Infodemik Covid-19 Berkembang hingga Teori Konspirasi
Sejumlah figur publik turut mengamplifikasi teori konspirasi seputar Covid-19, dari bekas Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari yang sedang dipenjara karena kasus korupsi hingga penabuh drum grup musik Superman Is Dead.
Oleh
satrio pangarso wisanggeni
·5 menit baca
Platform berbagai video, Youtube, memutuskan untuk memberikan panel informasi kebenaran fakta di dalam kolom pencariannya mulai Rabu (29/4/2020). Fitur ini akan ada di Amerika Serikat, menyusul India dan Brasil pada tahun lalu dan akan segera diterapkan di negara-negara lainnya.
Pandemi Covid-19 disebut sebagai dasar pengambilan keputusan ini, menurut keterangan resmi dari Youtube. ”Penyebaran Covid-19 meyakinkan kami betapa pentingnya bagi pengguna untuk mendapatkan informasi yang akurat pada situasi genting,” tulis Youtube.
Youtube berharap, dengan adanya panel informasi kebenaran fakta ini, para penggunanya akan dapat mengambil keputusan yang tepat apakah akan menonton video yang berisi informasi kredibel atau bukan.
Kebijakan seperti yang diambil Youtube tersebut menjadi semakin sering dilakukan oleh berbagai perusahaan media sosial semenjak Covid-19 menyebar ke seluruh dunia dan menjadi pandemi.
Semakin marak
Hal ini karena pandemi Covid-19 juga dibarengi dengan infodemik; banjir informasi mengenai Covid-19 yang berisi baik informasi yang akurat maupun yang salah. Sejumlah teori konspirasi dan anjuran kesehatan yang berbasis pseudosains—sains palsu—semakin marak.
Dari yang relatif tidak berbahaya, seperti memakan bawang dapat menangkal virus korona, hingga yang dapat mengurangi kewaspadaan masyarakat terhadap bahaya Covid-19, seperti menahan napas selama 15 detik sebagai upaya deteksi virus.
Salah satu yang paling berbahaya dan sudah berdampak serius bagi kesehatan masyarakat adalah anjuran injeksi disinfektan ke dalam tubuh yang disampaikan oleh Presiden AS Donald Trump pada Kamis (23/4/2020). Bahkan, kini dilaporkan ada peningkatan jumlah laporan warga yang keracunan disinfektan.
Selain pseudosains dan nasihat kesehatan yang salah, jenis informasi palsu yang juga beredar luas selama pandemi ini adalah teori konspirasi.
Salah satu teori konspirasi mengklaim bahwa jaringan 5G adalah penyebab virus korona ini. Memang tampak tidak masuk akal bagaimana virus menginfeksi dengan medium jaringan telekomunikasi.
Nyatanya, surat kabar TheGuardian melaporkan pada awal April lalu bahwa telah terjadi setidaknya perusakan 20 tiang base transceiver station (BTS). Motifnya diduga karena teori konspirasi tersebut.
Teori konspirasi lainnya yang sempat marak adalah mengenai asal-muasal virus penyebab Covid-19. Salah satu yang paling terkenal adalah teori yang mengklaim bahwa virus bocor dari program pengembangan senjata biologi China di Wuhan Institute of Virology. Hingga kini tidak ada bukti.
Teori konspirasi lain yang sedang ramai didiskusikan di media sosial di Indonesia mengklaim pandemi Covid-19 hanyalah sebuah ”propaganda ketakutan”.
Teori ini mengklaim bahwa pendiri Microsoft, Bill Gates, bersama Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), beserta seluruh media massa telah bersepakat menakut-nakuti masyarakat. Disebut juga bahwa Gates adalah pencipta virus dan kini sudah akan siap dengan vaksinnya.
Sejumlah figur publik turut mengamplifikasi teori konspirasi semacam ini, dari bekas Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari yang sedang dipenjara karena kasus korupsi hingga penabuh drum untuk grup musik Superman Is Dead, I Gede Ari Astina atau dikenal dengan nama Jerinx atau Jrx.
