet ini mudah diperbaiki dan disembuhkan. Kalaupun terjadi pendarahan, pendarahannya pun tidak banyak,” kata Guru Besar Bidang Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Andon Hestiantoro di Jakarta, Kamis (27/1/2022).
Namun, pada persalinan pertama atau persalinan yang jaraknya dengan persalinan sebelumnya cukup jauh, vagina atau dinding panggul bawah bisa mengalami peregangan maksimal. Peregangan ini juga bisa dipicu oleh kepala bayi yang terlalu besar.
Dalam sejumlah kasus, peregangan maksimal itu juga tidak menimbulkan persoalan serius bagi ibu karena lenturnya otot vagina. Namun, jika dokter atau bidan mengkhawatirkan peregangan itu memicu robekan yang tidak rata, penolong persalinan bisa membuat robekan terukur pada perineum dengan cara digunting yang disebut episiotomi.
Baca juga: Layanan Persalinan Tidak Aman, Keselamatan Ibu dan Bayi Terancam
Robekan tidak rata itu bisa terjadi ke arah saluran kemih atau anus. Terjadinya robekan tidak merata itu justru bisa memicu berbagai komplikasi persalinan yang membahayakan ibu hamil.
”Kalau guntingan dilakukan terarah, perineum tidak akan meregang berlebihan,” kata Andon. Setelah persalinan, bekas guntingan itu akan dijahit kembali guna menghentikan pendarahan dan mengembalikan struktur anatomi vagina seperti semula, termasuk jaringan otot dan kulit disekitar vagina.
Dalam proses penjahitan kembali itulah muncul istilah yang populer di masyarakat dengan sebutan ”jahitan suami” atau husband stitch. Jahitan suami ini merujuk pada tindakan menjahit kembali lubang vagina setelah persalinan agar vagina menjadi lebih sempit dari ukuran semula karena diyakini bisa memberi kepuasan lebih pada suami saat berhubungan badan.
Jahitan suami ini, lanjut Andon, tidak dikenal dalam istilah medis. Dalam pendidikan dokter umum dan spesialis, tindakan ini tidak diajarkan. Penjahitan robekan di sekitar vagina oleh tenaga pembantu persalinan hanya sebatas tindakan hemostatis atau penghentian pendarahan dan aproksimasi atau mengembalikan vagina ke struktur anatomi semula.
Selama proses hemostatis dan aproksimasi itu, tenaga pembantu persalinan bisa melakukan perbaikan organ persalinan, seperti menempatkan kembali sambungan antara mukosa atau dinding bagian dalam vagina dan kulit ke posisi semula agar tidak menimbulkan nyeri saat berhubungan suami-istri.
Selain itu, dokter atau bidan juga bisa memperbaiki jahitan lama yang tidak rapi, tidak baik kondisinya, atau menimbulkan jaringan parut. Kondisi itu bisa terjadi akibat penjahitan terdahulu dilakukan secara darurat karena tenaga kesehatan fokus menghentikan pendarahan. Pembantu persalinan juga bisa memperbaiki kondisi otot dasar panggul yang melemah yang bisa terjadi akibat persalinan yang terlalu sering atau banyak.
Baca juga: Cegah Trauma Otot Dasar Panggul dengan Deteksi pada Masa Kehamilan
Komersialisasi layanan medis membuat sebagian pihak menanamkan citra pentingnya lubang vagina sempit, baik demi alasan estetika maupun kepuasan suami. Akibatnya, bukan hanya suami yang meminta jahitan suami, tetapi bisa juga istri.
Citra tentang vagina ini turut menjatuhkan mental ibu hingga mereka kurang percaya diri dengan organ intimnya pasca-persalinan. Bahkan, sebagian ibu menghindari persalinan normal dan memilih persalinan secara seksio sesarea (sectio caesarea) atau pembedahan perut karena khawatir vaginanya menjadi lebar setelah persalinan normal.
