Meski ada laki-laki menjadi korban kekerasan, data menunjukkan korban terbesar umumnya perempuan dan transjender. Penanganan kekerasan berbasis jender harus memahami akar kekerasan, yaitu relasi kuasa tidak seimbang.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
Kekerasan berbasis jender secara dalam jaringan terindikasi meningkat selama pandemi Covid-19. Korban memerlukan perlindungan yang lebih baik.
Jumlah kasus kekerasan berbasis jender dalam jaringan (daring) atau online yang sampai ke Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan tahun ini ada 659 kasus, naik dari 281 kasus pada 2019. Kekerasan berbasis jender daring didefinisikan sebagai kekerasan menggunakan teknologi digital terkait ketubuhan perempuan sebagai obyek seksual (Kompas, 14/12/2020).
Dalam berbagai laporan, seperti laporan Perserikatan Bangsa-Bangsa, lembaga survei internasional, ataupun lembaga layanan korban kekerasan di Indonesia, jumlah kasus kekerasan berbasis jender, terutama terhadap perempuan, secara umum naik selama pandemi Covid-19.
Kenaikan kekerasan secara daring dapat diperkirakan akan terjadi karena meningkatnya komunikasi menggunakan gawai selama pembatasan sosial semasa pandemi Covid-19. Ketentuan pembatasan sosial menyebabkan korban berada satu rumah bersama pelaku dalam waktu panjang. Pembatasan sosial menyebabkan sejumlah fasilitas layanan tutup atau korban kesulitan mengakses layanan.
Sebelum terjadi pandemi Covid-19 pun kekerasan berbasis jender, termasuk kekerasan secara daring, sudah terjadi. Tidak setiap korban bersedia melaporkan kekerasan yang dia alami. Pun tidak setiap korban ataupun orang di sekitarnya memahami hak korban mendapat perlindungan dari kekerasan.
Kekerasan berbasis jender berbeda dari kekerasan biasa. Kekerasan ini menyasar individu karena identitas kelamin biologisnya atau jendernya. Di dalamnya termasuk kekerasan fisik, seksual, verbal, emosional, psikologis, berupa ancaman, tekanan, kekerasan ekonomi yang terjadi di ranah privat ataupun di ruang publik. Kita juga tidak menginginkan jatuh korban perdagangan orang dan pornografi.
Meski ada laki-laki menjadi korban kekerasan, data menunjukkan korban terbesar umumnya perempuan dan transjender. Penanganan kekerasan berbasis jender harus memahami akar kekerasan, yaitu relasi kuasa tidak seimbang, penyalahgunaan kekuasaan, dan norma di masyarakat yang masih mendiskiriminasi dan membolehkan kekerasan.
Pemerintah sudah melakukan upaya pencegahan melalui peraturan, kampanye, hingga dukungan bagi lembaga layanan. Meski demikian, layanan dianggap masih perlu ditingkatkan hingga ke daerah-daerah.
Untuk pencegahan kekerasan lebih menyeluruh, pemerintah, melalui Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, kita harap dapat meningkatkan anggaran pencegahan kekerasan berbasis jender secara luring maupun daring, memfasilitasi kerja lintas lembaga dari pusat hingga daerah bersama pemerintah daerah, lembaga penegak hukum, dan lembaga layanan yang diadakan oleh masyarakat.
Masyarakat yang lebih setara dan membebaskan separuh penduduknya dari kekerasan akan menjadi lebih produktif secara nasional.