Cerita-cerita Penggugat Zaman
“Saya akhirnya menuju pulang, gontai sambil menangis tanpa suara, saya tahu, besar kemungkinan ditolak kampung sendiri,”
Cerita Hana dalam cerpen Kapotjes dan Batu yang Terapung karya Faisal Oddang mengoyak aib sejarah kejahatan seksual di masa penjajahan Jepang. Fenomena Jugun ianfu lebih dari 75 tahun itu terus-menerus menggugat nurani publik bahwa kejahatan seksual benar-benar menorehkan luka-luka batin mendalam yang tak pernah kering oleh gilasan zaman.
Perang selalu membawa derita bagi siapa saja. Selain meminta korban nyawa, konflik juga memicu munculnya kejahatan, salah satunya kejahatan seksual.
Di kampungnya, Faisal masih sering mendengarkan cerita-cerita pilu dari para pendahulu. “Perempuan-perempuan sengaja membaluri tubuh mereka dengan arang-arang hitam agar terlihat tak menarik sehingga serdadu-serdadu Jepang tak membawa mereka ke tangsi-tangsi militer,” ucapnya.
Ironisnya, selalu saja ada pihak yang mencoba mengubur begitu saja sejarah-sejarah kelam kejahatan seksual seperti yang dialami perempuan-perempuan Indonesia pada masa pendudukan Jepang, atau bahkan peristiwa kerusuhan Mei 1998 yang masih begitu segar di ingatan kita. Di sisi lain, para korban kekerasan seksual secara umum enggan untuk menyuarakan hak mereka, karena kejahatan seksual seringkali dianggap sebagai aib di mata publik.
Kegetiran inilah yang dipaparkan Faisal dalam cerpennya Kapotjes dan Batu yang Terapung yang terpilih sebagai salah satu cerpen terbaik dalam acara Malam Jamuan Cerpen Pilihan Kompas 2018, Jumat (28/6/2019), di Bentara Budaya Jakarta. Semalam, sastrawan muda Ni Made Purnamasari bersama musikus Ages Dwi Harso menginterpretasikan cerpen Faisal dalam pendarasan puisi.
“Aku merangkak, keluar dari kenyataan yang dipaksakan, dari masa yang tak pernah benar-benar sirna, dari kelam tangsi-tangsi jahanam, dari jerit dan teriakan malam, dari tusukan-tusukan hasrat purba kuasa, dari kematian yang berulang,” ujar Purnama dalam puisinya. Dalam syair-syair Purnama dan gesekan Cello Ages, sayatan-sayatan hati para korban tergambar jelas.
Tentang hitam putih
Cerpen berikutnya berjudul Aroma Doa Bilal Jawad karya Raudal Tanjung Banua juga terpilih sebagai cerpen terbaik Pilihan Kompas 2018. Dalam cerpennya, Raudal bertutur tentang fenomena perubahan tradisi yang terjadi di kampung halamannya di Minang, Sumatera Barat.
“Aroma Doa Bilal Jawad mengungkap keresahan banyak orang terhadap keseharian hidup yang semakin dogmatis dan hitam putih. Namun, menariknya, cerpen ini menyajikannya tanpa (harus) menggurui,”kata Mohammad Hilmi Faiq, salah satu anggota Tim Juri Cerpen Pilihan Kompas 2018.
Aroma Doa Bilal Jawad mengungkap keresahan banyak orang terhadap keseharian hidup yang semakin dogmatis dan hitam putih.
Cerpen Raudal memanggungkan realitas subyektif dirinya sebagai orang Minang yang lekat dengan ritual tertentu dalam berdoa. Ritual tersebut diwakili oleh tokoh Bilal Jawad. Dalam penuturannya yang halus, Raudal menggugat upaya penyeragaman ritual doa yang justru akan membunuh keindonesiaan yang pada hakikatnya adalah majemuk.
Pesan kuat dari karya Raudal juga ditangkap musisi Adrian Yunan Faisal. Mantan personil band Efek Rumah Kaca ini merespon cerpen Raudal dalam lagu panjangnya berjudul Aroma Doa. Selain menciptakan satu lagu khusus yang terinspirasi dari cerpen Raudal, Adrian juga membawakan delapan lagu lain di Malam Jamuan Cerpen Pilihan Kompas 2018.
