Beradaptasi dengan Tatanan Hidup Baru
Pandemi berdampak pada seluruh sektor kehidupan. Meski berat dan penuh luka, tidak ada jalan lain yang bisa kita lakukan selain beradaptasi dengan menjalani pola kehidupan baru.
Meski munculnya varian Omicron virus SARS-CoV 2 dianggap sebagai tanda akan berakhirnya pandemi Covid-19, tidak ada yang bisa memprediksi pasti kapan keadaan ini benar-benar berakhir. Kalaupun berakhir, manusia diprediksi akan mengadopsi gaya hidup baru yang lebih banyak mengonsumsi teknologi, seperti yang dijalani selama dua tahun terakhir.
Selama hampir dua tahun ini, kita hidup dengan kenormalan baru. Semua sektor kehidupan, mulai dari keluarga, sekolah, tempat kerja, masyarakat hingga negara harus beradaptasi dengan tatanan kehidupan baru demi menghadapi pandemi. Menurun dan terkendalinya kasus Covid-19 menunjukkan aturan baru yang diberlakukan itu efektif menanggulangi pandemi.
Dalam adaptasi itu, munculnya masalah atau dampak negatif atas perubahan yang terjadi merupakan hal yang tak bisa dihindari. Sebagian orang mengembangkan perilaku tidak sehat, seperti cemas, marah, sedih berkepanjangan, merasa diri lemah, mudah tersulut emosi, pengabaian pengasuhan anak, kecanduan gawai, hingga naiknya kecenderungan bunuh diri.
”Perilaku tidak sehat ini tidak hanya terjadi dalam keluarga atau interaksi personal, tetapi juga dalam komunitas yang lebih besar, seperti sekolah, tempat kerja, dan masyarakat umum,”kata Kepala Pusat Kesehatan Mental Masyarakat (CPMH) Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Diana Setyawati, Senin (17/1/2022).
Baca Juga: Normal Baru, Ketidaknyamanan Baru
Proses perubahan yang dilakukan banyak mengadopsi teknologi. Teknologi jadi jembatan dan solusi di tengah pembatasan sosial yang dilakukan pemerintah. Meski tetap di rumah, masyarakat bisa mendapat informasi dan layanan kesehatan, pembelajaran jarak jauh, bekerja dari rumah, menikmati aneka hiburan, hingga memfasilitasi sejumlah pertemuan sosial, mulai dari curhat daring, silaturahim, hingga kegiatan keagamaan.
Berpindahnya berbagai aktivitas luar jaringan (luring) ke dalam jaringan (daring) membuat waktu yang dihabiskan masyarakat di depan gawai meningkat drastis. Namun, terbatasnya akses dan layanan teknologi, lemahnya kontrol penggunaan gawai, dan ketidakjelasan pendampingan penggunaan gawai justru memunculkan berbagai persoalan yang memengaruhi ekonomi, kesehatan, serta perkembangan dan kesejahteraan psikologis masyarakat.
Perilaku tidak sehat ini tidak hanya terjadi dalam keluarga atau interaksi personal, tetapi juga dalam komunitas yang lebih besar, seperti sekolah, tempat kerja, dan masyarakat umum.
Peneliti psikologi pendidikan dari Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Elga Andriana, mengatakan, banyak anak dari keluarga dengan kemampuan ekonomi terbatas sering kali kesulitan mengakses pendidikan daring, bahkan kehilangan akses.
Situasi ini berdampak pada meningkatnya angka putus sekolah. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi menyebut jumlah siswa sekolah dasar yang putus sekolah pada 2021 meningkat 10 kali lipat dibandingkan dengan tahun 2019. Terbatasnya pembelajaran selama pandemi menurut Bank Dunia menurunkan kemampuan siswa 0,8-1,3 tahun pembelajaran (Kompas, 4/1/2022).
Sebagian penduduk memang kesulitan mengakses layanan pendidikan digital. Namun, sebagian penduduk lain justru menghadapi berlimpahnya waktu menikmati layanan digital. Studi Indri Hapsari Susilowati dan rekan yang dipublikasikan di Global Pediatric Health, 15 Mei 2021, menemukan, anak-anak usia prasekolah 2-6 tahun telah menggunakan media digital sejak bayi dengan waktu menyimak layar yang dihabiskan mencapai lebih 1 jam per hari.
Baca Juga: Inovasi dan Adaptasi Jadi Kunci Memanfaatkan Peluang di Era Normal Baru
Orangtua sebenarnya menyadari dampak dan pentingnya membatasi waktu menyimak layar digital pada anak. Namun, mereka sulit mencegah anak-anaknya menggunakan gawai, khususnya saat proses belajar dari rumah berlangsung.
Di sisi lain, lanjut Diana, faktor tingkat pendapatan dan pendidikan sangat memengaruhi kelihaian seseorang dalam menggunakan gawai. Orangtua berpenghasilan rendah cenderung tidak terlibat atau tidak menemani anak belajar. Sikap mereka pun cenderung negatif terhadap proses pembelajaran jarak jauh.
Lemahnya pengawasan orangtua dan sekolah ini membuat anak lebih rentan mengalami kecanduan gawai serta meningkatkan frekuensi dan intensitas mereka menggunakan gawai. Konsekuensinya, aktivitas sosial yang bisa dijadikan sebagai media pembelajaran keterampilan sosial anak menjadi berkurang.
