Atmosfer Bumi Dipenuhi Aneka Mikroba
Mikroba masih ditemukan di lapisan atmosfir berkilo-kilometer dari permukaan bumi. Dengan kondisi minim air dan gravitasi tinggi, makhluk renik tersebut bertahan hidup.
Atmosfer Bumi nyatanya tidaklah kosong. Lingkungan yang terletak hingga puluhan kilometer di atas permukaan Bumi itu ternyata dipenuhi oleh berbagai jenis makhluk hidup mungil alias mikroba yang terbang melayang-layang di atas kepala kita.
”Manusia benar-benar menjadi penghuni paling bawah dari lautan atmosfer di atas kita,” kata peneliti di Pusat Penelitian Ames Badan Penerbangan dan Antariksa Nasional Amerika Serikat NASA, David Smith, dalam pertemuan tahunan Persatuan Geofisika Amerika (American Geophysical Union) pada 14 Desember 2020, seperti dikutip dari Live Science, Senin (4/1/2021).
Repotnya, hingga kini manusia juga tidak tahu di mana batas biosfer atau bagian atmosfer yang memiliki kehidupan itu berakhir. Di lapisan mana pun ilmuwan mengambil sampel menggunakan pesawat dan balon udara milik NASA, mereka tetap menemukan adanya tanda-tanda kehidupan mikroba hingga puluhan kilometer di atas kepala.
Agar kehidupan bisa bertahan cukup lama di atmsofer, mereka harus mampu berkembang biak dengan sangat cepat untuk mengatasi gangguan tarikan gravitasi. (Diana Gentry)
Meski demikian, sejauh ini mikroba yang ada di atmosfer Bumi itu terkait erat dengan kehidupan di permukaan Bumi, bukan ekosistem tersendiri. Makhluk-makhluk kecil atau mikroorganisme itu tersapu dari lapisan tipis tempat pertemuan antara atmosfer dan permukaan Bumi dan terbawa terbang ke lapisan bagian bawah atmosfer.
”Dari apa yang kami ketahui, mikroba itu bergerak menggunakan atmosfer seperti melalui jalan raya. Secara khusus, mikroba tersebut juga bisa menumpang awan,” tambah Kevin Dillon, salah satu peneliti yang juga mahasiswa doktoral mikrobiologi di Universitas Rutgers, New Brunswick, AS.
Pergerakan mikroba dari permukaan Bumi ke atmosfer itu sebagian besar tertahan di dua lapisan atmosfer paling bawah, yaitu di troposfer yang terletak hingga ketinggian 20 kilometer dari permukaan Bumi dan stratosfer yang berada pada ketinggian 20-50 kilometer.
Di troposfer bawah, lanjut peneliti Ames NASA lainnya, Diana Gentry, sebagian besar mikroba akan menghadapi risiko mengering. ”Saat terbang dan berada di atmosfer, makhluk hidup termasuk manusia akan kehilangan air di tubuh mereka dengan cepat,” katanya.
Nah, kecepatan kehilangan air itu dapat dikurangi jika ada awan di bagian yang lebih bawah. Awan akan berfungsi sebagai kumpulan air yang bergerak dan membantu makhluk hidup di atasnya tetap basah. Karena itu, meski menghadapi risiko kehilangan air di tubuhnya, sejumlah mikroba tetap dapat bertahan hidup dan hidup normal meski mereka berada di troposfer.
Baca juga: Kemajuan Pencarian Kehidupan Cerdas di Luar Bumi
Sementara itu, kehidupan di stratosfer lebih keras lagi. Mikroba yang ada di lapisan ini tidak hanya menghadapi ancaman kehilangan air di tubuhnya, tetapi juga lingkungan yang asam.
Dalam situasi ini, mikroba umumnya mengatur pola tubuhnya menjadi tidak aktif atau mengalami dormansi. Mereka baru akan aktif kembali saat datang lagi ke permukaan Bumi. Namun, tentu saja banyak yang tidak selamat alias mati sebelum tiba kembali di muka Bumi.
Dari pengamatan selama ini, mikroba yang ada di atmosfer Bumi itu umumnya hanya berusaha untuk bertahan hidup, tidak ada aktivitas kehidupan yang lain. ”Sejauh ini studi baru dimulai. Bagaimana dinamika mikroorganisme yang tersapu dari permukaan Bumi hidup di atmosfer, berapa lama di atmosfer, atau apakah mereka melakukan sesuatu hal yang berarti di atmosfer seperti bereproduksi, belum diketahui,” kata Smith. Karena itu, studi lebih lanjut diperlukan.