Karya Faisal dan Raudal merupakan cerpen terbaik pilihan Tim Juri Cerpen Pilihan Kompas 2018. Setelah melalui proses panjang perdebatan logika dan rasa, tim juri akhirnya memilih Kapotjes dan Batu yang Terapung dan Aroma Doa Bilal Jawad sebagai cerpen terbaik dari 23 Cerpen Pilihan Kompas 2018. Kedua cerpen tersebut sama-sama memiliki keunggulan, kekuatan, berbobot, dan estetik bahasanya.
Ragam warna
Latar belakang keberagaman budaya Nusantara turut membentuk warna cerpen-cerpen yang dimuat di Harian Kompas sepanjang 2018. Muna Masyari dengan konteks budaya Madura muncul dengan karyanya berjudul Pemesan Batik yang bertutur tentang budaya batik sebagai penyampai pesan, bukan sekedar fesyen. Cerpenis senior Triyanto Triwikromo dengan cerpen Ziarah Terakhir Gus Dar membedah tradisi ziarah yang begitu lekat dengan Islam Jawa.
Latar belakang keberagaman budaya Nusantara turut membentuk warna cerpen-cerpen yang dimuat di Harian Kompas sepanjang 2018.
Selain budaya, tema-tema lain seperti keluarga, kekerasan seksual, serta sosial politik cukup mewarnai panggung cerpen Kompas di tahun 2018. Salah satu fenomena menarik muncul di mana banyak cerpenis memiliki kecenderungan sama, yaitu mengangkat sosok ayah dalam karyanya. Ini terlihat dari karya Ahimsa Marga dengan judul Bapak, Meutia Swarna Maharani dengan Baruna, Dewi Ria Utari dengan Melarung Bapak, Rizki Turama dengan Durian Ayah, juga Djenar Mahesa Ayu lewat cerpennya Saat Ayah Meninggal Dunia. Dalam cerpen-cerpen itu muncul kerinduan, keasingan, hingga penghormatan terhadap sosok ayah.
Yang menarik lainnya, muncul juga tema-tema urban yang muncul pada cerpen Seno Gumira Ajidarma dengan judul GoKill, Desi Puspitasari dengan Karangan Bunga, Novka Kuaranita dengan Cara-cara Klise Berumah Tangga, dan Agus Noor dengan cerpennya Pelahap Kenangan. Di sisi lain, ada pula gugatan-gugatan terhadap realitas sosial yang ditampilkan secara dinamis pada cerpen Ayat Kopi karya Joko Pinurbo, Laki-laki yang Kawin dengan Babi karya Mashdar Zainal, dan Aroma Doa Bilal Jawad karya Raudal.
Pemimpin Redaksi Harian Kompas Ninum Mardiana Pambudy mengatakan, setiap hari rata-rata ada 10 cerpen yang masuk ke dapur redaksi Kompas edisi Minggu. Namun demikian, karena keterbatasan tempat di koran cetak, maka sepanjang 2018 hanya ada 53 cerpen yang bisa ditampilkan. Meski demikian, saat ini Kompas juga membuka platform baru yang bisa menampung dua cerpen setiap hari Sabtu di laman kompas.id. Setiap hari, rata-rata sudah masuk 5-7 cerpen dari seluruh Indonesia ke editor cerpen kompas.id.
Setiap hari rata-rata ada 10 cerpen yang masuk ke dapur redaksi Kompas edisi Minggu. Namun demikian, karena keterbatasan tempat di koran cetak, maka sepanjang 2018 hanya ada 53 cerpen yang bisa ditampilkan.
Ketua Panitia Jamuan Cerpen Pilihan Kompas 2018 Mari Susy Berindra mengungkapkan, acara Malam Jamuan Cerpen sengaja dikemas untuk para cerpenis dan sekaligus untuk mendekatkan mereka dengan para peminat sastra. Karena itu, tampak hadir semalam, cerpenis-cerpenis, antara lain Budi Darma, Martin Aleida, Ahmad Tohari, Agus Noor, Ahimsa Marga, dan Joko Pinurbo.