Pemanfaatan Energi Baru Terbarukan Masih Jauh dari Target
Pemanfaatan energi baru terbarukan di Indonesia masih jauh dari target. Padahal, pemanfaatan energi bersih tersebut berkontribusi besar terhadap penurunan emisi gas rumah kaca.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Capaian kapasitas pembangkit listrik energi baru terbarukan terus meningkat setiap tahun yang berasal dari energi hibrid (dua sumber), bayu, surya, bioenergi, panas bumi, dan air. Namun, meski terus meningkat, realisasi capaian kapasitas pembangkit listrik energi baru terbarukan ini masih jauh dari target yang ditetapkan pada 2025.
Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), kapasitas pembangkit listrik energi baru terbarukan (EBT) pada 2015 sebesar 8.496 megawatt (MW) dan terus meningkat menjadi 10.467 MW di tahun 2020. Air menjadi sumber energi pembangkit listrik dengan realisasi terbesar, disusul panas bumi, bioenergi, bayu, dan surya. Sementara sumber dari energi hibrid masih sangat rendah di bawah 4 MW.
Direktur Aneka Energi Baru dan Terbarukan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Harris Yahya mengatakan, pencapaian EBT dari sektor pembangkit listrik saat ini baru 12-13 persen. Akan tetapi, pencapaian EBT secara keseluruhan tercatat lebih rendah, yakni sekitar 10 persen.
”Perjalanan menuju target 23 persen pada tahun 2025 memang masih menyisakan pekerjaan rumah yang cukup besar. Ke depan, pada 2021 target kapasitas pembangkit coba dinaikkan sebesar 900 atau hampir 1.000 megawatt dan di 2022 target hingga 13.295 megawatt,” ujarnya dalam webinar bertajuk ”Prospek Energi Terbarukan pada 2021: Tantangan dan Peluangnya di Indonesia”, Senin (25/1/2021).
Menurut Harris, pemerintah saat ini menetapkan strategi pengembangan EBT hingga 2035 dengan target tambahan pembangkit listrik 38 gigawatt (GW). Target ini sekaligus membuka peluang ekspor listrik EBT melalui ASEAN Power Grid. EBT juga diprioritaskan untuk pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) dengan inisiasi wilayah Nusa Tenggara Timur sebagai lumbung energi surya.
Perjalanan menuju target 23 persen pada tahun 2025 memang masih menyisakan pekerjaan rumah yang cukup besar.
Sejumlah upaya guna mempercepat realisasi target itu di antaranya dengan menerapkan peraturan presiden terkait harga EBT hingga pengembangan biomassa melalui kebun atau hutan energi, limbah pertanian, dan sampah kota. Sinergi perizinan pembangkit listrik tenaga air (PLTA) terkait undang-undang sumber daya air, pungutan dan retribusi air, serta penyediaan lahan juga dilakukan.
Selain menghadirkan sumber energi yang ramah lingkungan, pemanfaatan EBT ini berkontribusi terhadap penurunan emisi gas rumah kaca (GRK). Kementerian ESDM mencatat, realisasi penurunan emisi GRK pada 2020 sebesar 64,4 juta ton karbon dioksida dengan 53 persennya dicapai melalui pemanfataan EBT.
Penurunan emisi juga berasal dari penerapan efisiensi energi dengan kontribusi 20 persen, penggunaan bahan bakar fosil rendah karbon 13 persen, pemanfaatan teknologi pembangkit bersih 9 persen, dan kegiatan reklamasi pascatambang (4 persen).
Harris menjelaskan, pandemi Covid-19 berdampak terhadap konsumsi energi nasional sepanjang 2020. Konsumsi bahan bakar minyak (BBM) nasional turun hingga 26,4 persen. Sistem pembangkit listrik di Jawa-Bali, Kalimantan, Sumatera, dan Sulawesi juga menurun. Adapun penurunan tertinggi terjadi pada sistem di Jawa-Bali, yaitu minus lebih dari 10 persen.
Meski demikian, Covid-19 berdampak terhadap pengembangan EBT. Proyek pembangkit listrik ENT terhambat karena kenaikan biaya konstruksi dan keterlambatan proyek yang menyebabkan biaya melebihi target serta tingginya bunga.
Sinergi peraturan
Ketua Asosiasi Pengembang PLTA Riza Husni mengatakan, sejumlah upaya dari pihak pembuat kebijakan hingga badan usaha atau swasta perlu dilakukan agar PLTA menjadi motor transisi energi EBT di Indonesia. Dari sisi pemerintah, perlu dilakukan sinergi peraturan dari Kementerian ESDM dengan Kementerian BUMN untuk mempercepat pertumbuhan EBT.
Dari sisi badan usaha, yakni Perusahaan Listrik Negara (PLN), kata Riza, mereka harus lebih sering berkunjung ke PLTA skala kecil yang dikembangkan masyarakat untuk melihat pertumbuhan wilayah dan ekonomi di daerah tersebut. Sementara legislator juga dapat turut meminta program nyata dari PLN untuk pertumbuhan EBT dari skala kecil saat melakukan rapat pembahasan pemberian subsidi.
Ketua Umum Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI) Surya Darma menuturkan, transisi menuju EBT perlu dilakukan untuk memperkuat jaminan pasokan energi sambil mengurangi hingga akhirnya dapat meredam kebutuhan bahan bakar fosil. Jika transisi sepenuhnya dapat dilakukan, pemanasan global atau perubahan iklim juga dapat ditekan.
”Target 30 persen penggunaan EBT pada tahun 2045 harus menjadi fokus berbagai pihak. Kementerian ESDM sudah fokus untuk menyusun peraturan presiden tentang pembelian tenaga listrik dari energi baru terbarukan. Harapan kami perpres ini bisa segera diterbitkan karena sudah dibahas sejak tahun 2019,” tambahnya.