Orang Indonesia Masih Enggan Berdonasi untuk Atasi Masalah Sosial Jangka Panjang
Lembaga atau yayasan harus meningkatkan transparansi dan akuntabilitas agar publik mau berdonasi dalam pengentasan masalah sosial yang harus diselesaikan dalam jangka panjang.
Oleh
INSAN ALFAJRI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Lembaga atau yayasan yang mengatasi permasalahan sosial melalui program jangka panjang harus berpikir keras untuk mendorong publik berdonasi. Publik sejauh ini masih tertarik pada isu-isu rutin, seperti bencana dan kemalangan tiba-tiba yang menimpa seseorang. Ada kecemasan donasi yang diberikan tidak sampai secara utuh jika disalurkan melalui program jangka panjang.
Anita (32), warga Bogor, Jawa Barat, lebih sering berdonasi ketika terjadi bencana. Kebetulan setiap terjadi bencana, kantornya yang memiliki cabang di setiap provinsi menggalang dana dan langsung memberikannya kepada masyarakat terdampak.
Menurut dia, masalah sosial jangka panjang seperti pemberdayaan ekonomi gelandangan ataupun rehabilitasi pengguna narkoba yang diusung lembaga tertentu belum begitu akrab bagi publik. Ada kecemasan bahwa bantuan tak sampai langsung kepada penerima manfaat.
”Lembaga yang bergerak di bidang itu harus transparan. Sistem penggajian dana stafnya diambil dari mana. Terus, dana masyarakat itu penggunaannya bagaimana,” katanya ketika dihubungi, Minggu (31/1/2021).
Menurut warga Jakarta Timur, Novera Mayang Sari (31), lebih mudah bagi penggalang dana untuk ”menjual cerita” warga yang sakit keras atau bencana yang sedang terjadi. Ini lantaran isu tersebut menyentuh emosi masyarakat. Sementara itu, isu persoalan sosial yang harus diselesaikan dalam jangka panjang belum begitu bergaung di publik.
Lembaga yang bergerak di bidang itu harus transparan. Sistem penggajian dana stafnya diambil dari mana. Terus, dana masyarakat itu penggunaannya bagaimana.
Ditambah lagi, donasi yang difasilitasi oleh lembaga tertentu membuat donatur khawatir. ”Kalau bantuan langsung, sudah pasti tepat sasaran karena kita bisa melihat langsung melalui dokumentasi,” katanya.
Mayang lebih cenderung berdonasi melalui orang yang dikenal. Seperti kejadian banjir di Banjarmasin, Kalimantan Selatan, beberapa waktu lalu, dia memercayakan donasi kepada teman di wilayah itu yang sudah dipercaya. Donasi pun diberikan kepada orang-orang dekat atau yang dikenal.
”Bukankah lebih baik membantu ke saudara, tetangga, atau orang-orang terdekat dulu?” ujarnya.
Yulvia (30), warga Bekasi, Jawa Barat, lebih senang berdonasi pada isu aktual, seperti bencana dan sakit keras yang menimpa orang tertentu. Sebab, mereka yang terdampak butuh bantuan yang bisa disalurkan secara cepat.
Sementara itu, dia menilai, persoalan sosial menyangkut pemberdayaan ekonomi pemulung, gelandangan, atau rehabilitasi narkoba semestinya menjadi tanggung jawab negara. Pemerintah melalui dinas terkait sudah memiliki anggaran dan program terkait masalah itu. Jadi, publik lebih menaruh perhatian pada masalah yang harus diselesaikan secara cepat dan mendesak, seperti bencana dan sakit keras yang menimpa seseorang.
Ketua Yayasan Balarenik Agusman merasakan betul sulitnya mencari donor untuk program yang berorientasi jangka panjang. Yayasan Balarenik saat ini melakukan pemberdayaan di kampung pemulung di Jakarta Timur dan Kampung Sawah, Bekasi, Jawa Barat. Yayasan pun memiliki satu tempat rehabilitasi anak-anak korban penyalahgunaan narkoba di Bogor, Jawa Barat.
Di Kampung Sawah, program Yayasan Balarenik sudah berjalan 10 tahun. Yayasan baru sanggup mengatasi problem anak-anak pemulung yang belum memiliki identitas. Yayasan juga mendampingi keluarga pemulung terkait cara mendidik dan mengasuh anak. Sementara itu, program pemberdayaan ekonomi terhadap keluarga pemulung nyaris belum tersentuh lantaran tak cukup biaya.
Untuk tempat rehabilitasi anak korban penyalahgunaan narkoba di Bogor, lanjut Agus, yayasan kesulitan meyakinkan donatur. Ada donatur yang merasa masalah itu merupakan kesalahan si anak dan tak perlu disantuni. Padahal, anak-anak dalam peristiwa itu merupakan korban. Rehabilitasi menjadi penting agar anak-anak tak kembali dalam jeratan narkoba.
Dalam setahun, Yayasan Balarenik membutuhkan Rp 300 juta untuk mendukung pemberdayaan di tiga lokasi tersebut. Itu termasuk biaya untuk menggaji 15 anggota staf.
Sepuluh tahun berjalan, ada masanya kas yayasan kering sama sekali. Adapun donatur yang menyumbang hanya dari orang-orang dekat yang mengenali Agus serta bantuan dari pemerintah dan swasta dalam bentuk program khusus.
”Kami pernah menggalang dana, tetapi isu strategis seperti ini dianggap tak begitu seksi bagi donor. Mereka lebih tertarik pada isu-isu yang mengobok emosi,” ujarnya.
Direktur Eksekutif Filantropi Indonesia Hamid Abidin dalam diskusi daring beberapa waktu lalu menjelaskan, orientasi donatur di Indonesia belum berubah. Kebanyakan donatur masih suka mengeluarkan uangnya ke program jangka pendek, seperti kedaruratan dan menyantuni orang tak mampu. Namun, program jangka panjang yang menjadi masalah aktual, seperti kampanye antikorupsi, persoalan lingkungan, serta pemberdayaan perempuan dan anak, belum menjadi perhatian. Padahal, persoalan ini juga butuh sokongan dana dari publik.