Siti diketahui mengirimkan pernyataan tertulis kepada sejumlah wartawan. Pernyataan Siti yang memperingatkan Pemerintah Indonesia untuk tidak menggunakan vaksin ciptaan Gates pun diterbitkan oleh sejumlah media.
Sementara itu, Jerinx, melalui akun Instagramnya, @jrxsid, telah mengunggah sejumlah postingan yang mengutarakan pesan-pesan serupa. Tagar #matikanTV dan #unfollowIGpenakut menjadi penanda di sejumlah postingan Jerinx. Ia bahkan mengatakan akan siap menerima tantangan disuntik virus korona.
Meski demikian, Jerinx juga tetap konsisten melakukan gerakan sosial dengan membagi-bagikan hand sanitizer pada pengguna lalu lintas.
Sikap yang diambil Jerinx ini menuai kontroversi. Banyak yang menganggap sejumlah pernyataaannya dapat memicu masyarakat untuk tidak mengikuti petunjuk ilmiah dari akademisi dan meningkatkan risiko penyebaran.
Meski demikian, sikap yang ditunjukkan Jerinx ini pun juga tetap saja mendapat dukungan. Ada sejumlah akun yang setuju bahwa memang ada lingkaran konspirasi global dan media massa yang berkeinginan untuk menakut-nakuti dan mengekang kebebasan masyarakat.
Kelelahan masyarakat
Pakar komunikasi digital Universitas Indonesia, Firman Kurniawan, mengatakan, larisnya teori konspirasi dipicu karena kelelahan masyarakat yang belum mendapat kejelasan akan Covid-19.
Padahal, memang saat ini umur penyakit yang masih baru membuat banyak aspek dari penyakit ini belum diketahui jelas. Dengan terjadinya ”kelelahan” ini, menurut Firman, masyarakat mencari relaksasi atas keadaan itu.
Menurut Firman, masyarakat lalu mengalihkan perhatian pada penjelasan yang paling masuk akal, sekaligus memosisikan diri mereka sendiri sebagai pihak yang tak mampu mengatasi persoalan.
Oleh karena itu, Firman mengatakan, dalam setiap teori konspirasi selalu ada pihak yang dituding secara sengaja membuat keonaran dan memiliki kekuasaan dan kekuatan yang sangat besar.
Selain itu, teori konspirasi selalu menggunakan premis-premis sederhana yang relatif mudah dipahami dibandingkan dengan penjelasan ilmiah yang bisa lebih rumit.
”Premis-premis sederhana yang digabungkan dan tampak logis keterkaitannya diformulasi membentuk pernyataan yang tampak masuk akal. Ini juga adalah cara kerja pseudoscience,” kata Firman.
Sulit memahami konsep kompleks
Untuk sementara, daripada terlibat dengan teori baru yang belum ada buktinya, lebih baik patuh pada protokol pencegahan penularan. Risiko Covid-19 itu nyata.
Tom Nichols dalam bukunya, Death of Expertise (2017), berpendapat, teori konspirasi akan menarik bagi orang yang kesulitan memahami dunia yang sangat kompleks dan tidak suka penjelasan tidak dramatis.
Merebaknya teori konspirasi, menurut Nichols, juga berkaitan dengan pengalaman tragis dan traumatis kolektif. Teori konspirasi muncul dan sangatlah menawan di masyarakat yang mengalami trauma tragis secara bersama-sama.
Oleh karena itu, menurut Nichols, teori konspirasi merebak popularitasnya pasca-Perang Dunia I, Revolusi Rusia, pembunuhan John F Kennedy, hingga serangan teror 11 September 2001, dan kejadian historis lainnnya. Dan kini, tentu juga tak terkecuali untuk pandemi Covid-19.
”Untuk sementara, daripada terlibat dengan teori baru yang belum ada buktinya, lebih baik patuh pada protokol pencegahan penularan. Risiko Covid-19 itu nyata,” kata Firman.