Runtuhnya Anak Krakatau pada 2018 Tidak Dipicu Proses Magmatik
Runtuhnya Anak Krakatau pada bulan Desember 2018 yang memicu tsunami tidak dipicu perubahan sistem magmatik. Hal ini menyebabkan erupsinya tidak terdeteksi dan tidak ada peringatan dini.
Abu vulkanik Gunung Anak Krakatau terlihat dari pinggir pantai di Desa Pasauran, Serang, Banten, Sabtu (11/4/2020). Gunung Anak Krakatau mengalami erupsi pada Jumat (10/4/2020) pukul 21.58 WIB dengan tinggi kolom abu mencapai sekitar 200 meter dengan status Waspada (level II).
—
Gunung api Anak Krakatau sebelum bencana tsunami telah meletus selama sekitar enam bulan. Namun, pada Desember 2018 erupsi tersebut memicu tsunami dahsyat, yang menggenangi garis pantai Jawa dan Sumatera dan menyebabkan kematian lebih dari 400 orang.
Sebuah tim peneliti yang dipimpin ahli dari University of Birmingham memeriksa material vulkanik dari pulau-pulau terdekat Anak Krakatau untuk mencari petunjuk apakah bencana itu dipicu letusan kuat dan eksplosif atau faktor lain. Hasil kajian dipublikasikan di jurnal Earth and Planetary Science Letters pada 15 Januari 2022.
Berkolaborasi dengan peneliti di Institut Teknologi Bandung (ITB), Universitas Oxford, dan British Geological Survey, tim melihat karakteristik fisik, kimia, dan mikrotekstur dari material erupsi. Mereka menyimpulkan bahwa letusan eksplosif besar yang terkait dengan keruntuhan tubuh gunung oleh sistem magmatik terjadi setelah tanah longsor.
Hal itu berarti kecil kemungkinan bencana disebabkan oleh magma yang memaksa naik ke permukaan dan memicu tanah longsor. Padahal, metode pemantauan gunung api saat ini merekam aktivitas seismik dan sinyal lain yang disebabkan oleh magma yang naik melalui gunung api. Akan tetapi, karena peristiwa di Anak Krakatau pada 2018 ini tidak dipicu aliran magma dari dalam, prosesnya tidak akan terdeteksi menggunakan teknik ini.
Sebastian Watt dari Fakultas Geografi, Ilmu Bumi, dan Lingkungan Universitas Birmingham, penulis senior makalah tersebut, mengatakan, ”Jenis bahaya vulkanik ini jarang terjadi, sangat sulit diprediksi, dan sering kali menghancurkan. Temuan kami menunjukkan, meski ada letusan eksplosif yang dramatis setelah runtuhnya Anak Krakatau, ini dipicu oleh tanah longsor yang melepaskan tekanan pada sistem magma—seperti gabus sampanye yang meletus.”
Baca juga : Menyaksikan Letusan Krakatau dari Ketinggian
Situasi ini menghadirkan tantangan untuk memprediksi bahaya di pulau-pulau vulkanik di masa depan. Mirzam Abdurrachman, anggota tim peneliti dari ITB, menjelaskan, ”Tanah longsor vulkanik besar terjadi sebagai akibat dari ketidakstabilan jangka panjang dan dapat terjadi tanpa perubahan khas dalam aktivitas magmatik di gunung berapi. Ini berarti dapat terjadi tiba-tiba dan tanpa peringatan yang jelas.”
Menurut dia, temuan ini penting bagi orang-orang yang tinggal di daerah yang dikelilingi oleh gunung api aktif dan pulau-pulau vulkanik di tempat-tempat seperti Indonesia, Filipina, dan Jepang.
Tanah longsor vulkanik besar terjadi sebagai akibat dari ketidakstabilan jangka panjang dan dapat terjadi tanpa perubahan khas dalam aktivitas magmatik di gunung berapi. Ini berarti dapat terjadi tiba-tiba dan tanpa peringatan yang jelas.
Penulis utama, Kyra Cutler, di Universitas Oxford mengatakan, evaluasi pertumbuhan jangka panjang dan pola deformasi gunung berapi akan membantu memberikan pemahaman lebih baik tentang kemungkinan longsornya tubuh gunung. Khusus untuk Anak Krakatau, hal ini masih relevan karena gunung ini tengah membangun kembali tubuhnya dan berisiko kembali longsor.
Selain itu, identifikasi daerah yang rentan perlu dilakukan, selain mengembangkan deteksi tsunami non-seismik. ”Perlu meningkatkan strategi pengelolaan bahaya secara keseluruhan bagi masyarakat yang berisiko,” katanya.
Profesor David Tappin dari British Geological Survey, University College, London, yang memimpin survei kelautan untuk memetakan endapan hasil keruntuhan letusan Anak Krakatau 2018 (Hunt et al. 2021) mengatakan, ”Jarang kita memiliki kesempatan untuk mempelajari letusan dan tsunami seperti itu, dengan peristiwa terakhir sebelumnya terjadi di Pulau Ritter, lebih dari 100 tahun lalu.”
Hasil utama kajian ini mengungkapkan, mekanisme penggerak longsoran ini berasal dari destabilisasi jangka panjang dibandingkan peristiwa ledakan seketika. ”Ini adalah penemuan kejutan besar dan akan mengarah pada evaluasi ulang tentang bagaimana mengurangi bahaya dari kegagalan vulkanik dan tsunami yang terkait dengannya,” katanya.
Pemantau tsunami
Seperti diketahui, tsunami akibat erupsi Anak Krakatau 2018 tidak didahului oleh peringatan dini tsunami. Ini terjadi karena selama ini sistem peringatan dini tsunami di Indonesia (InaTEWS) yang dioperasikan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) hanya didasarkan pada gempa bumi.
Setelah kejadian ini, generasi baru teknologi pemantau gelombang tsunami telah dipasang di Pulau Sebesi, pulau berpenghuni terdekat dari Gunung Anak Krakatau, yang diharapkan memperkuat sistem peringatan dini tsunami di Selat Sunda. Alat itu juga telah dipasang di Pantai Marina Jambu, Serang.
Adalah peneliti tsunami dari Kementerian Kelautan dan Perikanan—sekarang di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)—Semeidi Husrin, yang memasang sistem pemantauan tsunami ini bekerja sama dengan Ikatan Ahli Tsunami Indonesia (IATSI) dan Joint Research Centre of European Commission, serta didukung BMKG.
Baca juga : Endapan Tsunami Besar di Selatan Jawa dan Tokyo
Alat ini merupakan generasi baru pemantau tsunami yang awalnya dikembangkan Joint Research Centre of European Commission setelah terjadinya tsunami akibat runtuhnya gunung api Stromboli di Italia pada 2003. Sistem ini didasarkan pada pemantauan perubahan muka air laut, yang bisa disebabkan oleh berbagai faktor, tidak hanya gempa bumi.
Tiap unit dilengkapi cip yang bisa mengolah data dan memberikan peringatan jika ada anomali perubahan muka air tiba-tiba karena tsunami, serta dilengkapi kamera CCTV demi mengonfirmasi perubahan.
Menurut Semeidi, keunggulan alat itu ialah transmisi datanya tiap lima detik. Kecepatannya dipengaruhi sinyal telepon seluler di daerah itu sehingga bisa lebih murah. Namun, kelemahannya, akan sulit diterapkan untuk daerah yang belum ada jaringan telepon seluler.