Perubahan perilaku masyarakat penting untuk memutus rantai penularan Covid-19. Untuk itu, keterlibatan tokoh agama dan ormas keagamaan sangat penting. Mereka punya pengaruh untuk bisa mengubah perilaku masyarakat.
Oleh
NIna Susilo
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pandemi Covid-19 memaksa perubahan perilaku demi memutus rantai penularan. Untuk perubahan perilaku tersebut, tokoh agama dan organisasi kemasyarakatan keagamaan penting untuk dilibatkan. Pelibatan perlu menyeluruh, mulai dari proses perencanaan sampai evaluasi dan pemantauan.
Pentingnya peran organisasi kemasyarakatan (ormas) keagamaan dan tokoh agama dalam penanganan pandemi Covid-19 dibahas di diskusi yang diselenggarakan Tulodo Indonesia secara daring, Kamis (12/8/2021). Diskusi ini menghadirkan Direktur International Programs for Behavioural Insights Team (BIT) Asia Pacific Nicholas Goodwin dan Sekretaris Pengurus Pusat Aisyiyah Tri Hastuti Nur Rochimah.
Dalam kondisi krisis seperti di masa pandemi saat ini, menurut Presiden Direktur Tulodo Indonesia Yulida Pangastuti, perubahan perilaku menjadi krusial. Sebab, perubahan perilaku menentukan kemampuan untuk bertahan dari penyakit ataupun dampak lainnya.
Agama yang berfungsi menjaga kohesi sosial di masyarakat serta mengaktualisasi norma dan fenomena-fenomena yang muncul di masyarakat dinilai sebagai satu faktor penting dalam perubahan perilaku. Karenanya, kata Yulida, agama tidak bisa dikesampingkan dalam penanganan pandemi Covid-19.
Dalam perubahan perilaku seperti yang diperlukan dalam kondisi pandemi ini, menurut Nicholas, ormas kegamaan bisa berperan penting. Sebab, secara umum, ada tiga fungsi utama ormas keagamaan, yakni sebagai penjaga gerbang, sebagai agen perubahan, dan sebagai penyedia layanan.
”Ketiga fungsi ini bisa dipertimbangkan dalam program yang sedang direncanakan atau dijalankan,” katanya.
Hal terpenting yang dilakukan ormas keagamaan dalam perubahan perilaku, menurut Tri Hastuti, adalah mengontekstualkan nilai agama dalam perubahan perilaku yang diharapkan. Dicontohkan, Muhammadiyah memaknai beribadah di rumah sebagai bagian dari jihad menyelamatkan nyawa manusia. Hal serupa dilakukan dalam menyosialisasikan vaksinasi. Sembari melakukan itu, nilai-nilai agama lain, seperti berbagi (ta’awun) juga disebarkan.
”Keteladanan juga menjadi kunci dalam menggerakkan dakwah, baik internal maupun eksternal. Ini penting dalam mendorong perubahan perilaku,” ujar Tri Hastuti yang juga Pengajar Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta itu.
Keteladanan ini bisa ditunjukkan para pemimpin agama yang terus mendampingi masyarakat dan anggotanya. Di Indonesia, baik di kota maupun di desa, tokoh agama disebut Tri Hastuti masih menjadi teladan. Kendati demikian, ada perbedaan dalam teknis penyampaian pesannya.
Di sisi lain, cara komunikasi dan pendekatan yang dilakukan juga memegang peranan dalam keberhasilan mendorong perubahan perilaku. Salah satunya yang dilakukan Aisyiyah adalah menggunakan kemampuan komunikasi para mubalig, baik dalam forum besar maupun secara personal.
Selain itu, kader harus menguasai pesan-pesan perubahan perilaku yang diharapkan. Sebab, menurut Tri, kendati dunia digital berkembang pesat, peran kader yang mendampingi komunitas tetap sangat menentukan.
Perubahan perilaku tidak selalu terjadi ketika seseorang memiliki pengetahuan tersebut. ”Dalam kultur masyarakat kita yang komunal, perlu kader-kader yang memfasilitasi untuk bergerak, mengumpulkan orang, mengantar, melakukan secara bersama. Jadi, selalu diperlukan kader-kader dalam mendorong perubahan perilaku,” tutur Tri.
Pemerintah Indonesia sendiri kerap mendorong pelibatan tokoh agama, tokoh masyarakat, dan tokoh pemuda dalam penanganan Covid-19 di wilayah. Pelibatan mereka, menurut Tri Hastuti, memang manis di atas kertas. Namun, perlu ada perbaikan dalam pelibatan banyak pemangku kepentingan.
Semestinya, para tokoh agama ataupun pengurus ormas keagamaan dilibatkan sejak perencanaan penanganan. Dengan demikian, partisipasi dan transparansi akan menjadi basis kerja bersama ini.
Sayangnya, pelibatan tokoh-tokoh agama ataupun ormas keagamaan serta pemangku kepentingan lain umumnya dilakukan tergesa-gesa saat akan menjalankan satu kebijakan.
Tri Hastuti pun mencontohkan beberapa pendekatan yang diterapkan di Aisyiyah. Proses yang partisipatif melalui musyawarah mufakat dilakukan saat akan melakukan satu program, seperti vaksinasi. Pembahasan wacana juga harus berorientasi pada aksi. Selain itu, digunakan pula perspektif jangka panjang. Semua dilakukan secara holistik, bukan parsial.