Presiden Joko Widodo mengapresiasi kecepatan Pemerintah Kota Surabaya membangun Pengolahan Sampah Menjadi Energi Listrik. Kota lain yang ditunjuk membangun instalasi serupa diminta meniru Surabaya.
Oleh
NINA SUSILO
·5 menit baca
SURABAYA, KOMPAS — Presiden Joko Widodo mengacungkan jempol atas berdirinya Pengolahan Sampah Menjadi Energi Listrik Benowo di Surabaya. Pasalnya, berdirinya instalasi tersebut menjadi yang tercepat di antara tujuh kota yang diminta Presiden. Meski demikian, sejumlah kelompok masyarakat sipil peduli lingkungan mengingatkan, persoalan sampah tak usai hanya dengan adanya pengolahan sampah tersebut.
Instalasi pengolahan sampah menjadi energi listrik tersebut diresmikan Presiden Joko Widodo, Kamis (6/5/2021) sore.
Pengelolaan sampah, menurut Presiden, bukan sekadar mengubahnya menjadi energi listrik. Akan tetapi, ini menyangkut kebersihan kota. Jika menggunakan metode penumpukan sampah (landfill), air lindi, terutama saat hujan, bisa mencemari lingkungan sekitar, seperti sumur warga atau tambak penduduk.
Karena itu, Presiden mengapresiasi pembangunan pengelolaan sampah menjadi energi listrik dengan teknologi ramah lingkungan di Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) Benowo, Surabaya. Menurut Presiden, pembangunan pengolahan sampah itu sudah diinginkannya sejak masih menjabat Wali Kota Solo dan Gubernur DKI Jakarta.
Namun, untuk segera merealisasikannya terbentur aturan. Presiden lantas menerbitkan sejumlah aturan terkait investasi, tarif listrik, dan pengelolaan barang daerah untuk memastikan pemerintah daerah bisa mengeksekusi pembangunan pengolahan sampah menjadi energi listrik.
”Kecepatan kerja Pemerintah Kota Surabaya patut diacungi jempol sehingga selesai yang pertama dari tujuh kota yang saya tunjuk lewat PP (peraturan pemerintah). Kota lain, enggak usah ruwet, lihat saja di Surabaya dan tiru,” tutur Presiden.
Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi menjelaskan, TPA Benowo sesungguhnya sudah beroperasi sejak 2001. Saat itu, TPA seluas 37,4 hektar ini bisa menampung 1.600 ton sampah per hari. Pemkot Surabaya juga mendorong 3R (reduce, reuse, dan recycle) sampah dengan melibatkan masyarakat. Dampak dari sejumlah ikhtiar itu, sekitar 20 persen sampah bisa terkurangi.
Adapun sisanya masuk ke Pengolahan Sampah Energi Listrik (PSEL) Benowo yang terdiri atas landfill gas power plant dan gasification power plant. Pengolahan pertama menghasilkan 2 MW, sedangkan gasification power plant 9 MW. Fasilitas ini juga mereduksi sampah sampai 40 persen hanya dengan memanfaatkan gas dari bau sampah.
Proses termal gasifikasi untuk memusnahkan sampah dilakukan dengan metode ”pembakaran” tertutup yang terkendali. Energi panas dari pembakaran sampah dimanfaatkan untuk pemanasan air pada boiler. Uap air hasil pemanasan menjadi penggerak turbin serta generator penghasil listrik.
”Pemkot bekerja sama dengan PT Sumber Organik di sini,” kata Eri yang berterima kasih juga kepada Tri Rismaharini, Wali Kota Surabaya sebelum Eri, yang memulai pembangunan PSEL Benowo.
Secara terpisah, pegiat lingkungan seperti Manajer Riset Lembaga Kajian Ekologi dan Konservasi Lahan Basah (Ecoton) Daru Setyo Rini serta Manajer Kampanye Energi Bersih dan Perkotaan Walhi Dwi Sawung menilai pembangunan instalasi pengolah sampah ini tak mengurai akar masalah.
Dalam pengelolaan sampah, menurut Daru, semestinya yang diprioritaskan adalah pencegahan terbentuknya sampah, misalnya dengan mendorong pemilahan sampah dan pembentukan rumah kompos di setiap desa/kelurahan. Pelarangan sampah sekali pakai atau keresek di beberapa kota dinilai baik, tetapi penegakan hukumnya tidak jelas. Selain itu, produsen semestinya diwajibkan bertanggung jawab atas sampah plastik, terutama plastik saset, popok, dan pembalut.
”Kami selalu menolak pengolahan sampah menggunakan insinerator, baik waste to energy, waste to fuel, maupun plastic to asphalt. Sebab, ini semua false solution. Justru kita didorong untuk menghasilkan lebih banyak lagi sampah plastik,” tutur Daru.
Pentingnya penanganan sampah dari hulu, yakni dari penghasil sampah di rumah tangga, hotel, restoran, rumah sakit, dan perkantoran, agar sampah yang dibawa ke TPA tak terlalu banyak. Pengelolaannya pun akan lebih hemat biaya.
Sebaliknya, pengolahan sampah secara termal akan menghasilkan sampah, baik asap dan sisa abu beracun yang termasuk limbah B3 maupun limbah cair yang juga beracun. ”Negara maju memang pakai teknologi ini, tetapi mereka punya kemampuan keuangan untuk mengelolanya secara benar,” tambah Daru.
Dwi Sawung menambahkan, penggunaan insinerator dalam pengelolaan sampah biasanya akan gagal. Sebab, sebelum masuk insinerator, perlu ada pemilahan sampah. Sampah seperti logam dan batu baterai tak bisa masuk ke insinerator. Selain itu, tipping fee atau biaya yang harus dikeluarkan untuk setiap ton sampah yang diolah cukup tinggi. ”Setahu saya, paling tidak Rp 500.000 per ton sampah biayanya untuk memenuhi standar emisi,” kata Sawung.
Selain biaya tersebut, pemerintah harus menyubsidi tarif listrik yang dihasilkan dari PSEL. Sebab, harga jual listrik ke PLN jauh lebih rendah ketimbang biaya yang diperlukan untuk menghasilkannya.
”Dalam hitungan PLN tahun 2015, untuk tujuh kota saja, subsidi yang diperlukan Rp 1,8 triliun per tahun. Produksi listrik dari sampah ini memang mahal karena pretreatment dan pengendalian polusinya,” tutur Sawung.
Karena itu, Sawung mempertanyakan kemungkinan keberlanjutan pengelolaan sampah di PSEL apabila tidak ada pemilahan sampah sejak di hulu. Selain itu, sangat diperlukan komitmen pemerintah untuk terus menyubsidi PSEL supaya bisa terus beroperasi. Komitmen lainnya adalah penyediaan air bersih untuk boiler di PSEL.
”Di Bantargebang, pretreatment dilakukan di sana, tetapi enggak ngejar 100 ton per hari. Akhirnya hanya sanggup 20 ton per hari,” tambahnya.
Oleh karena itu, Sawung juga menyepakati bahwa semestinya kampanye maupun pengaturan untuk memilah sampah, termasuk pengangkutan sampah terpilah, dilakukan terlebih dahulu.
Di Indonesia, 60 persen sampah adalah sampah organik yang memiliki kandungan air tinggi. Sampah organik ini semestinya langsung diolah di rumah kompos yang dibangun di setiap desa. Dengan demikian, tambah Daru, beban pengolahan di TPA jauh lebih ringan. Selain itu, tidak muncul timbunan sampah liar di sungai, di desa, ataupun di wilayah lain.