Saatnya Jurnalis Memahami Protokol Keamanan dalam Peliputan
Angka kekerasan terhadap jurnalis yang terus meningkat belum diimbangi dengan keberhasilan penuntasan kasusnya. Mitigasi menjadi penting, salah satunya dengan cara memahami protokol keamanan dalam peliputan.
Oleh
FAJAR RAMADHAN
·4 menit baca
Direktur Eksekutif Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers Ade Wahyudin mengatakan, protokol keamanan sangat dibutuhkan bagi jurnalis, mengingat dalam tiga tahun terakhir tren kekerasan terhadap mereka terus meningkat. Bahkan, tahun 2020 dianggap sebagai tren kekerasan tertinggi pascareformasi.
”Kalau dirata-rata, tidak kurang dari 50 kasus kekerasan terjadi setiap tahunnya. Tapi, penyelesaiannya masih di bawah 5 persen. Padahal, kasus kekerasan, pembuktiannya cukup mudah. Bisa melalui visum dan saksi,” katanya dalam Peluncuran Protokol Keamanan dalam Meliput Isu Kejahatan Lingkungan pada Rabu (24/3/2021).
Berdasarkan pemantauan LBH Pers, kasus kekerasan terahadap jurnalis pada 2017 mencapai 63 kasus. Angka ini meningkat pada 2018 menjadi 71 kasus dan 2019 menjadi 79 kasus. Pada 2020, angka kekerasan terhadap jurnalis mencapai 117 kasus.
Di sisi lain, Ade melihat ada keengganan dari para jurnalis untuk membela diri. Banyak jurnalis memilih memaklumi tindak kekerasan tersebut dan menganggapnya sebagai risiko pekerjaan. Akibatnya, terjadi pembiaran kepada pelaku kejahatan sehingga kekerasan terus berulang.
Alasan tersebut membuat LBH Pers menyusun sebuah protokol keamanan bagi jurnalis, khususnya dalam meliput isu-isu kejahatan lingkungan. Protokol ini disusun atas kerja sama dengan Kemitraan.
”Memang kasus kekerasan untuk isu lingkungan ini angkanya sedikit, tetapi tensi kekerasannya tinggi hingga ancaman pembunuhan atau kriminalisasi. Untuk itu, mitigasinya mesti serius,” kata Ade.
Protokol keamanan dalam meliput isu kejahatan lingkungan diawali dengan perencanaan dan persiapan. Dalam hal ini jurnalis harus mencari informasi sebanyak mungkin mengenai wilayah dan aktor kunci yang berkaitan dengan peliputan. Informasi itu bisa didapatkan dari jejaring yang pernah meliput di lokasi yang sama.
Siapkan juga dokumen penting yang disimpan di tempat khusus. Hal ini untuk mengantisipasi hilangnya dokumen dalam proses peliputan. Selain itu, jurnalis juga perlu mengidentifikasi cara untuk menyelamatkan diri jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Jaminan dari perusahaan media juga diperlukan.
”Protokol ini hanya akan efektif jika diimplementasikan oleh jurnalis dan jajaran redaksinya. Dalam merencanakan liputan tentu harus membentuk tim. Tim ini harus solid agar keamanan jurnalis terjaga,” ungkap Ade.
Ketika sudah berada di lapangan, jurnalis harus sudah memahami karakter wilayah peliputan. Jurnalis juga harus memiliki sikap yang rendah hati, bisa mengantisipasi risiko, serta jernih menggunakan nalar dan akal sehat.
Pola komunikasi dengan narasumber dan tim redaksi juga harus diperhatikan saat berada di lapangan. Jurnalis idealnya memisahkan nomor pribadi dan nomor khusus yang digunakan selama di lapangan. Jika mendapatkan ancaman, jurnalis bisa melaporkan kepada tim redaksi, Komite Keselamatan Jurnalis, atau LBH Pers.
Ancaman tersebut juga dapat berupa ancaman digital. Dalam hal ini, keamanan digital akan membantu tim redaksi dan jurnalis dalam mengatasi serangan digital. Salah satu bentuk ancaman digital ini bisa berupa pelacakan lokasi jurnalis hingga berujung tindakan yang membahayakan.
Jurnalis juga bisa menjadi target penyadapan untuk dicari tahu siapa saja yang terhubung dengan jurnalis. Perlu diketahui, penggunaan media sosial oleh jurnalis tanpa disadari dapat mengungkapkan informasi yang seharusnya perlu dirahasiakan.
Protokol keamanan ini juga mengulas soal ancaman yang datang setelah proses publikasi. Dalam hal ini, ancaman bisa diredakan dengan cara nonhukum, seperti memanfaatkan jejaring. Perusahaan media juga bisa menyediakan safe house atau rumah aman bagi jurnalis.
Irna Gustiawati dari Asosiasi Media Siber Indonesia menegaskan, artikel yang sudah dipublikasikan idealnya sudah bukan menjadi tanggung jawab jurnalisnya, melainkan tanggung jawab institusi. ”Ketika ada pengaduan akan kami ambil alih. Sebab, kita harus menyelamatkan dulu reporternya dari ancaman serius,” kata Irna yang juga menjabat Pemimpin Redaksi Liputan6.com.
Sekretaris Jenderal Serikat Media Siber Indonesia HM Nasir mengatakan, protokol keamanan ini seakan memberikan kesadaran baru bagi para jurnalis. Sebab, di era digital saat ini ancaman kepada jurnalis bisa datang dari mana saja.
”Jadi, kita harus mampu mengatasinya dengan berbagai aplikasi yang bisa melawan mereka,” katanya.
Koordinator Keamanan Perusahaan Penyiaran Belanda Peter ter Velde mengungkapkan, pada 2017, sebuah studi menyebutkan, 61 persen jurnalis di Belanda pernah mengalami kekerasan hingga pelecehan. Hal ini cukup mengejutkan karena Belanda dianggap sebagai negara yang menjunjung tinggi kebebasan pers.
”Situasi ini dipicu oleh orang-orang di arus bawah yang tidak percaya pada politik, sains, dan media. Mereka lebih percaya pada berita di media sosial ketimbang media tradisional. Dari ketidakpercayaan itu orang menjadi agresif terhadap jurnalis,” ungkapnya.
Menurut Peter, hal ini kemudian mendorong sejumlah organisasi berkumpul untuk memperkuat posisi jurnalis. Organisasi tersebut, antara lain, organisasi media, persatuan jurnalis, hingga kepolisian dan kejaksaan.
”Kami kemudian menyusun protokol keamanan bagi jurnalis. Polisi dan kejaksaan terlibat di dalamnya. Salah satu protokolnya, jika ada jurnalis yang melaporkan kekerasan di kantor polisi, akan diprioritaskan,” katanya.