Mengarusutamakan kasih dalam menerapkan ajaran agama di kehidupan sehari-hari akan merawat kemajemukan di Tanah Air. Ini sekaligus mencegah penggunaan agama sebatas kepentingan politik praktis semata.
Oleh
INSAN ALFAJRI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Semua agama samawi menjunjung tinggi kasih dalam interaksi antarmanusia. Kasih, apabila diwujudkan dalam keseharian tanpa memandang identitas sesama, diyakini mampu membagikan kebaikan bagi siapa pun, terutama mereka yang membutuhkan.
Hal ini terangkum dalam materi kuliah umum yang disampaikan Kelly James Clark dari Grand Valley State University dan Kaufman Interfaith Institute, Amerika Serikat, Rabu (23/12/2020) malam. Kuliah umum diadakan dalam Abdurrahman Wahid Memorial Lecture 2020, gelaran untuk menyambut Bulan Gus Dur dan dekade baru Haul Ke-11 Gus Dur tahun 2020.
Materi kuliah ini dinilai relevan dengan situasi terkini di Indonesia. Mengarusutamakan kasih dalam ajaran agama akan merawat kemajemukan di Tanah Air. Ini sekaligus menjadi kritik terhadap orang atau kelompok tertentu yang menyitir ayat suci demi kepentingan politik praktis semata.
James menjelaskan, dalam Injil, Yesus ditanya oleh seorang ahli hukum agama tentang perintah terbesar dalam hukum Taurat. Yesus menyatakan, perintah pertama adalah mengasihi Tuhan dengan segenap jiwa dan akal budi. Kedua, mengasihi sesama seperti mengasihi diri sendiri.
Dalam Imamat 19, lanjut James, Tuhan bicara kepada Musa tentang belas kasih. Tuhan melarang manusia untuk menyabit hasil panen di ladang hingga habis. Buah yang jatuh di kebun anggur tak perlu dipungut. Sebab, itu menjadi jatah orang miskin dan orang yang tinggal di sekitar ladang. Ada juga larangan untuk menindas sesama dan anjuran untuk tidak menahan upah seorang pembantu.
Sementara dalam khazanah Islam, dia melanjutkan, hadis yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik juga menganjurkan ajaran kasih. Anas bin Malik meriwayatkan, Rasulullah SAW bersabda: Tidak beriman salah seorang darimu hingga ia mengasihi manusia sebagaimana ia mengasihi dirinya sendiri, dan hingga ia mengasihi seseorang hanya karena Allah Taala. Al Quran pun menganjurkan orang untuk berbuat baik kepada orangtua, kerabat, anak yatim, orang miskin, tetangga dekat dan tetangga jauh, teman sejawat, serta musafir.
Dia menambahkan, dalam Taurat, Injil, dan Al Quran, Tuhan mengajari manusia untuk memperlakukan semua sesama sebagai tujuan dalam diri mereka sendiri. Tuhan menekankan betul pada pengorbanan diri berupa kasih.
”Tuhan secara empatik, tegas, dan kuat agar kita berbuat baik di setiap saat, di mana pun, untuk kebaikan semua manusia. Meskipun Anda lelah atau lapar atau marah, Tuhan tetap menekankan perlunya kasih. Bahkan jika Anda membenci pengemis yang bau atau membenci seseorang dari negara atau agama lain, Tuhan tetap menekankan pada kasih,” ujarnya dalam diskusi yang digelar oleh Abdurrahman Wahid Center for Peace and Humanities Universitas Indonesia (AWCPH UI) ini.
Di Indonesia, dia melihat Gus Dur sebagai sosok ideal dalam menerapkan kasih. Gus Dur tak hanya menulis soal prinsip Al Quran mengenai kasih dalam tindakan. Gus Dur turut memperjuangkan persamaan hak orang Tionghoa, mengunjungi Israel dan musem Holocaust untuk mencerap pengalaman kaum Yahudi yang tertindas. Selain itu, Gus Dur juga meminta maaf kepada korban Tragedi 1965.
Indonesia dihadapkan pada masalah pemanipulasian agama untuk kepentingan profan, seperti politik praktis demi kekuasaan.
Kepala AWCPH UI Ahmad Syafiq ketika dihubungi pada Kamis (24/12/2020) menjelaskan, sangat penting mengarusutamakan paradigma kasih dalam agama-agama untuk menjawab tantangan keberagaman di Indonesia. Sebab, Indonesia dihadapkan pada masalah pemanipulasian agama untuk kepentingan profan, seperti politik praktis demi kekuasaan.
Ini biasanya dilakukan dengan memilih ayat atau genesis yang mendukung pendapatnya saja. Di saat bersamaan orang tersebut mengabaikan paradigma holistik semua ajaran agama, yakni kasih.
Berbekal kasih, Ahmad Syafiq melanjutkan, butuh dialog intens untuk mengetahui akar ketegangan di masyarakat. Boleh jadi, akar masalahnya bukan pada paham keagamaan an sich. Bisa saja polarisasi dipicu oleh ketimpangan ekonomi, sosial, dan problem kemanusiaan.
”Kita harus optimistis dengan masa depan cerah dari kehidupan majemuk, tetapi damai dan beradab. Optimisme itu harus dimiliki. Tak boleh menyerah,” katanya.