Subvarian BA.2 dari Omicron Dikhawatirkan Lebih Menular
Varian Omicron telah melahirkan sejumlah subvarian, salah satunya BA.2 yang dinilai memiliki kemampuan paling menular. Pengendalian kasus menjadi kunci untuk mencegah mutasi virus lebih lanjut.
Oleh
AHMAD ARIF
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Varian Omicron telah melahirkan sejumlah subvarian, salah satunya BA.2 yang dinilai memiliki kemampuan paling menular. Kemunculan varian baru yang bisa lebih menular dan berbahaya merupakan konsekuensi dari kegagalan pengendalian kasus global.
”Salah satu konsekuensi ketika Omicron dibiarkan merajalela dengan alasan dampak keparahannya lebih ringan adalah terus bermunculannya varian-varian baru. Kemunculan subvarian BA.2 ini adalah salah satunya,” kata epidemiolog Indonesia di Griffith University, Dicky Budiman, Sabtu (22/1/2022).
Selain kemunculan varian baru, Dicky mengatakan, kita harus mewaspadai dampak Covid-19 jangka panjang atau long covid. Oleh karena itu, dia mengingatkan bahwa pencegahan penularan tetap merupakan strategi terbaik.
”Jangan meremehkan Omicron karena hal itu justru akan membuat pandemi terus berkepanjangan,” ujarnya.
Indonesia jangan sampai terlambat untuk menarik rem darurat guna mencegah lonjakan kasus yang melebihi kapasitas fasilitas kesehatan kita.
Pada Jumat (21/1/2022), Badan Keamanan Kesehatan Inggris (UK Health Security Agency) telah menetapkan subvarian BA.2 sebagai varian yang sedang diselidiki lebih lanjut. ”Sebanyak 53 sekuens dari subgaris keturunan BA.2 dari Omicron telah diidentifikasi di Inggris,” sebut lembaga ini dalam pernyataan tertulis.
Sementara itu, Pemerintah Denmark melaporkan, substrain BA.2 menyumbang hampir setengah dari kasus di negara itu dan dengan cepat menggantikan BA.1, strain Omicron awal. Denmark melaporkan, dalam dua minggu dari akhir Desember 2021 hingga pertengahan Januari 2022, BA.2 telah berubah dari sebelumnya 20 persen menjadi 45 persen.
Selama periode yang sama, infeksi Covid-19 Denmark telah mencapai rekor tertinggi. Denmark mencatat lebih dari 30.000 kasus baru per hari dalam pekan ini, 10 kali lebih banyak kasus daripada puncak pada gelombang sebelumnya dan diduga hal ini terkait dengan kemunculan subvarian BA.2.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dalam laporan epidemiologinya menyebutkan, Omicron, yang juga disebut sebagai B.1.1.529, memiliki tiga subvarian utama, yaitu BA.1, BA.2, dan BA.3. Pada 23 Desember, WHO melaporkan, lebih dari 99 persen kasus yang ditemukan adalah BA.1, yang merupakan versi awal Omicron. Namun, sekarang muncul BA.2 di Denmark dan di tempat lain yang menunjukkan subvarian ini kemungkinan memiliki kemampuan lebih menular dibandingkan BA.1.
”Analisis awal tidak menunjukkan perbedaan rawat inap untuk BA.2 dibandingkan dengan BA.1. Diharapkan vaksin juga memiliki efek terhadap penyakit parah pada infeksi BA.2,” demikian pernyataan Statens Serum Institut, pusat penelitian penyakit menular yang dikelola Pemerintah Denmark.
Para peneliti Denmark ini mencatat, versi BA.2 dari Omicron mungkin memiliki 28 mutasi unik dibandingkan BA.1, selain 32 mutasi yang sama-sama dimiliki subvarian ini dibandingkan versi awal SARS-CoV-2.
Masih terlalu dini untuk mengatakan apa arti mutasi BA.2 ini. ”Perbedaan tersebut dapat menyebabkan sifat yang berbeda, misalnya mengenai infeksi, efisiensi vaksin, atau keparahan. Sejauh ini tidak ada informasi apakah BA.1 dan BA.2 memiliki sifat yang berbeda,” sebut Statens Serum Institut.
Kendalikan kasus
Direktur Pascasarjana Universitas YARSI Tjandra Yoga Aditama mengatakan, kenaikan kasus Covid-19 di Indonesia lebih dari 2.000 pada hari-hari ini harus dikendalikan dengan upaya tambahan. ”Memang dengan angka 2.000 per hari belum perlu menaikkan level PPKM, tetapi jelas harus ada aktivitas tambahan yang perlu dilakukan ke depan,” ucapnya.
Beberapa langkah itu, menurut mantan Direktur Penyakit Menular WHO Asia Tenggara ini, adalah dengan menerapkan protokol kesehatan dengan lebih ketat. Imbauan dan aturan tentang bekerja dari rumah perlu diikuti dengan implementasi aturan langsung di lapangan.
Infografik Gejala Penderita Varian Omicron
”Mungkin baik juga dianalisis tentang pembelajaran tatap muka di sekolah, apakah tetap 100 persen atau barangkali dipertimbangkan, kalau perlu diturunkan 75 peren,” lanjutnya.
Selain itu, Tjandra juga mengharapkan peningkatan lagi tes dan telusur, termasuk peningkatan ketersediaan PCR-SGTF. ”Juga perlu ditingkatkan penelusuran kasus secara masif pada kejadian transmisi lokal yang sudah ratusan orang itu, baik telusur ke depan kepada siapa mereka menularkan maupun juga telusur ke belakang dari mana mereka tertular,” ucapnya.
Langkah berikutnya ialah meningkatkan vaksinasi, baik vaksinasi dua kali maupun vaksinasi penguatan (booster). Sampai 19 Januari 2022 masih sekitar 42 persen penduduk Indonesia dan lebih dari 55 persen warga lanjut usia belum mendapat vaksinasi memadai. ”Vaksinasi booster akan baik kalau ditingkatkan dan dipermudah pelaksanaannya,” katanya.
Tjandra mengingatkan agar Indonesia jangan sampai terlambat untuk menarik rem darurat guna mencegah lonjakan kasus yang melebihi kapasitas fasilitas kesehatan kita. Indonesia perlu melihat situasi di India, yang memiliki karakteristik sejarah penularan mirip Indonesia.
”Awal Januari 2022 kasus di India 20.000-an, lalu naik tajam dan pernah 500.000-an di pertengahan Januari, sekarang sudah menurun di bawah 400.000-an. Naik 20.000-an ke 400.000-an bukan hal mudah untuk diatasi,” ujarnya.
Tjandra menambahkan, untuk menekan penularan kasus, dua minggu lalu, New Delhi melakukan pembatasan mobilitas yang ketat. Hal yang sama dilakukan sejumlah negara bagian yang mengalami lonjakan kasus.