Penghapusan ”Strict Liability” dalam RUU Cipta Kerja Sebuah Kemunduran
Penghapusan ”strict liability” atau tanggung jawab mutlak dalam Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja dinilai sebagai langkah mundur penegakan hukum lingkungan di Indonesia.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja akan menghapus ketentuan strict liability atau pertanggungjawaban mutlak terhadap para pelanggar hukum lingkungan. Penghapusan ketentuan ini menjadi sebuah kemunduran dalam penengakan hukum lingkungan karena strict liability telah diadopsi hukum di Indonesia sejak 40 tahun lalu.
Strict liability merupakan konsep pertanggungjawaban perdata yang tidak mensyaratkan adanya kesalahan pada diri tergugat, tetapi telah menimbulkan kerugian pada diri penggugat. Selain telah diadopsi negara lain, aturan ini dianut dalam penegakan hukum lingkungan di Indonesia.
Konsep strict liability tertuang dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Pasal 88 menyebutkan, setiap orang yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan.
Namun, dalam naskah RUU Cipta Kerja atau biasa disebut omnibus law alias undang-undang sapu jagat, ketentuan tersebut diganti. Orang yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup tidak disebutkan memiliki tanggung jawab mutlak. Selain itu, kerugian yang ditimbulkan juga harus berdasarkan pembuktian yang sah.
”Ini secara jelas mengubah Pasal 88 tentang strict liability menjadi bukan tanggung jawab mutlak,” ujar Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia Andri Gunawan Wibisana dalam webinar bertajuk ”Pelemahan UU Lingkungan Hidup dalam RUU Cipta Kerja: Suara dari Akademisi”, Kamis (3/9/2020).
Menurut Andri, terjadi kekeliruan terhadap pemahaman strict liability sehingga konsep tersebut dihapus dalam RUU Cipta Kerja. Para perancang RUU Cipta Kerja menganggap setiap pidana harus dijatuhkan melalui pembuktian. Padahal, strict liability dalam Pasal 88 digunakan dalam konteks perdata dan pada praktiknya juga membutuhkan pembuktian, seperti kerugian yang dialami penggugat.
”Strict liability jika ingin dihapus menjadi sebuah kemunduran 40 tahun. Dalam hukum lingkungan di Indonesia, strict liability sudah diakui sejak tahun 1982. Bahkan, kalau merujuk pada ratifikasi Civil Liability Convention pada 1978, kemunduran ini akan jauh lebih lama lagi,” katanya.
Pengajar Hukum Lingkungan Universitas Gadjah Mada, Wahyu Yun Santoso, memaparkan, terdapat enam isu utama terkait dengan lingkungan hidup yang tertuang dalam RUU Cipta Kerja. Isu tersebut meliputi simplikasi atau penyederhanaan yang tidak rasional, mulai dari naskah akademik hingga kompleksitas adaptasi pengaturan.
Sementara empat isu lain ialah penghapusan izin lingkungan atas nama kemudahan berusaha, pelemahan substansi dampak lingkungan, pelemahan aspek pengawasan dan penegakan hukum, serta pelemahan peran pemerintah daerah (pemda).
Menurut Wahyu, RUU Cipta Kerja akan melemahkan secara sistematis dan terstruktur proses analisis mengenai dampak lingkungan (amdal), upaya pengelolaan lingkungan hidup dan upaya pemantauan lingkungan hidup (UKL-UPL), serta perizinan lingkungan. Padahal, evektivitas amdal, UKL-UPL, dan perizinan lingkungan sangat ditentukan dan saling terkait dengan instrumen lingkungan hidup lainnya.
”Konsep perizinan lingkungan merupakan upaya penapisan awal dampak lingkungan. Jadi, tidak serta-merta investasi lambat karena izin lingkungan lama. Ketika proses amdal dan UKL-UPL dilakukan, sebenarnya argo waktunya berapa lama hingga proses yang berjalan seperti apa, itu sudah ditentukan melalui PP (peraturan pemerintah) dan peraturan menteri,” tuturnya.
RUU Cipta Kerja yang mengatur pemangkasan izin usaha lingkungan langsung ke pusat di tengah masih buruknya birokrasi juga dinilai Wahyu akan semakin melemahkan peran pemda. Pada akhirnya, hal ini akan menurunkan semangat daerah dalam membangun wilayah dengan karakteristik masing-masing.
”Jangan sampai alasan investasi membuat kita terjebak pada natural resource curse hypothesis bahwa kita punya sumber daya alam yang kaya, tetapi kelembagaan lemah. Akhirnya, ketertinggalan terjadi dan kerusakan lingkungan tidak bisa dihentikan sehingga akan menjadi malapetaka yang berkepanjangan,” ungkapnya.
Konflik kepentingan
Ahli hukum lingkungan Universitas Hasanuddin, Makassar, Laode M Syarif, menilai, ambisi pengesahan RUU Cipta Kerja terjadi karena banyaknya anggota DPR periode 2019-2024 yang berlatar belakang pengusaha. Dari 575 anggota DPR terpilih, 262 orang tercatat sebagai pengusaha. Ini menimbulkan tingginya potensi konflik kepentingan.
Laode mencontohkan, konflik kepentingan ini terlihat dari sejumlah aturan yang disahkan DPR dan pemerintah untuk memuluskan bisnis para pengusaha, seperti Revisi Undang-Undang KPK serta Revisi UU Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba). Akibat dari sejumlah revisi UU ini, terdapat sekitar 6.000 izin usaha pertambangan yang tidak memenuhi syarat formal.
Ia pun memandang bahwa pengesahan RUU Cipta Kerja berpotensi menciptakan state capture corruption atau modus korupsi dalam mekanisme pelayanan publik, pengadaan, dan pemberian izin oleh oknum yang berkuasa di pemerintah. Ciri-ciri ini terlihat dari eksekutif dan legislatif yang memfasilitasi perusakan dan penumpukan kekuasan melalui regulasi, membiarkan kejahatan, hingga didapatkan keuntungan pribadi atau kelompok dari perusakan lingkungan dan sumber daya alam.
”Kalau RUU Cipta Kerja ini menjadi undang-undang, aturan pelaksanaannya akan dibuat dalam peraturan pemerintah atau peraturan presiden. Aturan pelaksanaan ini juga akan mencapai ratusan karena RUU Cipta Kerja memengaruhi sekitar 70 undang-undang sektoral,” ujar mantan Komisioner KPK ini.