Menurut Andon, ibu sebenarnya dianjurkan melahirkan secara normal. Dalam kondisi normal, persalinan normal tidak akan merusak vagina, bahkan tidak menimbulkan pendarahan. Jika ibu takut atau khawatir sakit saat bersalin normal, ada teknik hypnobirthing dan pengaturan napas yang bisa membantu ibu rileks dan mengurangi rasa nyeri.
Bahkan, ”bayi yang lahir normal memiliki sistem kekebalan tubuh lebih baik dibandingkan bayi yang keluar bukan melalui jalan normal,” tambahnya. Komplikasi persalinan dan tingkat kematian ibu dalam persalinan normal juga lebih rendah dibanding persalinan melalui pembedahan perut.
Karena itu, Andon memastikan dokter sangat dilarang dan dianjurkan menghindari tindakan mempersempit vagina tanpa persetujuan ibu karena melanggar etika kedokteran. Manfaat yang digaungkan dari jahitan suami hanyalah mitos, tetapi tindakan ini dipastikan menyakiti perempuan atau istri.
Mitos
Kalaupun perbaikan vagina harus dilakukan, lanjut Andon, ada tindakan berbeda yang dinamakan vaginoplasti, yaitu bedah plastik untuk memperbaiki vagina. Tindakan ini bisa dilakukan dokter spesialis bedah plastik yang terbiasa menangani vagina atau dokter spesialis obstetri ginekologi dengan subspesialisasi uroginekologi rekonstruksi.
Namun, vaginoplasti yang sering dilakukan untuk kepentingan estetika justru tidak dilakukan saat persalinan karena berisiko bagi ibu. Saat bersalin, pembuluh darah, otot, hingga hormon ibu belum normal sehingga yang dilakukan pembantu persalinan hanya untuk kepentingan keselamatan dan kesehatan ibu melahirkan.
Sementara itu, Ketua Umum Asosiasi Seksologi Indonesia yang juga Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Udayana Denpasar Wimpie Pangkahila mengatakan, vaginoplasti memang bisa mengembalikan keindahan bentuk vagina. Tindakan ini memang bermanfaat dari sisi estetika, tetapi secara fungsi seksual tidak terlalu bermanfaat.
Tindakan mempersempit vagina, apa pun alasannya, hanya akan membuat vagina menjadi tidak alami. Kondisi itu justru bisa menimbulkan rasa tidak nyaman dan nyeri hebat pada istri saat berhubungan badan. ”Manfaat mempersempit vagina demi meningkatkan kepuasan seksual pada suami hanyalah mitos,” kata Andon.
Sayangnya, laki-laki adalah kelompok yang paling mudah teperdaya dengan mitos kepuasan seksual. Masalahnya, mitos ini tak hanya merugikan laki-laki sendiri, tetapi sering kali justru merugikan pasangannya.
Wimpie menegaskan, perempuan tidak membutuhkan vagina yang sempit untuk mencapai kepuasan seksualnya karena fungsi seksual perempuan tidak ditentukan oleh sempit-lebarnya lubang vagina. Kepuasan seksual perempuan bisa dicapai sepanjang mereka bisa terangsang secara normal, terjadi perlendiran pada vagina, hingga mengalami orgasme.
”Lubang vagina yang sengaja dipersempit justru bisa menimbulkan masalah bagi perempuan,” tambahnya.
Karena itu, perempuan tidak perlu khawatir persalinan normal akan membuat otot vagina melemah atau membuat lubang vagina membesar. Terlebih lagi jika sesudah persalinan perempuan melatih otot panggul yang mengelilingi vagina, seperti melalui senam kegel, akan bisa mengencangkan otot vagina lebih cepat seperti sebelum persalinan.
Komersialisasi layanan medis membuat sebagian pihak menanamkan citra pentingnya lubang vagina sempit, baik demi alasan estetika maupun kepuasan suami. Akibatnya, bukan hanya suami yang meminta jahitan suami, tetapi bisa juga istri.
