Ribuan wilayah atau desa di Indonesia rentan terdampak perubahan iklim. Kesadaran dan kesiapan masyarakat untuk menghadapi berbagai risiko bencana perlu ditanamkan.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Upaya adaptasi dan mitigasi perubahan iklim di tingkat tapak perlu terus ditingkatkan. Hal ini penting karena saat ini terdapat ribuan desa yang rentan terdampak perubahan iklim karena tidak memiliki atau menerapkan upaya adaptasi dan mitigasi yang baik.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mencatat 6.885 desa atau 8,20 persen desa di Indonesia yang memiliki kerentanan sangat tinggi terhadap dampak perubahan iklim. Sementara 293 desa (0,35 persen) masuk kategori kerentanan tinggi.
Data kerentanan tersebut diambil dan diolah dari data potensi desa, Badan Pusat Statistik (BPS) 2018. Data tersebut juga menunjukkan, sebanyak 75.687 desa (90,18 persen) berada pada tingkat kerentanan yang sedang. Adapun 882 desa (1,05 persen) masuk kategori kerentanan rendah dan 184 desa lainnya (0,22 persen) dikategorikan sangat rendah.
”Sekitar 90 persen desa memang berada di kondisi sedang, tetapi ini bukan berarti kita aman. Kategori sedang ini, jika tidak diantisipasi untuk melakukan upaya adaptasi, dampaknya akan tetap kita rasakan. Kategori sedang ini bahkan bisa pindah ke kerentanan tinggi atau bahkan sangat tinggi,” ujar Direktur Adaptasi Perubahan Iklim KLHK Sri Tantri Arundhati dalam diskusi daring, Rabu (23/9/2020).
Perubahan iklim memicu cuaca ekstrem hingga menyebabkan sejumlah bencana, seperti banjir, longsor, dan kekeringan. Menurut Tantri, dampak perubahan iklim yang menyebabkan bencana ini akan sangat dirasakan bagi wilayah dengan tingkat sosial ekonomi masyarakat yang rendah. Pada akhirnya, bencana akibat perubahan iklim tersebut akan merugikan masyarakat.
Meski demikian, ia menegaskan bahwa data kerentanan perubahan iklim tersebut bersifat indikatif. Data lokal dinilai akan semakin menguatkan validitas dari kerentanan setiap wilayah.
Guna mendorong dan memperkuat ketahanan masyarakat dalam menghadapi perubahan iklim serta menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK), KLHK membentuk program kampung iklim. Desa yang melakukan proklim akan mencakup sejumlah kegiatan adaptasi dan mitigasi perubahan iklim.
Komponen adaptasi yang dilakukan mencakup pengendalian kekeringan, banjir, dan longsor; peningkatan ketahan pangan; penanganan atau antisipasi kenaikan muka air laut; serta pengendalian penyakit terkait iklim. Sementara komponen mitigasi di antaranya pengelolaan sampah, penggunaan energi baru terbarukan, budidaya pertanian rendah emisi, peningkatan tutupan vegetasi, dan pencegahan hingga pengendalian kebakaran hutan dan lahan (karhutla).
Saat ini terdapat 2.775 lokasi program kampung iklim di tingkat desa dan kelurahan yang telah didaftarkan melalui sistem registrasi nasional pengendalian perubahan iklim (SRNPPI). Lokasi program kampung iklim paling banyak berada di Pulau Jawa karena kerentanan dan tingkat populasinya yang tinggi.
Pada 2020, sebanyak 806 desa dan kelurahan kembali diusulkan mengikuti program kampung iklim. Program ini ditargetkan mencapai 20.000 lokasi pada akhir periode Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024.
Meningkatkan literasi
Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim KLHK Ruandha Agung Sugardiman mengatakan, program kampung iklim merupakan salah satu upaya adaptasi di tingkat tapak yang bertujuan meningkatkan literasi perubahan iklim sehingga sejumlah pihak terdorong untuk mengambil peran aktif dalam melaksanakan aksi nyata.
Ia mengatakan, perubahan iklim berdampak signifikan terhadap berbagai aspek kehidupan dan pembangunan. Perubahan iklim juga secara langsung ataupun tidak langsung berkontribusi terhadap menurunnya perekonomian Indonesia sebesar 0,3 persen dari produk domestik bruto (PDB).
Selain itu, ia menyebutkan, rekapitulasi data dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menunjukkan, selama periode 2005 sampai 2015, sekitar 80 persen kejadian bencana di Indonesia adalah bencana terkait iklim. Banyak kejadian bencana yang dipicu kondisi cuaca dan iklim ekstrem, termasuk kebakaran hutan dan lahan pada musim kemarau dan banjir yang meluas pada musim hujan.
Di sisi lain, terkait dengan tantangan yang dihadapi pada era new normal akibat pandemi Covid-19, kata dia, perlu disikapi dengan melaksanakan refocusing program agar kegiatan dapat berjalan secara efisien dan efektif. ”Demikian juga dengan pelaksanaan proklim (program kampung iklim) yang terus dilaksanakan dalam upaya mempersiapkan masyarakat yang berketahanan iklim dan menerapkan pola hidup rendah emisi gas rumah kaca,” katanya.