Lima Terdakwa Pembunuh dan Penjual Gading Dituntut Pasal Berlapis
Pelaku harus divonis maksimal agar memberikan efek jera. Vonis maksimal juga menjadi cermin keperpihakan hukum pada perlindungan satwa.
Oleh
ZULKARNAINI MASRY
·2 menit baca
IDI RAYEUK, KOMPAS — Lima terdakwa kasus pembunuhan gajah dan penjualan gading di Kabupaten Aceh Timur, Aceh, dituntut pasal berlapis. Berkas perkara telah diserahkan ke pengadilan untuk dilanjutkan dengan tahapan sidang.
Kepala Subseksi Prapenuntutan Kejaksaan Negeri Aceh Timur Muhammad Iqbal, dihubungi pada Senin (18/10/2021), menuturkan, penuntutan dengan pasal berlapis dilakukan untuk antisipasi para terdakwa lolos dari tuntutan dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.
Iqbal menjelaskan, tersangka atas nama ZN (35) yang berperan sebagai pembunuh dijerat dengan Pasal 21 Ayat (2) Huruf a dan d UU No 5 Tahun 1990, yakni pembunuhan dan memperniagakan, dengan ancaman maksimal 5 tahun penjara.
”ZN perannya sebagai pembunuh gajah dan ikut memperdagangkan gading,” kata Iqbal.
Kami menjerat terdakwa dengan pasal berlapis untuk antisipasi tidak terbukti dengan UU Konservasi.
Sementara terdakwa EM (41), SN (33), JZ (50), dan RA (46) dijerat menggunakan UU No 5 Tahun 1990 dengan ancaman 5 tahun penjara dan KUHP Pasal 480 sebagai penadah dengan ancaman 4 tahun penjara. ”Kami menjerat terdakwa dengan pasal berlapis untuk antisipasi tidak terbukti dengan UU Konservasi,” kata Iqbal.
Kasus pembunuhan gajah terjadi di Desa Jambo Rehat, Kecamatan Banda Dalam, Aceh Timur. Seekor gajah ditemukan mati dalam kondisi tanpa kepala pada Minggu, 11 Agustus 2021. Gajah itu mati dibantai setelah diracun.
Hasil penyelidikan kepolisian, sepasang gading gajah itu dijual ke Bekasi, Jawa Barat. Gading itu dipakai untuk membuat kerajinan tangan, seperti pipa rokok dan aksesori.
Manajer Program Lembaga Suar Galang Keadilan (LSGK) Missi Muizzan menuturkan, ada terobosan baru dalam penegakan hukum kejahatan terhadap satwa dengan tuntutan pasal berlapis.
Missi mengatakan, kejahatan terhadap satwa lindung merupakan pidana serius sehingga penegakan hukum harus dilihat dari beberapa sudut. Dalam kasus pembunuhan, misalnya, pelaku pada umumnya juga terlibat dalam perdagangan.
Missi berharap pelaku divonis maksimal agar memberikan efek jera. Vonis maksimal juga menjadi cermin keperpihakan hukum pada perlindungan satwa.
”Perburuan dan perdagangan satwa terjadi masif, sudah seharusnya pelaku divonis berat,” katanya.