Minimnya Rutinitas Memperbesar Peluang Perkawinan Anak
Terbatasnya aktivitas anak-anak memperbesar peluang terjadinya perkawinan dini seperti saat pandemi Covid-19.
Oleh
FRANSISKUS WISNU WARDHANA DANY
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Perkawinan anak bukan hanya terjadi karena kemiskinan dan ketidaktahuan dampak ataupun risikonya. Aktivitas anak-anak yang terbatas memperbesar peluang perkawinan anak seperti saat pandemi Covid-19 ini.
Hasil Survei Penduduk Antarsensus tahun 2019 memperkirakan ada 1,2 juta perkawinan anak perempuan Indonesia. Perkawinan anak menjadi salah satu jalan keluar dari terpuruknya kondisi ekonomi di daerah dengan prevalensi tinggi, seperti Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Sulawesi Barat, Kalimantan Barat, Sulawesi Tengah, dan Nusa Tenggara Barat.
Dalam pemberitaan Kompas.com, seorang ibu di Nusa Tenggara Barat menyesali keputusan sekaligus mencemaskan kondisi putrinya yang menikah di usia 14 tahun. Usai menikah, sang putri mengeluhkan kelakuan suaminya yang berusia 18 tahun karena berulang kali memukul hingga mencakarnya.
Dua sejoli itu intens bertemu selama situasi pandemi karena tidak ada kelas tatap muka. Akhirnya keluarga merestui mereka untuk menikah untuk menghindari gosip yang tidak diinginkan.
Pemberitaan Kompas.com lain, pernikahan EB (15) dan UD (17) pada 10 Oktober lalu jadi perbincangan hangat di Facebook. Kondisi ekonomi keluarga melatarbelakangi pernikahan warga Kecamatan Batukelang Utara, Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat, itu.
EB meyakini hidupnya akan lebih baik setelah menikah. Sebab, suaminya merupakan pekerja keras. Pegiat hak anak dari Forum Anak Desa sekaligus fasilitator Champions of Change Lombok, Yunita, dalam bincang-bincang pencegahan perkawinan anak, Rabu (4/11/2020), menuturkan, kemiskinan membuat anak-anak putus sekolah dan tidak bisa lanjut ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi sehingga perkawinan anak jadi jalan keluar. ”Apalagi pandemi seperti sekarang, banyak orang susah. Jadi tidak heran terjadi perkawinan anak supaya lepas dari kesusahan,” ujar Yunita.
Pegiat hak anak berusaha cepat merespons terjadinya perkawinan anak lewat berbagai jalur. Ada mediasi, pelibatan perangkat desa hingga dinas, puskesmas, dan polisi.
Menurut dia, dukungan warga untuk pengentasan perkawinan anak masih terbatas. Misalnya, orangtua cenderung ngotot untuk tetap menikahkan anaknya meskipum ada mediasi supaya tahu risiko ataupun dampaknya. Perangkat desa pun belum tegas dan lamban mengambil keputusan.
Untuk itu, sosialisasi dan advokasi harus berjalan terus-menerus dengan melibatkan anak atau teman sebaya. Salah satunya kegiatan posyandu remaja di desa. Dalam kegiatan itu ada pengenalan hak anak, kesehatan reproduksi, dan risiko ataupun dampak perkawinan anak.
Yayasan Plan International Indonesia sebagai pelopor forum anak desa berupaya mengurangi jumlah perkawinan anak terutama di Sukabumi, Rembang, dan Lombok Barat melalui kampanye Yes I Do. Yes I Do melibatkan Lembaga Perlindungan Anak dan Remaja, Perkumpulan untuk Peningkatan Usaha Kecil, Rutgers WPF Indonesia, serta Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia. Tujuan lainnya mengurangi kehamilan remaja dan sunat perempuan.
Pegiat hak anak Lombok Barat, Umi, mengatakan, lingkungan dan pergaulan turut andil dalam perkawinan anak. Seperti halnya anak-anak di desanya yang minim kegiatan sehingga malas bergerak di rumah. ”Anak-anak kepikiran menikah karena tidak punya kegiatan dan malas bergerak di rumah,” ujar Umi.
Umi dan pegiat lain memanfaatkan forum pembentukan pembangunan desa untuk dapat dukungan tokoh warga dan lainnya. Dari situ mereka punya kesempatan sosialisasi dan advokasi hak anak supaya tidak terjadi perkawinan anak.
Sosialisasi dan advokasi berlangsung dari dusun ke dusun. Tidak saja memberi pengetahuan, anak-anak jadi punya kegiatan lain. International NGO Forum on Indonesian Development dalam studi kualitatif dan kuantitatif tentang perkawinan anak di Indonesia Mei-Juli 2020 menemukan potensi perkawinan anak masih mungkin akan terus terjadi terutama bagi anak perempuan.
Penelitian terhadap 2.210 responden melalui survei telepon di 34 provinsi menunjukkan, masih ada anggapan bahwa anak perempuan lebih boleh menikah ketimbang anak laki-laki dan stereotip jender laki-laki lebih berperan menafkahi dan memimpin ketimbang perempuan.
Selain itu, perkawinan dapat mencegah kehamilan dan hubungan seks di luar nikah. Bahkan, sebagian besar responden akan menikahkan anak ketika sudah hamil tanpa memperhatikan usia (84 persen) dan anak sudah berhubungan seksual (61 persen).
Responden umumnya setuju bahwa perkawinan anak rentan terhadap kekerasan dalam rumah tangga, menimbulkan potensi meninggal saat melahirkan, dan menimbulkan potensi keguguran karena calon ibu tidak kuat rahimnya.