Mendudukkan Persoalan Endemik Covid-19
Kemunculan varian Omicron yang lebih menular tapi dengan dampak keparahan yang lebih ringan dibandingan Delta tidak serta-merta menjadikan Covid-19 endemik dan tidak berbahaya.
Kemunculan virus SARS-CoV-2 varian Omicron yang lebih menular dengan dampak keparahan yang lebih ringan dibandingan varian Delta memicu keyakinan sejumlah ahli bahwa ini akan mempercepat berakhirnya pandemi sehingga menjadi endemik. Namun, Covid-19 menjadi tidak berarti penyakit ini tidak lagi berbahaya dan akan hilang dengan sendirinya.
Kita berada di tahun ketiga pandemi Covid-19 yang telah mengganggu kehidupan dan mata pencaharian di seluruh planet ini. Pandemi juga menyebabkan setidaknya 5,5 juta kematian di seluruh dunia.
Kini muncul varian baru Omicron yang diketahui sangat menular, tetapi tingkat keparahan lebih ringan dibandingkan Delta. Data menunjukkan bahwa Omicron memicu rekor kasus secara global. Sekalipun tingkat kematian tak setinggi saat gelombang Delta, risiko kematian akan meninggi seiring dengan lonjakan kasus. Bahkan, sejumlah negara, seperti Australia, mengalami rekor penambahan kematian harian karena Covid-19.
Direktur Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Regional Eropa Hans Kluge, dalam keterangan pers pada Senin (24/1/2022), mengatakan, sekalipun pandemi masih belum selesai, dia berharap dunia segera dapat mengakhiri fase darurat pada 2022 dengan kemunculan Omicron. ”Masuk akal jika kawasan ini (Eropa) bergerak menuju semacam akhir pandemi,” kata Kluge sambil menjelaskan bahwa Omicron dapat menginfeksi 60 persen orang Eropa pada Maret.
Setelah gelombang Omicron yang saat ini masih melanda seluruh Eropa mereda, Kluge optimistis ”akan ada beberapa minggu dan bulan kekebalan global, baik berkat vaksin atau karena orang terinfeksi”.
Sekalipun berharap akan berakhirnya pandemi menjadi endemik, Kluge mengingatkan untuk tetap berhati-hati. ”Virus ini telah mengejutkan lebih dari sekali sehingga kami harus sangat berhati-hati,” kata Kluge.
Anthony Fauci, Direktur Institut Nasional Alergi dan Penyakit Menular Amerika Serikat, mengatakan, sejarah penyakit menular menunjukkan, tahap pandemi selanjutnya adalah endemisitas, yang berarti penyakit akan tetap ada seperti infeksi saluran pernapasan yang bisa muncul musiman.
Banyak yang kemudian mengira bahwa endemisitas berarti bakal mengakhiri segenap keruwetan yang dihadapi selama pandemi Covid-19. Namun, faktanya, dunia mungkin tidak pernah sama lagi dengan situasi sebelum munculnya Covid-19.
Kluge mengingatkan untuk tetap berhati-hati. Virus ini telah mengejutkan lebih dari sekali sehingga kami harus sangat berhati-hati.
Jalan panjang
Aris Katzourakis, profesor yang mempelajari evolusi virus dan genomik di University of Oxford, dalam tulisannya di Nature pada Senin (24/1/2022), mengatakan, kata ”endemik” telah disalahartikan sehingga banyak asumsi keliru seolah-olah Covid-19 kemudian bakal berakhir secara alami tanpa intervensi.
Bagi seorang ahli epidemiologi, sebut Katzourakis, kondisi endemik adalah ketika tingkat infeksinya statis, tidak naik, tidak turun. Akan tetapi, suatu penyakit endemik dapat tetap menyebar luas dan mematikan. Misalnya, malaria yang endemik membunuh lebih dari 600.000 orang pada tahun 2020.
