Jumlah limbah medis melonjak berkali-kali lipat selama pandemi Covid-19. Lonjakan belum dimbangi ketersediaan fasilitas pengolahan limbah yang memadai. Fasilitas masih terkonsentrasi di Jawa.
Oleh
Mawar Kusuma Wulan
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Seiring masih tingginya kasus Covid-19, jumlah limbah medis yang tergolong dalam kategori bahan berbahaya dan beracun atau B3 pun terus mengalami lonjakan. Hingga Selasa (27/7/2021), total limbah medis berjumlah 18.460 ton. Di sisi lain, peningkatan jumlah limbah medis belum dimbangi dengan ketersediaan fasilitas pengolahan limbah yang memadai.
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar memperkirakan jumlah limbah medis bisa lebih besar lagi. ”Datanya dari provinsi, tetapi kelihatan datanya belum lengkap. Kementerian berusaha melengkapi,” ujar Siti dalam jumpa pers virtual bersama Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Laksana Tri Handoko seusai rapat terbatas dengan Presiden Joko Widodo, Rabu (28/7/2021).
Limbah medis B3, seperti jarum suntik, hazmat, alat PCR antigen, dan masker, berasal dari fasilitas pelayanan kesehatan, RS darurat, wisma isolasi terpusat, karantina mandiri, uji deteksi, ataupun vaksinasi. Data limbah medis dari setiap provinsi di Jawa menunjukkan peningkatan yang signifikan.
Jumlah limbah medis di Jawa Barat melonjak 10 kali lipat dari 74,03 ton pada 9 Maret 2021 menjadi 836,975 ton pada Selasa (27/7). Limbah medis di Jawa Tengah pada rentang tanggal yang sama naik lima kali lipat dari 122,82 ton menjadi 502,401 ton. Di Provinsi Jawa Timur, limbah medis naik dari 509,16 ton menjadi 629,497 ton. Kenaikan di Banten dari 228,06 ton menjadi 591,79 ton. Di DKI Jakarta, limbah medis naik dari 7.496,56 ton menjadi 10.939,053 ton.
Data dari asosiasi rumah sakit, menurut Siti, menyebut penambahan jumlah limbah medis bisa mencapai 383 ton per hari. Fasilitas pengolahan limbah B3 sebenarnya sudah mampu mengolah hingga 493 ton per hari. Namun, Kepala BRIN Laksana menambahkan bahwa fasilitas tersebut masih cenderung terkonsentrasi di Pulau Jawa.
Di seluruh Indonesia saat ini baru ada 20 pengusaha yang mengolah limbah medis dan hanya 4,1 persen rumah sakit yang punya fasilitas insinerator yang berizin. Untuk mempercepat pengolahan limbah medis, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) telah memberikan relaksasi atau pelonggaran izin insinerator sejak tahun lalu.
”Jadi selain izin dipercepat. Relaksasi insinerator yang belum punya izin diperbolehkan beroperasi dengan syarat suhu 800 derajat celsius dan terus diawasi,” ujar Siti.
Pinggir jalan
Dalam ratas, Presiden Jokowi mengarahkan agar dukungan anggaran sebesar Rp 1,3 triliun untuk penanganan limbah medis bisa lebih diintensifkan, antara lain untuk membangun insinerator. ”Harapannya, pemerintah daerah jangan lengah soal limbah medis. Pemda mesti melihat ini, dari Rp 1,3 triliun, yang 600 miliar, dana yang ditransfer ke daerah,” kata Siti.
Tingkat kesadaran masyarakat juga perlu terus dibangun. Siti mencontohkan bahwa setiap lembar masker menyumbang limbah seberat 4 gram. Sejak Maret, Siti juga telah menulis surat ke pemda yang menegaskan bahwa limbah medis Covid-19 tidak boleh dibuang ke Tempat Pembuangan Akhir sampah. ”Bisa kena sanksi, apalagi buang di pinggir jalan,” ujarnya.
Menjawab pertanyaan wartawan tentang bungkus gorengan dari kertas bertulis hasil positif Covid yang sedang viral di media sosial hingga alat suntik yang dibuang di tepi jalan, Siti menyebut pengaduan terkait limbah medis dari masyarakat masih sedikit sekali. Pengaduan terkait limbah medis sempat masuk dari Jawa Timur, tetapi pelakunya belum ditemukan dan lokasi pembuangan limbah segera dibersihkan.
Di Purwakarta, pelaku sudah dikenai sanksi administratif. Kementerian juga masih menginvestigasi limbah alat suntik di pinggiran jalan Depok, Jawa Barat. ”Sebetulnya konsep pengawasan yang dilakukan KLHK selama Covid ini masih dalam bentuk pengawasan dalam bentuk pembinaan. Di undang-undangnya sebenarnya agak kejam, dia pidana masuknya. Kita suruh perbaiki, rapiin dulu, kecuali kalau sudah ngaco masuk investigasi pidana,” tutur Siti.
Kepada Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Ma’ruf Amin, Siti mengaku mengkhawatirkan limbah medis dari isolasi mandiri di rumah-rumah. Limbah medis dari pasien isoman idealnya harus dikumpulkan, dibungkus dalam plastik, dan diangkut terpisah. ”Istilahnya sekarang isoman RT. Ini cukup krusial,” ucapnya.
Di sisi lain, KLHK juga masih menemukan impor limbah B3. ”Kita sebetulnya menolak impor limbah B3, tetapi Bea Cukai menemukan lagi masuknya kontainer yang merupakan limbah. Kementerian LHK akan menangani ini. Tidak mentolerir masuknya limbah B3, apalagi infeksius,” ucap Siti.
Daur ulang
Laksana menambahkan, sedang menyiapkan teknologi pengolahan limbah medis skala kecil dan mobile sehingga mudah dipindahkan. Teknologi pengolahan ini saat ini sedang dalam proses lisensi. ”Pengolahan limbah mobile yang dilengkapi plasma sehingga tidak ada emisi dioksin yang tersisa berbahaya. Ukuran tidak besar dan biaya operasional relatif kecil,” ucap Laksana.
Dalam ratas, BRIN juga menyampaikan beberapa teknologi daur ulang limbah medis. Dengan pola daur ulang, akan ada insentif finansial dari sisi bisnis yang berpotensi mengurangi jumlah limbah medis secara keseluruhan. Jarum suntik, misalnya, bisa dihancurkan dan menghasilkan stainless steel (baja nirkarat) murni.
Masker dan alat pelindung diri dari bahan polypropylene bisa didaur ulang untuk memperoleh polypropylene murni atau sejenis plastik yang nilainya ekonominya cukup tinggi. ”Berharap bisa meningkatkan motivasi untuk mengumpulkan dan mengolah limbah, bahkan kepatuhan dan berpotensi menjadi lahan baru bisnis pelaku usaha skala kecil di daerah. Khususnya pelaku usaha skala kecil,” tutur Laksana.