Miliki Ketahanan Tinggi, Masyarakat Adat Bisa Jadi Contoh
Kehidupan masyarakat adat menjadi contoh bagi masyarakat modern untuk memanfaatkan sumber daya alam secara arif. Hal itu terbukti memberikan ketahanan dalam menghadapi pandemi saat ini.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Masyarakat adat memiliki ketahanan tinggi untuk memenuhi kebutuhannya di masa pandemi sekarang ini karena memiliki kearifan lokal dalam pengelolaan sumber daya alam. Cara hidup masyarakat adat yang memanfaatkan kekayaan alam secara bijak dapat diterapkan dalam kebijakan untuk pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs).
Direktur Eksekutif Pusat Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs Center) Universitas Padjadjaran Zuzy Anna menyampaikan, pembangunan berkelanjutan tidak akan terwujud tanpa dukungan dari masyarakat adat. Bahkan, sepertiga dari SDGs terkait dengan Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Hak-hak Masyarakat Adat (UNDRIP).
”Kita selalu menganggap bahwa masyarakat adat itu kelompok yang terbelakang. Namun, pada kenyataannya mereka sangat resilience (berdaya tahan tinggi),” ujarnya dalam webinar bertajuk ”Gerakan Kedaulatan Pangan dan Ekonomi Masyarakat Adat” yang diselenggarakan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Senin (10/8/2020).
Wilayah adat
Meliana Yumi dari Dewan Nasional Perempuan AMAN Wilayah Sumatera pun mengakui masyarakat adat dapat menjaga ketahanan dan kedaulatan pangan di kampung semasa pandemi ini. Hal ini karena mereka melakukan kegiatan berkebun dan menanam jenis sayuran, ubi, dan buah-buahan di wilayah adatnya.
Masyarakat adat kini juga mulai membuka jaringan keluar untuk memasarkan hasil panen kebunnya. Ketahanan pangan semakin terjaga karena mereka berbagi hasil dengan sesama pengelola kebun kolektif dan berkontribusi untuk organisasi.
Meski teruji memiliki resiliensi tinggi, Zuzy Anna memandang bahwa sampai saat ini negara belum mengoptimalkan peran masyarakat adat. Hal ini terlihat dari masyarkaat adat yang belum dilibatkan dalam proses pembuatan kebijakan publik.
”Perspektif ekonomi bisa mempertimbangkan masyarakat adat sebagai sumber peluang dan mengonstruksikan kerangka kerja secara terintegrasi. Kemudian juga harus mempelajari etika masyarakat adat dalam mengelola alam melalui perhitungan ekonomi,” ujarnya.
SDGs Center Unpad juga telah melakukan studi valuasi ekonomi di enam lanskap masyarakat adat, yakni komunitas masyarakat adat Karang (Lebak, Banten), Kajang (Bulukumba, Sulawesi Selatan), Kaluppini (Enrekang, Sulawesi Selatan), Seberuang (Sintang, Kalimantan Barat), Saureinu (Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat), dan Moi Kelim (Sorong, Papua Barat).
Keenam masyarakat adat tersebut melakukan pemanfaatan alam atau komoditas yang beragam, di antaranya sagu, pisang, sayuran, kelapa, cabai, buah-buahan, umbi-umbian, coklat, dan hewan ternak. Adapun nilai ekonomi produk sumber daya alam (SDA) tersebut mencapai puluhan miliar rupiah per tahun.
Tercatat nilai ekonomi produk SDA dari masyarakat adat Kasepuhan Karang mencapai Rp 29,17 miliar per tahun, Ammatoa Kajang Rp 26,12 miliar per tahun, Kallupini Rp 35,28 miliar per tahun, Seberuang Rp 27,14 miliar per tahun, Saureinu Rp 33,54 miliar per tahun, dan Moi Kelim Rp 7,96 miliar per tahun.
Selain itu, nilai ekonomi yang besar dari masyarakat adat juga berasal dari jasa lingkungan. Masyarakat adat Moi Kelim memiliki nilai ekonomi terbesar dari jasa lingkungan, yakni mencapai Rp 148,43 miliar per tahun. Sementara masyarakat adat lainnya di bawah Rp 10 miliar per tahun.
”Jadi, implikasi kebijakan pengelolaan nilai ekonomi lanskap masyarakat adat ini menunjukkan pola ekonomi non-ekstraktif bisa mempertahankan fondasi ekonomi masyarakat sekitar. Selain itu juga bisa meningkatkan pola ekonomi pada sistem budidaya,” kata Zuzy yang juga merupakan Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Unpad. (MTK)