Contoh lain, sepuluh juta orang jatuh sakit karena tuberkulosis yang endemik pada tahun yang sama dan 1,5 juta di antaranya meninggal. ”Endemik tentu tidak berarti bahwa evolusi, entah bagaimana, telah menjinakkan patogen sehingga kehidupan kembali normal,” kata Katzourakis.
Baca juga: Kasus Covid-19 Global Melandai, Dunia Dihadapkan Risiko Munculnya Varian Baru
Sebagai ahli virologi evolusioner, Katzourakis mengkritik pembuat kebijakan yang menggunakan kata endemik sebagai alasan untuk melakukan sedikit atau tidak sama sekali intervensi guna menanggulangi penyakit ini.
”Ada kesalahpahaman yang tersebar luas bahwa virus berevolusi dari waktu ke waktu menjadi lebih jinak. Ini tidak terjadi: tidak ada hasil evolusi yang ditakdirkan untuk virus menjadi lebih jinak, terutama seperti SARS-CoV-2, di mana sebagian besar penularan terjadi sebelum virus menyebabkan penyakit parah,” kata dia.
Dia menunjukkan, varian Alfa dan Delta lebih ganas daripada jenis yang pertama kali ditemukan di Wuhan, China. Contoh lain, gelombang kedua pandemi influenza 1918 jauh lebih mematikan daripada yang pertama.
Epidemiolog Indonesia di Griffith University, Dicky Budiman, mengatakan, Omicron yang memiliki kemampuan substansialnya untuk menghindari sistem kekebalan—menyebabkan infeksi ulang dan infeksi pada mereka yang telah divaksin—juga kerap diremehkan karena dianggap tingkat keparahannya lebih ringan dibandingkan Delta. Padahal, lebih ringan dibandingkan Delta juga tidak berarti virus ini menjadi seperti flu biasa.
”Omicron tetap bisa mematikan, terutama bagi mereka yang punya penyakit penyerta dan belum divaksin. Selain itu, virus ini juga bisa memicu Covid-19 berkepanjangan (long covid),” kata dia.
Baca juga: Batuk Kering dan Nyeri Tenggorokan Terbanyak Dikeluhkan, Segera Periksa Covid-19
Dicky mengajak agar kita tidak lagi terjebak pada kekeliruan cara pandang yang meremehkan Omicron sehingga kasus penularannya merajalela. Selain berisiko meningkatkan angka kematian, bahkan melumpuhkan kondisi ekonomi seperti saat ini terjadi di Australia, penularan yang merajalela juga berisiko memunculkan varian-varian baru yang lebih berbahaya.
Menurut Dicky, pengendalian dan pencegahan penularan masih menjadi strategi terbaik dalam menghadapi Covid-19. Untuk itu, kita harus menggunakan segenap senjata yang tersedia, mulai dari vaksin yang efektif, obat antivirus, tes diagnostik, hingga pemahaman yang lebih baik tentang cara menghentikan virus di udara melalui pemakaian masker, menjaga jarak, serta ventilasi dan penyaringan udara.
Perlu diingat bahwa dunia tidak akan aman dari Covid-19 selama kesetaraan dalam mengendalikannya masih terjadi, terutama dalam penyediaan vaksin. Semakin banyak virus bereplikasi, semakin besar kemungkinan varian bermasalah akan muncul.
Kemungkinan besar varian baru itu akan muncul di wilayah yang penyebarannya paling tinggi dan cakupan vaksinasinya paling rendah, sebagaimana Omicron yang teridentifikasi di Afrika pada November 2021 lalu. Maka, sebelum berharap terlalu jauh terhadap kondisi endemik, kita juga harus bersiap dengan kemungkinan munculnya varian-varian baru yang terbentuk karena lonjakan kasus Covid-19 global.
Indonesia yang saat ini berada di awal gelombang Omicron, juga bisa menjadi tuan rumah bagi kemunculan varian baru jika virus ini dibiarkan merajalela. Akan tetapi, ini bisa dicegah jika semua pihak berpartisipasi mengendalikan wabah, setidaknya dengan mencegah Omicron yang kini sudah bersirkulasi di Jabodetabek untuk tidak menyebar semakin luas ke daerah.