56 Negara Berkomitmen Menjamin Keselamatan Wartawan
Wartawan tidak hanya menyampaikan informasi penting tentang pandemi serta membantu masyarakat membedakan informasi yang benar dan palsu. Namun, wartawan terus menghadapi ancaman dan serangan di masa pandemi ini.
Oleh
Yovita Arika
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sebanyak 56 negara berkomitmen untuk mendukung kebebasan pers dan keselamatan wartawan. Mereka berjanji menyelidiki dan menuntut semua bentuk serangan terhadap wartawan dan pekerja media lainnya. Mereka juga berjanji mengambil tindakan ketika wartawan perempuan dihadapkan pada risiko dan ancaman tertentu.
Kesepakatan tertuang dalam Komitmen Den Haag yang lahir dalam pertemuan para menteri luar negeri dalam Konferensi Kebebasan Pers Dunia 2020 yang diselenggarakan secara virtual di Den Haag, Belanda, Rabu (9/12/2020). Konferensi yang diselenggarakan Kementerian Luar Negeri Belanda dan UNESCO ini berlangsung pada Rabu dan Kamis (10/12/2020).
Untuk mendukung Komitmen Den Haag, Pemerintah Belanda mengalokasikan 7 juta euro untuk mempromosikan kebebasan pers dan keselamatan wartawan. Belanda akan berkolaborasi dengan UNESCO dan Kantor Komisioner Tinggi Hak Asasi Manusia (OHCHR) dalam bentuk kampanye internasional. Perhatian khusus akan diberikan untuk wartawan perempuan, akses ke informasi, dan upaya mengakhiri impunitas atas kejahatan terhadap wartawan.
Program shelter city juga diperluas, 16 kota di Belanda menawarkan perlindungan sementara bagi para pembela hak asasi manusia. Lima tahun ke depan, Den Haag akan menawarkan dua tempat untuk menampung wartawan yang mendapatkan ancaman.
”Tidak ada wartawan yang harus takut akan intimidasi, kekerasan, atau penganiayaan. Wartawan harus bisa melakukan pekerjaannya. Mereka adalah oksigen masyarakat yang bebas, inklusif, dan beragam,” kata Menteri Luar Negeri Belanda Stef Blok dalam panel diskusi pada hari pertama Konferensi Kebebasan Pers Dunia 2020.
Tantangan pandemi
Diskusi tersebut menyoroti tantangan pers yang semakin meningkat, terutama terhadap wartawan yang terus menjadi sasaran kekerasan ketika melakukan pekerjaannya. Ancaman semakin besar di masa pandemi ini, terutama ketika wartawan berusaha menyampaikan kebenaran terkait pandemi Covid-19.
Direktur Jenderal UNESCO Audrey Azoulay mengatakan, para wartawan tidak hanya menyampaikan informasi penting tentang pandemi, tetapi juga membantu masyarakat untuk membedakan informasi yang benar dan salah di tengah pandemi informasi palsu (infodemik). ”Namun, wartawan terus menjadi sasaran, diganggu, dan diserang,” katanya.
Dalam beberapa tahun terakhir, kata Azoulay, ancaman terhadap wartawan meningkat karena mereka melakukan tugasnya, menyampaikan kebenaran. Data UNESCO menunjukkan, pada 2010-2019, sekitar 900 wartawan tewas saat menjalankan tugasnya, tetapi sebagian besar pelakunya tidak dihukum.
Maria Ressa, Pemimpin Redaksi Rappler, media daring di Filipina, mengatakan, serangan dan ancaman terhadap wartawan telah dimudahkan oleh teknologi dan penetrasi media sosial. Ancaman dan serangan berpotensi terjadi ketika wartawan berusaha memastikan bahwa informasi yang sampai ke masyarakat adalah informasi yang benar.
Di tengah penetrasi media sosial, kata Ressa, masyarakat harus memperhatikan sumber berita mereka. ”Kehadiran distopia telah melanda banyak negara demokrasi di seluruh dunia dan kami harus melakukan sesuatu tentang ini,” kata Ressa yang pernah ditangkap sembilan kali oleh polisi di bawah pemerintahan Presiden Rodrigo Duterte.
Media tidak hanya berhadapan dengan media sosial yang dibanjiri berita palsu, tetapi juga dengan pemerintah. Kepala Biro Washington untuk New York Times Elisabeth Bumiller memaparkan tantangan media di Amerika Serikat selama pemerintahan Presiden Donald Trump. ”Dia (Trump) menyebut kami ’musuh rakyat’, dia menggunakan istilah ’berita palsu’,” kata Bumiller.
Serangan tersebut, kata Bumiller, memiliki efek korosif, menggerus kepercayaan, pada media di Amerika Serikat. Karena itu, dia menyebut masa di bawah pemerintahan Trump sebagai empat tahun yang sulit bagi media di Amerika Serikat.