Namun, situasi berbeda dialami perempuan yang sudah menopause karena otot vagina mereka memang sudah melemah atau kendur. Kondisi ini memunculkan mitos yang menganggap perempuan menopause tidak bisa berhubungan badan lagi.
”Kemajuan kedokteran anti-aging (antipenuaan) membuat kekurangan yang dialami perempuan menopause bisa ditutupi dan dikembalikan kondisinya seperti saat masih muda,” kata Wimpie.
Terapi antipenuaan melalui obat-obatan, terapi hormon, konsumsi antioksidan, atau terapi sel punca bisa membuat perempuan menopause tetap bisa menikmati hubungan seksual. Meski usia kronologis (sesuai tahun lahir) mereka tua, usia fisiologis berdasarkan fungsi organnya, termasuk organ yang terkait fungsi seksual, bisa tetap muda.
Namun, terapi itu akan memberi hasil lebih optimal dalam pemenuhan kebutuhan seksual jika dibarengi dengan olahraga teratur dan pola hidup sehat. Kolesterol, kadar gula darah, tekanan darah, sakit jantung, hingga efek samping obat-obatan bisa memengaruhi kemampuan seksualitas dan kepuasan seksual suami-istri.
Mitos sempitnya lubang vagina itu sama dengan mitos besarnya ukuran penis yang dianggap bisa memberi kebahagiaan lebih saat berhubungan seksual.
Urusan bersama
Selain itu, lanjut Wimpie, vagina yang sempit tidak selalu lebih membahagiakan suami. Meski vagina sempit, tetapi istri tidak terangsang, maka hubungan seksual yang harusnya menyenangkan justru tidak akan terjadi. Jika istri tidak terangsang, tetapi dipaksakan berhubungan badan, seks akan menjadi kegiatan yang menyakitkan bagi perempuan.
”Apakah suami masih bisa menikmati hubungan seks jika istri kesakitan?” ujarnya. Seks merupakan kebutuhan dan urusan bersama suami-istri. Karena itu, tidak boleh ada keegoisan di satu pihak demi tercapainya kepuasan diri dengan mengabaikan kebutuhan pasangan.
Paparan pornografi dan iklan yang menjual fantasi dan mitos seksualitas sangat memengaruhi persepsi masyarakat tentang seksualitas. Kegagapan orangtua memberikan pendidikan kesehatan reproduksi dan seksualitas makin membuat imaji anak tentang seksualitas tak terkendali. Belum lagi kuatnya penabuan di lembaga pendidikan dan masyarakat membuat akses informasi yang benar tentang seksualitas makin terbatas.
Banyaknya mitos dan terbatasnya informasi benar tentang seksualitas itu tak hanya membahayakan laki-laki, tetapi juga menempatkan perempuan dalam kerentanan tinggi menjadi korban kekerasan seksual berbasis jender.
Baca juga: Kekerasan Berbasis Jender
Wimpie menegaskan, hal terpenting dalam hubungan seksual ialah laki-laki bisa ereksi optimal, sedangkan sang perempuan mengalami perlendiran vagina saat terangsang. Selain itu, laki-laki pun diharapkan bisa mengontrol ereksinya hingga tidak cepat ejakulasi. ”Intinya, kedua belah pihak, suami dan istri, harus bisa sama-sama merasakan orgasme,” tegasnya.
Apakah orgasmenya bersama-sama atau perempuan lebih dulu tidak masalah karena kelebihan perempuan adalah bisa orgasme berkali-kali, sedangkan laki-laki umumnya sekali. Karena itu, lanjut Wimpie, perempuan perlu diupayakan orgasme lebih dulu sehingga diperoleh hubungan suami istri yang berkualitas untuk semua.
”Fungsi seksual adalah indikator pola hidup yang sehat. Karena itu, untuk mendapatkan hubungan seks yang berkualitas, jaga pola hidup sehat pasangan suami istri,” katanya.