Media bisa mendorong perdamaian jika menggunakan perspektif jurnalisme keberagaman. Sayangnya, belum semua media menerapkan pendekatan yang menghargai perbedaan dan keragaman tersebut.
Oleh
ABDULLAH FIKRI ASHRI
·3 menit baca
CIREBON, KOMPAS — Di tengah banjir informasi di media sosial yang bisa memicu konflik, jurnalisme keberagaman menjadi formula bagi media untuk mendorong perdamaian. Namun, media belum sepenuhnya memahami praktik jurnalisme yang menghargai perbedaan dan keragaman tersebut.
Hal ini menjadi salah satu benang merah dalam pelatihan ”Jurnalisme Keberagaman” yang digelar Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (Sejuk) di Kota Cirebon, Jawa Barat, Jumat-Minggu (22-24/1/2021). Kegiatan tersebut dihadiri 20 jurnalis dari beberapa daerah di Jabar.
”Jurnalis bisa cepat ngomporin (menyulut) orang untuk konflik,” kata Junaidi, salah satu pendiri Sejuk. Dia mencontohkan, praktik jurnalisme yang memperkeruh situasi antara lain terjadi pada konflik Ambon awal 2000-an. Saat itu, ada dua media yang diduga saling mengadu domba kedua kelompok yang bertikai.
Kini, kata Junaidi, media belum sepenuhnya lepas dari praktik yang memperuncing konflik. Riset yang dilakukan Sejuk terhadap empat media siber nasional yang paling banyak diakses versi Alexa.com pada 2017 menunjukkan hal itu.
Dalam riset yang dilakukan bersama Universitas Tarumanegara itu terungkap, isu terkait konflik menempati urusan teratas, yakni 45 persen. Sayangnya, verifikasi masih terpinggirkan. Hanya 1,5 persen berita dari empat media itu yang memberikan penjelasan bahwa berita tersebut masih membutuhkan verifikasi.
Di sisi lain, sejumlah media memilih tidak memberitakan isu sensitif, seperti agama dan keragaman seksual. ”Seharusnya, diberitakan. Kalau tidak, masyarakat akan dapat dari media sosial yang tidak ada kaedah jurnalistik. Namun, pemberitaan tidak boleh terburu-buru dan isinya menyejukkan,” katanya.
Junaidi, yang juga pengajar komunikasi di Universitas Tarumanegara itu, mengatakan, media bisa mendorong perdamaian jika menggunakan perspektif jurnalisme keberagaman. Pendekatan ini mengedepankan prinsip keadilan, kepatutan, dan mendorong perdamaian dalam meliput isu keragaman agama, suku, dan seksualitas.
Menurut dia, Sejuk tengah menggagas panduan jurnalisme keberagaman. Dalam panduan itu, jurnalis perlu memperhatikan beberapa prinsip sebelum peliputan hingga pascapenayangan berita. Misalnya, komitmen tidak melibatkan keyakinan pribadi yang menyebabkan bias serta mempelajari latar belakang peristiwa berbasis suku, agama, ras, dan antargolongan.
Saat meliput, jurnalis tidak mewawancarai narasumber yang menyudutkan pihak tertentu dan diskriminatif. Jurnalis juga harus bersikap kritis terhadap pernyataan narasumber dengan merujuk pada prinsip hak asasi manusia dan norma hukum yang berlaku.
Saat penayangan, jurnalis tidak menampilkan foto, video, audio, dan grafis sensasional yang mengandung darah, kekejian, dan lainnya. Jurnalis juga tidak menyalahkan korban, misalnya, menyebut pemerkosaan terjadi karena korban berpakaian seksi. Jika ada kesalahan, jurnalis harus segera mengoreksinya.
Budhi Kurniawan, pendiri Sejuk lainnya, menambahkan, jurnalis perlu memperhatikan diksi dalam menulis. ”Jangan sampai diksi yang dipilih justru mengorbankan korban. Diksi jadi ukuran seberapa paham jurnalis dengan isu tersebut,” ungkap Executive Producer Kompas TV tersebut.
Budhi mencontohkan beberapa diksi yang perlu dihindari dalam meliput isu kepercayaan atau keragaman seksual, seperti kata ”sesat”, ”kafir”, dan ”tobat”. Dalam kasus kekerasan seksual, kata yang perlu dihindari adalah ”menggagahi” atau ”menodai”. ”Diksi dan narasumber menunjukkan keberpihakan jurnalis,” katanya.