Mendorong anak menjalani aktivitas sosial di luar rumah selama pandemi memang menjadi pilihan sulit bagi banyak orangtua karena meningkatkan risiko mereka terpapar Covid-19. Namun, membatasi ruang gerak dan kesempatan mereka bersosialisasi bisa membuat keterampilan sosialnya tak terasah. ”Mereka juga akan kesulitan mengembangkan konsep dirinya dengan baik,” ujarnya.
Di luar persoalan pendidikan dan penggunaan teknologi, anak juga rentan menghadapi berbagai persoalan lain selama pandemi. Bayi yang dikandung dan lahir di masa pandemi diprediksi sulit mengoptimalkan perkembangan fisik dan psikologisnya, khususnya pada periode 1.000 hari pertama kehidupan. Layanan kesehatan yang fokus menangani Covid-19 membuat layanan ibu hamil dan melahirkan serta tumbuh kembang anak menjadi tidak optimal
Anak yang menjadi yatim, piatu, atau yatim-piatu gara-gara Covid-19 bisa kehilangan kekuatan mental. Karena itu, negara dan orang dewasa di sekitarnya perlu melakukan pendampingan hingga mereka mendapatkan pengasuhan alternatif yang menjamin kesejahteraan jangka panjang anak.
Penduduk dewasa
Pada penduduk dewasa, keseimbangan kehidupan antara pekerjaan dan keluarga menjadi persoalan besar. Banyak pekerja merasa kurang produktif saat bekerja dari rumah dan komunikasi dengan rekan kerja menjadi tidak efisien. Kondisi itu masih ditambah berbagai persoalan yang harus dihadapi selama di rumah, mulai dari konflik kebutuhan keluarga hingga aneka tuntutan sosial di sekitar rumah.
Beban ganda dialami perempuan pekerja. Bekerja dari rumah membuat mereka dituntut menjalani peran profesional dan domestik lebih besar. Ketidakseimbangan peran jender yang menekankan dominasi perempuan dalam mengurus anak, keluarga, dan rumah tangga menjadikan perempuan lebih rentan terhadap berbagai masalah kesejahteraan psikologis.
Meski demikian, hal itu bukan berarti pekerja laki-laki tidak stres dengan bekerja dari rumah. Banyak laki-laki melaporkan terganggu pekerjaannya karena harus terlibat langsung dalam berbagai urusan rumah tangga selama bekerja di rumah. Mengasuh anak atau belanja ke pasar atau supermarket menjadi aktivitas kaum bapak yang banyak ditemukan selama pandemi. Meski terkesan sederhana, hal itu tetap menimbulkan stres bagi laki-laki yang tidak terbiasa melakukannya.
Hilangnya rutinitas jam kerja membuat banyak pekerja kesulitan menyeimbangkan antara waktu bekerja dan waktu untuk kepentingan pribadi, termasuk waktu untuk keluarga.”Tuntutan peran penduduk usia produktif untuk menyeimbangkan kehidupan keluarga dan pekerjaan bisa memengaruhi perkembangan dan kesejateraan psikologis pekerja,”kata psikolog industri dan organisasi Fakultas Psikologi UGM, Indrayanti.
Kelly Soderlund, karyawan biro perjalanan TripActions, Kamis (2/9), bekerja dari rumahnya di Walnut Creek, California, AS. Bekerja dari rumah pada masa pandemi membuatnya cukup nyaman meski pada saat yang bersamaan harus mengawasi kedua anaknya.
Keterbatasan ruang gerak dalam bekerja ataupun berubahnya berbagai kebijakan tempat kerja diperkirakan akan memengaruhi rencana pengembangan diri dan karier bagi pekerja. Persoalan ini tidak hanya akan berdampak kepada pekerja, tetapi juga keluarga mereka.
Untuk itu, tempat kerja perlu membuat pedoman bekerja di era kenormalan baru yang berfokus pada kesejahteraan psikologi dan keseimbangan waktu bekerja dengan keluarga. Berbagai pelatihan yang meningkatkan kesiapan psikologis pekerja dalam menghadapi pandemi juga perlu dilakukan. Lingkungan kerja yang sehat hanya bisa diciptakan dari pekerja yang sehat dan sejahtera psikologisnya.
Persoalan kesehatan jiwa ini juga rentan dialami warga lansia. Kesepian akibat terisolasi dan hilangnya dukungan sosial akan menempatkan mereka dalam risiko besar kesehatan mental, bukan hanya akibat paparan Covid-19 saja. Karena itu, posyandu bagi warga lansia perlu dihidupkan kembali guna memantau kesehatan mereka dan tempat bagi kelompok ini bersosialisasi. Warga lansia juga perludilibatkan dalam berbagai program pemberdayaan di lingkungan sekitarnya, tentu dengan tetapmematuhi protokol kesehatan yang ada.
Semua penyesuaian baru ini memang tidak mudah dilakukan. Semua orang dan negara tidak ada yang berpengalaman dalam menangani bencana selama dan semasif pandemi Covid-19 ini. Meski demikian, tidak ada cara lain selain beradaptasi dengan tatanan kehidupan yang baru.
Oleh karena itu, Fakultas Psikologi UGM dalam rangka Dies Natalis ke-57 pada 10 Januari 2022 mengeluarkan rekomendasi kebijakan jangka menengah dan panjang dalam menghadapi tatanan hidup baru akibat pandemi Covid-19. Hanya dengan mematuhi protokol kesehatan dan beradaptasi dengan perilaku baru itulah pandemi dapat segera diakhiri dengan menekan seminimal mungkin luka yang ditimbulkan pada kesejahteraan psikologis masyarakat.