Penularan Covid-19 semakin meluas hingga ke masyarakat di perdesaan. Pengendalian pun harus diperluas, terutama upaya pelacakan dan pemeriksaan kasus sehingga setiap kasus bisa cepat ditemukan dan ditangani.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Upaya pelacakan dan pemeriksaan kasus Covid-19 di seluruh wilayah di Indonesia perlu diperkuat, tidak terkecuali di wilayah perdesaan. Pemeriksaan yang minim menyebabkan kasus yang dilaporkan di perdesaan terlihat kecil. Padahal, jika melihat data kematian justru melonjak.
Epidemiolog dari Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto Yudhi Wibowo, mengatakan, pemahaman dan kesadaran masyarakat yang masih rendah akan penularan Covid-19 menyebabkan pengendalian di perdesaan menjadi lebih sulit. Hal itu juga diperburuk oleh upaya pencegahan lain seperti pelacakan dan pemeriksaan yang tidak optimal.
”Edukasi harus terus dijalankan. Jadi, masyarakat termasuk masyarakat di perdesaan sadar dan paham akan penularan Covid-19. Ketika ada gejala seharusnya segera melakukan pemeriksaan. Saat ini, penolakan masih banyak terjadi,” katanya dalam webinar yang diikuti dari Jakarta, Rabu (11/8/2021).
Ia juga menyampaikan, pemerintah harus secara aktif melakukan pelacakan dan pemeriksaan. Mobilitas masyarakat yang masih tinggi sangat memungkinkan penularan Covid-19 jadi semakin meluas. Sekalipun kasus yang dilaporkan masih sedikit, hal itu tidak menjamin penularan yang terjadi di masyarakat juga rendah.
Tanpa pemeriksaan yang masif, kondisi penularan yang sebenarnya tidak bisa dipastikan. Sementara akses fasilitas pelayanan kesehatan pada masyarakat di perdesaan masih minim. Apabila ada lonjakan kasus, dikhawatirkan banyak masyarakat yang tidak tertangani.
Kepala Subbidang Tracing Bidang Penanganan Kesehatan Satuan Tugas Covid-19 Koesmedi Priharto menyampaikan, upaya peningkatan pelacakan dan pemeriksaan membutuhkan peran gotong royong dari semua pihak, terutama pemangku kepentingan di tingkat kelurahan dan desa. Untuk lebih memudahkan pelacakan, pemerintah juga tengah mengembangkan sistem pelacakan digital.
”Upaya pelacakan ini bukan hanya tanggung jawab puskesmas saja, melainkan juga aparat lain di tingkat kelurahan. Jika dilakukan oleh tenaga kesehatan saja tidak akan mampu karena mereka harus tetap harus fokus pada upaya pelayanan kesehatan lainnya,” katanya.
Pakar Kebijakan Bioteknologi dan Kesehatan IPMI Business School Sidrotun Naim menambahkan, sosialisasi dan edukasi terkait upaya pencegahan dengan menjalankan 3M (memakai masker, menjaga jarak, dan mencuci tangan) harus terus dilakukan. Untuk memastikan protokol kesehatan ini dijalankan, pemerintah perlu turut memfasilitasi masyarakat.
Penularan virus SARS-CoV-2 varian Delta yang sudah menyebar luas dan mendominasi kasus Covid-19 di Indonesia membuat penggunaan masker medis semakin penting. Akan tetapi, tidak semua masyarakat mampu membeli masker medis sekali pakai.
”Pemerintah setidaknya bisa memfasilitasi satu kotak masker untuk setiap bulan pada masyarakat di perdesaan. Jika hanya diimbau tanpa ada fasilitas yang diberikan, itu akan sulit. Tidak semua masyarakat mampu mengakses masker medis,” kata Sidrotun.
Laporan harian Satuan Tugas Penanganan Covid-19 per 11 Agustus 2021 menunjukkan, jumlah kasus baru yang terkonfirmasi Covid-19 bertambah 30.625 kasus dengan 1.579 kematian. Sementara itu, jumlah kasus yang diperiksa dalam sehari 135.459 orang. Dari jumlah ini, tingkat kasus positif (positivity rate)22,61 persen. Jumlah ini masih jauh dari ambang batas yang ditetapkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), yakni di bawah 5 persen.
Edukasi harus terus dijalankan. Jadi masyarakat, termasuk masyarakat di perdesaan, sadar dan paham akan penularan Covid-19. Ketika ada gejala seharusnya segera melakukan pemeriksaan. Saat ini, penolakan masih banyak terjadi. (Yudhi Wibowo)
Data kematian
Terkait dengan dikeluarkannya data kematian dalam indikator pengendalian Covid-19, Direktur Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Menular Langsung Kementerian Kesehatan Siti Nadia Tarmizi tidak membenarkan hal tersebut. Data kematian masih digunakan sebagai indikator pengendalian Covid-19 dalam menyusun kebijakan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) di daerah.
”Tidak benar jika dihapuskan. Yang benar kita hanya menggunakan data yang sesuai. Misalnya, di suatu daerah dilaporkan ada 500 kematian. Ternyata itu angka akumulasi dari lima bulan dan hanya ada 100 kasus kematian yang terjadi di minggu ini. Jadi yang akan kami gunakan sebagai pertimbangan adalah 100 kematian, sementara 400 kematian lain dihapuskan tetapi tetap dimasukkan sebagai data akumulasi,” ujarnya.
Nadia menyampaikan, upaya perbaikan sistem pelaporan terkait data kasus Covid-19, baik data kasus positif, kematian, maupun kesembuhan terus dilakukan. Harapannya, data yang dilaporkan merupakan data yang menunjukkan kondisi sebenarnya pada satu waktu (real time).
Namun, keterangan yang disampaikan oleh Nadia berbeda dengan keterangan yang sebelumnya disampaikan Juru Bicara Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Jodi Mahardi. Ia mengatakan, pemerintah untuk sementara waktu tidak menggunakan data kematian sebagai indikator pengendalian pandemi Covid-19.
Itu karena ditemukan adanya pelaporan data yang merupakan akumulasi angka kematian selama beberapa minggu sebelumnya sehingga dinilai menimbulkan distorsi dalam penilaian pengendalian Covid-19. Saat ini, indikator yang digunakan dalam penilaian adalah tingkat keterisian tempat tidur rumah sakit, kasus konfirmasi, jumlah perawatan di rumah sakit, jumlah pelacakan dan pemeriksaan, serta kondisi sosio-ekonomi masyarakat.
”Sekarang sedang dilakukan clean up data dan sudah ada tim khusus yang diturunkan. Kami harap dalam dua minggu ke depan sudah bisa selesai. Nanti (data kematian) akan di-include jika data sudah rapi,” kata Jodi.