Kepadatan Hunian dan Kegiatan Komunal Tingkatkan Risiko Penularan
Pesantren merupakan salah satu tempat yang rentan penularan Covid-19. Protokol kesehatan perlu dioptimalkan dan akses terhadap fasilitas kesehatan perlu diperkuat untuk meminimalkan dampak pandemi.
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Lebih dari 4.000 santri di puluhan pondok pesantren terinfeksi Covid-19 selama pandemi. Kepadatan hunian dan kegiatan komunal meningkatkan risiko penularan di pesantren. Akses terhadap fasilitas kesehatan untuk meminimalkan dampak pandemi perlu diperluas.
Peneliti Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Laifa Annisa Hendarmin, mengatakan, kerentanan santri terpapar Covid-19 disebabkan sejumlah faktor. Dua di antaranya adalah mobilitas penghuni pesantren yang masuk-keluar pondok dan penggunaan fasilitas di dalam pesantren secara massal oleh warga di sekitarnya.
”Hal ini menjadi pintu masuk penularan Covid-19,” ujarnya dalam peluncuran hasil penelitian PPIM UIN Jakarta yang berjudul ”Pesantren dan Pandemi: Bertahan di Tengah Kerentanan” yang digelar secara daring, Rabu (19/1/2022).
Penelitian dilakukan terhadap 658 guru dan santri di 15 pesantren di DKI Jakarta, Banten, dan Jawa Barat pada Januari–Oktober 2021. Proses penelitian ini dilakukan secara tatap muka dan daring.
Kurang ketatnya penapisan terhadap santri yang baru masuk ke lingkungan pesantren meningkatkan kerentanan itu. Apalagi, saat ditemukan kasus Covid-19, ruang isolasi bagi mereka yang positif Covid-19 tidak memadai.
Laifa menuturkan, beberapa pesantren menggunakan ruang kelas sebagai tempat isolasi. Namun, ada juga yang dirawat di fasilitas kesehatan atau dipulangkan ke rumah masing-masing.
”Yang harus diperhatikan adalah kepadatan hunian. Selain itu, kegiatan komunal yang harus dikurangi. Ini semua meningkatkan risiko penularan Covid-19 di dalam pesantren,” katanya.
Menurut Laifa, kebijakan pesantren dalam merespons situasi pandemi sangat beragam. Hal ini dipengaruhi kebijakan pengelola serta kesiapan sumber daya dan fasilitas.
Kepatuhan memakai masker dan mencuci tangan dengan sabun di atas 80 persen. Namun, penerapan jaga jarak masih di bawah 50 persen.
Saat ditemukan kasus Covid-19, pelacakan kontak atau tracing belum maksimal. Salah satu kendalanya adalah keterbatasan akses layanan kesehatan dan anggaran.
”Tracing sangat jarang dilakukan. Biasanya (jika ada santri terpapar Covid-19) langsung diisolasi satu kelas atau satu kamar,” ujarnya.
Kerentanan lain di pesantren adalah masih banyaknya santri yang percaya teori konspirasi tentang Covid-19. Peneliti lain, Ida Rosyidah, menyebutkan, 63 persen responden menganggap Covid-19 buatan kelompok Yahudi untuk meruntuhkan Muslim.
”Temuan kami, semakin tinggi kepercayaan terhadap konspirasi, semakin minim perilaku pencegahan Covid-19. Penting mengedukasi santri untuk meminimalkan kepercayaan terhadap konspirasi tersebut,” ucap Ida.
Kepala Departemen Perilaku Kesehatan, Lingkungan, dan Kedokteran Sosial Universitas Gadjah Mada Yayi Suryo Prabandari menilai, peran pengelola pesantren dalam menghadapi pandemi dilakukan dengan multipendekatan, mulai dari pendekatan sukarelawan, pemberdayaan masyarakat, advokasi, hingga kolaborasi dengan pemangku kepentingan, termasuk satgas Covid-19 di daerah.
”Advokasi pada seluruh pesantren agar ada kebijakan dan imbauan searah dengan pengendalian Covid-19 dan sosialisasi tatanan kehidupan baru di pesantren,” ujarnya.
Direktur Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Kementerian Agama Waryono Abdul Ghafur mengatakan, protokol kesehatan yang paling sulit diterapkan di pesantren adalah menjaga jarak. Sebab, satu kamar di pesantren biasanya dihuni banyak santri.
Akan tetapi, sejumlah pesantren telah berupaya mengurangi aktivitas berkelompok. ”Ke depan, pembelajaran digital menjadi keniscayaan. Namun, lagi-lagi, pesantren yang ramah digital belum banyak,” katanya.