Tata surya
Meski demikian, ditemukannya mikroba di atmosfer Bumi itu apakah bisa dijadikan patokan untuk mendeteksi ada tidaknya kehidupan di bagian lain di Tata Surya dengan mengamati atmosfernya?
Sebagai perbandingan, sebelumnya para ahli meyakini tidak ada kehidupan yang mampu bertahan di dasar samudra Bumi. Namun, temuan terbaru menunjukkan, di sekitar lubang hidrotermal yang hangat di dasar samudra Bumi nyatanya ada kehidupan yang mampu bertahan. Pola inilah yang membawa keyakinan para astronom dan ahli keplanetan bahwa di bawah lapisan es tebal pada permukaan bulan Jupiter, yaitu Europa, dan bulan Saturnus, yaitu Enceladus dan Titan, memungkinkan adanya kehidupan.
Keberadaan mikroba di atmosfer Bumi akan sulit dijadikan patokan untuk mendeteksi kehidupan di tempat lain di Tata Surya. Ini karena kondisi atmosfer planet atau satelit tersebut yang umumnya berbeda dengan Bumi sehingga tidak mendukung kehidupan seperti layaknya di Bumi.
Baca juga: Empat ”Bumi Baru” Paling Menjanjikan di Tata Surya
Venus adalah salah satu planet yang diyakini bisa menopang kehidupan walaupun lingkungannya sangat ekstrem. Pada September 2020 lalu, sejumlah peneliti mengumumkan ditemukannya material organik fosfin di bagian atas atmosfer Venus hingga diyakini ada kehidupan di Venus. Namun, studi itu akhirnya dibantah oleh studi lain hingga keyakinan adanya kehidupan di Venus pupus lagi.
Venus dianggap sebagai planet neraka karena suhu permukaannya yang sangat panas sekitar 465 derajat celsius dan menjadikannya planet terpanas di Tata Surya. Para ahli meyakini bahwa di atmosfer Venus pada ketinggian 48-60 kilometer dari permukaan Venus, cairan akan berubah menjadi asam akibat lingkungannya yang sangat panas.
Berkaca pada kehidupan Bumi, tidak akan ada kehidupan yang mampu bertahan dalam lingkungan dan temperatur seekstrem itu. Namun, itu bukan berarti tidak ada peluang munculnya kehidupan di atmosfer Venus karena bisa jadi ada bentuk kehidupan yang mampu hidup dan berkembang di lingkungan esktrem yang tidak ditemukan di Bumi. Situasi inilah yang masih membutuhkan pembuktian.
Selain itu, bentuk kehidupan yang melayang di atmosfer memiliki tantangan gaya gravitasi yang mengganggunya untuk bisa berkembang. Gaya gravitasi secara konsisten akan menarik mikroba tersebut hingga menyulitkan mereka untuk bisa stabil dan konsisten berada pada lapisan tertentu.
”Agar kehidupan bisa bertahan cukup lama di atmsofer, mereka harus mampu berkembang biak dengan sangat cepat untuk mengatasi gangguan tarikan gravitasi,” tambah Diana Gentry..
Bukan hanya gravitasi, mikroba yang ada di atmosfer juga menghadapi persoalan pasokan air. Atmosfer Bumi berbeda dengan atmosfer planet atau satelit lain di Tata Surya karena atmosfer Bumi dibangun oleh uap air hingga mampu menopang kehidupan di sana.
Namun, kandungan awan Venus didominasi oleh belerang, atmosfer Mars ditopang oleh karbondioksida, dan awan bulan Neptunus yaitu Triton memiliki banyak nitrogen. Semua tidak memiliki air.
”Salah (kesalahan) metode pencairan kehidupan dalam astrobiologi adalah terlalu bergantung kepada keberadaan air untuk menemukan kehidupan seperti di Bumi,” katanya.
Padahal, peluang adanya kehidupan yang tidak berbasis pada air tetap ada meski itu berada di luar pemikiran manusia saat ini.
Karena itu, jalan untuk menemukan adanya kehidupan lain di Tata Surya sepertinya masih panjang. Ilmu pengetahuan dan teknologi manusialah yang akan menjawabnya kelak.