Butuh Lebih dari Gerakan Satu Jam untuk “Bertahan”
Earth Hour yang ditandai pemadaman lampu selama satu jam berlangsung di berbagai negara, termasuk Indonesia. Gerakan itu bertujuan melibatkan masyarakat dalam upaya mitigasi dampak perubahan iklim.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·4 menit baca
“Hitung mundur gerus tepian // Hingga hunian tinggal lautan // Memanaskan dunia // Mencair di utara // Kita di ujung masa // Kita mencari celah untuk bertahan // Kita mencari ruang adaptasi...” (Barasuara - Guna Manusia)
Penggalan lirik lagu “Guna Manusia” karya band indie Indonesia Barasuara bisa jadi dapat mewakili kondisi di dunia tak terkecuali Indonesia yang menghadapi ancaman perubahan iklim. Makna lagu itu juga mempertanyakan upaya manusia menjaga dan memperbaiki alam, termasuk beradaptasi dengan dampak perubahan iklim.
Dari sekian banyak upaya adaptasi dan mitigasi perubahan iklim yang terus digencarkan, peringatan Earth Hour atau Jam Bumi di seluruh dunia menjadi salah satunya. Acara pemadaman lampu serentak selama satu jam di seluruh dunia yang rutin diadakan setiap tahun pada hari Sabtu di akhir Maret ini menjadi simbol untuk lebih gencar dalam memperbaiki kerusakan alam dan menggemakan isu lingkungan. Earth Hour pertama kali diinisasi oleh WWF dan sejumlah organisasi lain di Sydney, Australia pada 2007 lalu.
Tahun ini atau tepatnya pada Sabtu malam (27/3/2021), kota-kota di berbagai negara turut memadamkan lampu selama satu jam. Di London, Inggris, pemadaman lampu memperingati Earth Hour dilakukan di sejumlah landmark seperti Gedung Parlemen, kincir ria London Eye, gedung pencakar langit Shard, dan persimpangan Piccadilly Circus.
Selain London, pemadaman lampu dilakukan di landmark kota-kota di negara lain seperti Menara Eiffel (Perancis), Colosseum (Italia), Gerbang Bradenburg (Jerman), Gedung Empire State (AS), Monumen Obelisk (Brasil), Tokyo Tower (Jepang), Marina Bay Sand (Singapura), hingga Gedung Opera Sydney (Australia).
Sementara di Indonesia, pusat peringatan Earth Hour dilakukan di Bandung, Jawa Barat. Namun, pemadaman lampu juga juga dilakukan di kota lain, salah satunya di landmark Tugu Selamat Datang, Kawasan Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta.
Gubernur Jabar Ridwan Kamil yang hadir dalam peringatan Earth Hour di Bandung menyampaikan, pemadaman lampu serentak selama satu jam dapat menghemat anggaran hingga Rp 500 juta. Namun, simbol peringatan ini bukan hanya masalah anggaran melainkan juga gerakan bijak energi sehingga generasi muda dan masyarakat umum lainnya dapat lebih peduli untuk mengurangi penggunaan energi berbahan bakar fosil.
“Penggunaan energi baru terbarukan di Jawa Barat baru mencapai 10 persen dan 90 persen lainnya masih berbahan bakar fosil. Dalam 25 tahun ke depan Indonesia harus mengubah energi berbahan bakar fosil yang menghasilkan karbondioksida menjadi energi terbarukan sehingga kita bisa hidup lebih baik tanpa harus terus mengeruk perut bumi,” ujarnya.
Dalam 25 tahun ke depan Indonesia harus mengubah energi berbahan bakar fosil yang menghasilkan karbondioksida menjadi energi terbarukan.
Peralihan dari energi berbahan bakar fosil ke energi baru terbarukan (EBT) menjadi keniscayaan agar Bumi dapat bernapas lebih panjang. Data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyebut, kapasitas pembangkit listrik EBT pada 2015 mencapai 8.496 megawatt (MW) dan terus meningkat menjadi 10.467 MW tahun 2020. Air menjadi sumber energi pembangkit listrik dengan realisasi terbesar, disusul panas bumi, bioenergi, bayu, dan surya. (Kompas, 26/1/2021)
Selain menghadirkan sumber energi yang ramah lingkungan, pemanfaatan EBT ini berkontribusi pada penurunan emisi gas rumah kaca (GRK). Kementerian ESDM mencatat, realisasi penurunan emisi GRK pada 2020 mencapai 64,4 juta ton karbondioksida dengan 53 persennya dicapai melalui pemanfataan EBT.
Penurunan emisi juga berasal dari penerapan efisiensi energi dengan kontribusi mencapai 20 persen, penggunaan bahan bakar fosil rendah karbon (13 persen), pemanfaatan teknologi pembangkit bersih (9 persen), dan kegiatan reklamasi pasca tambang (4 persen).
Jaminan pasokan
Ketua Umum Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI) Surya Darma sebelumnya menuturkan, transisi menuju EBT perlu dilakukan untuk memperkuat jaminan pasokan energi sambil mengurangi hingga akhirnya dapat meredam kebutuhan bahan bakar fosil. Jika transisi sepenuhnya dapat dilakukan, pemanasan global atau perubahan iklim juga bisa ditekan.
Target 30 persen penggunaan EBT pada tahun 2045, lanjut Surya, harus menjadi fokus berbagai pihak. Kementerian ESDM dinilai telah fokus untuk menyusun peraturan presiden (perpres) tentang pembelian tenaga listrik dari EBT. Ia berharap, perpres itu segera diterbitkan karena telah dibahas sejak 2019.
Peningkatan peralihan energi ramah lingkungan juga perlu dilakukan di sektor transportasi karena saat ini kendaraan di Indonesia masih banyak yang menggunakan bahan bakar minyak (BBM) fosil.
Menurut data Institute for Essential Services Reform (IESR), konsumsi energi di sektor transportasi terus meningkat dan menyumbang 32 persen dari total konsumsi energi di dunia. Kondisi ini menyebabkan emisi GRK dari sektor transportasi mencapai 25 persen dan mayoritas berasal dari transportasi darat.
Mempromosikan kampanye hemat energi dan pemanfaatan EBT menjadi salah satu fokus pelaksanaan Earth Hour 2021 di Indonesia. Di sisi lain, Yayasan WWF Indonesia dan Komunitas Earth Hour di 30 kota gencar membangun kolaborasi untuk kampanye mengurangi sampah plastik di lautan, menginisiasi komitmen anak muda dalam program berkelanjutan, serta menggerakkan kampanye pembangunan kesadaran terkait keanekaragaman hayati di seluruh Indonesia.
Earth Hour bukan gerakan jangka pendek untuk menyelamatkan bumi, tetapi memiliki tujuan jangka panjang agar masyarakat mengetahui dan berkontribusi mengurangi dampak perubahan iklim. Harapannya, muncul gaya hidup ramah lingkungan. Jadi butuh lebih dari gerakan pemadaman listrik selama satu jam untuk bertahan dari dampak perubahan iklim.