JAKARTA, KOMPAS – Media massa dituntut untuk lebih berperan aktif dalam menyuarakan keberagaman. Pemberitaan tentang konflik agama, etnis, atau pun diskriminasi terhadap kaum minoritas harus dikemas dengan perspektif perdamaian.
Hasil riset Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (Sejuk) tentang isu keberagaman menunjukkan tingginya konten berita tentang konflik. Riset yang dilakukan pada empat media siber di Indonesia pada 2017 itu menunjukkan, isu terkait konflik menempati urusan teratas, yakni 45 persen. Sementara konten berita yang menyuarakan perayaan budaya hanya 4 persen.
Pegiat Sejuk yang juga wartawan The Jakarta Post Ahmad “Alex” Junaidi mengatakan, media tetap harus memberitakan konflik, baik konflik antaragama, etnis, maupun yang melibatkan kaum minoritas. Namun, efek dari pemberitaan tersebut harus bertujuan untuk meredam konflik tersebut.
“Narasumbernya dipilih, dicari yang memiliki tekad untuk berdamai,” kata Alex dalam satu diskusi di seminar dan lokakarya “Journalism, Political Identity, and Religious Freedom in Indonesia,” di Universitas Kristen Indonesia (UKI), Jakarta, Selasa (23/10/2018). Pada diskusi ini turut hadir pengajar Ilmu Komunikasi UKI, Chontina Siahaan dan Usman Kansong dari Media Indonesia.
Alex mengatakan, pemberitaan terkait kaum minoritas juga harus diperhatikan. Ketika ada konflik, media harus memberi ruang bagi kaum minoritas untuk menyuarakan pendapat. “Secara umum, pemberitaan media terkait kaum minoritas ada perbaikan jika dibandingkan sepuluh tahun lalu, terutama untuk media di Jakarta,” kata dia.
Chontina Siahaan menjelaskan, media massa, baik cetak maupun daring, berperan dalam membentuk opini publik. Keberagaman yang ada di tengah masyarakat akan terjaga jika media memperhatikan efek dari pemberitaannya.
Oleh sebab itu, peran gatekeeper (penjaga gawang) dalam sebuah media menjadi penting. Dalam paparannya dijelaskan, gatekeeper adalah orang yang berperan penting dalam media massa seperti surat kabar, televisi, radio, dan majalah.
“Idealnya, media memberikan informasi yang mendidik. Semua persoalan diberi ruang dan dijelaskan. Entah itu soal perempuan, persoalan etnis, agama, dan lain lain,” kata dia.
Usman Kansong membahasakan hal tersebut sebagai jurnalisme keberagaman. Menurut dia, jurnalisme keberagaman tidak hanya bicara tentang kebebasan beragama. Akan tetapi juga membahas persoalan etnis dan jender.
Konsepsi ini menawarkan pendekatan yang berbeda dalam melihat konflik agama, etnis, dan persoalan jender yang ada di Indonesia. Wartawan tidak sekadar melaporkan dan berjarak dari peristiwa.
Untuk melakukan hal ini, kata Usman, wartawan terlebih dahulu terbiasa dengan situasi keberagaman. Di samping itu, mereka harus memiliki sensitivitas jender, berpihak kepada korban, mengedepankan hak asasi manusia, dan menjunjung perdamaian. (INSAN ALFAJRI)