Beralih dari Nasionalisme Buta Menjadi Rasional dan Argumentatif
Sikap nasionalisme netizen Indonesia mendadak muncul dalam kasus All England 2021 dan Dewa Kipas. Namun, apakah nasionalisme ini yang diharapkan?
Oleh
Erika Kurnia
·5 menit baca
Sikap nasionalisme masyarakat Indonesia mendadak muncul setelah kasus dipaksa mundurnya tim Indonesia dari All England 2021 pada 18 Maret lalu. Masyarakat pengguna internet atau netizen yang merasa simpati dengan tim nasional yang dikecewakan penyelenggara ajang bergengsi bulu tangkis tersebut, sebagian terbawa emosi hingga melawan balik penyelenggara dengan kekuatan jari mereka.
Sampai hari ini, Senin (22/3/2021), akun Instagram Federasi Bulu Tangkis Dunia (BWF) yang aktif menayangkan potret kegiatan acara tahunan tersebut masih dibanjiri komentar dari netizen Indonesia. Komentar-komentar yang disampaikan rata-rata masih bernada kecaman, seperti menyuarakan ketidakadilan penyelenggara acara hingga ajakan melaporkan akun BWF dan penyelenggara terkait.
Ini menyusul protes netizen di media sosial lainnya. Salah satunya Twitter, yang diramaikan cuitan dengan tagar-tagar yang dalam waktu sekejap setelah kejadian pendepakan tim Indonesia menjadi trending topic. Tegar tersebut seperti #BWFMustBeResponsible, #SaveINAAthletes, #SaveBadminton, #JusticeForIndonesianPlayers, hingga #bwfunfair.
Akun Instagram resmi All England bahkan tidak bisa diakses sejak Sabtu, 20 Maret 2021. Tidak lama kemudian, All England mendaftarkan akun terbaru mereka dengan nama @allengland.official. Lagi-lagi, akun resmi tersebut hilang dan tidak sedikit pihak lain yang memanfaatkan momen untuk membuat akun dengan nama dan logo serupa.
Semangat nasionalisme netizen belum lama ini juga muncul dalam kontroversi pecatur Indonesia yang memakai nama Dewa_Kipas di akun permainan catur dalam jaringan Chess.com. Pecatur bernama asli Dadang Subur tenar setelah pecatur Amerika Serikat sekaligus Master Internasional Levy Rozman dengan nama akun GothamChess dikalahkannya dalam laga catur cepat 10 menit pada 2 Maret 2021.
Levy yang setiap hari menyajikan pertandingan catur secara streaming kepada ribuan penonton di media sosial melaporkan akun Dewa_Kipas setelah menang dengan akurasi langkah 93,5 persen. Kecurigaan Levy akan adanya kecurangan kemudian dianalisis dan diverifikasi Chess.com bahwa akun Dewa_Kipas telah melanggar aturan fair play. Akun Dewa_Kipas pun diblokir (Kompas.id, 16/3/2021).
Situasi yang awalnya normal berlanjut dengan keriuhan ketika pemberitaan sejumlah media dan netizen Indonesia menuduh GothamChess menggerakkan pengikutnya untuk melaporkan akun Dewa_Kipas. Hal ini semakin panas ketika putra Dadang bersikukuh tidak melakukan kecurangan. Levy pun menjadi bulan-bulanan netizen Indonesia, hingga ia membatasi konten Youtube GothamChess dari penonton Indonesia sampai saat ini.
Situasi ini pun menarik figur publik Deddy Corbuzier mewawancarai Levy dalam konten Podcast-nya di Youtube. Deddy bahkan memfasilitasi Dadang untuk bertanding dengan pecatur nasional dan Women Grand Master (WGM) Irene Sukandar hari ini untuk menguji kemampuan Dewa_Kipas di dunia nyata.
Kesopanan bermedia sosial
Ketua Komisi Hubungan Antarlembaga dan Internasional Dewan Pers sekaligus pengamat media sosial Agus Sudibyo mengatakan, media sosial pada dasarnya mendorong penggunanya lebih spontan berkomunikasi dan berekspresi. Situasi ini sering mengaburkan batas antara ruang privat dan publik.
Menurut dia, kebebasan yang disediakan media sosial mengurangi kemampuan berpikir dan menahan diri manusia seperti halnya di dunia nyata. Kecenderungan ini juga bertentangan dengan sikap nasionalisme yang harus didasari pemikiran rasional.
”Tidak heran di media sosial bisa muncul nasionalisme buta. Padahal, yang kita butuhkan adalah nasionalisme yang rasional dan argumentatif. Bukan ’pokoknya Indonesia harus kita bela’ atau ’boikot ini’ tanpa mau melihat atau mencari tahu dulu mana yang benar dan salah,” ujarnya.
Laporan penelitian tahunan perusahaan teknologi Microsoft berjudul Digital Civility Index (DCI) 2020 yang diumumkan Februari 2021, memosisikan Indonesia sebagai negara dengan keadaban pengguna internet yang rendah.
Secara keseluruhan, skor DCI Indonesia berada di posisi 76. Ini menempatkan Indonesia di peringkat ke-29 dari 32 negara yang disurvei. Indonesia hanya lebih baik dibandingkan Meksiko, Rusia, dan Afrika Selatan. Di negara-negara Asia Pasifik, Indonesia jauh tertinggal dari Singapura, Taiwan, dan Australia.
Kemerosotan kesopanan bersosial di dunia maya dipicu oleh netizen dewasa dengan rentang usia 18-74 tahun. Tahun 2020, skor DCI netizen dewasa Indonesia memburuk 16 poin menjadi 83, sementara responden remaja usia 13-17 tahun stabil dengan skor 68 persen dibandingkan tahun lalu. Semakin rendah skor DCI, semakin baik tingkat kesopanan daring (online civility).
Agus menambahkan, konsep user generated content (UGC) atau konten buatan pengguna di media sosial akan merugikan bahkan kebablasan jika tidak diiringi dengan literasi digital yang baik dari penggunanya. Rendahnya literasi digital pada akhirnya akan mencederai hubungan antarpengguna, bahkan membawa nama buruk bagi bangsa.
Survei Literasi Digital Indonesia 2020 menunjukkan, indeks literasi digital Indonesia masih di angka 3,47 dari skala 1-5. Semakin tinggi angka, semakin baik. Ini mengindikasikan pola penggunaan internet dan berbagi informasi masyarakat belum mencapai kategori baik (Kompas, 18/3/2021).
Direktur Jenderal Aplikasi Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) Semuel Abrijani Pangerapan mengatakan, temuan tersebut harus disikapi dengan meningkatkan literasi digital agar masyarakat benar-benar mendapat manfaat dari transformasi digital yang terjadi saat ini.
”Kita tengah berada dalam percepatan agenda transformasi digital. Oleh karena itu, literasi digital memegang peranan penting,” kata Semuel dalam rangkaian kegiatan edukasi literasi digital pada masa pandemi bekerja sama dengan Whatsapp dan ICT Watch, Rabu (17/3).
Head of Whatsapp Will Cathcart juga meyakini hal yang sama. ”Kami percaya peningkatan literasi digital akan memastikan teknologi tetap menjadi kekuatan positif untuk kebaikan,” ujarnya.
Kolaborasi antara pengguna dan penyedia media sosial, pemerintah, hingga figur publik untuk menciptakan lingkungan bermedia sosial yang lebih baik pada akhirnya akan melahirkan masyarakat digital yang bebas berpendapat, tetapi mampu bermain secara adil atau fair play.