Mayoritas buku yang ada di perpustakaan sekolah adalah buku pelajaran. Dengan kondisi ini, akan sulit mengajak siswa yang minim bacaan di rumah agar mau membaca.
JAKARTA, KOMPAS — Dua tahun Gerakan Literasi Nasional, para pegiat literasi masih berjibaku meningkatkan minat baca masyarakat. Ketersediaan bahan bacaan yang sesuai dengan kelompok umur, minat, dan lokasi merupakan tantangan yang belum bisa sepenuhnya diatasi.
Minimnya bahan bacaan dikeluhkan oleh para pegiat literasi dari 34 provinsi. Sebanyak 120 pegiat literasi berkumpul di Jakarta pada Senin (8/4/2019) hingga 14 April nanti untuk mengikuti bimbingan teknis dari Badan Pengembangan Bahasa dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
”Mayoritas buku yang ada di perpustakaan sekolah adalah buku teks pelajaran yang dibeli dari dana bantuan operasional sekolah,” kata Yeni Sulistiyani, guru Bahasa Indonesia SMPN 1 Sekampung Udik, Lampung. Akibatnya, siswa yang belum memiliki minat baca sudah keburu terintimidasi ketika melihat buku.
Sebagai pegiat literasi, Yeni berupaya membuat siswa akrab dengan buku dan melihat buku sebagai hiburan. Oleh karena itu, ia tanpa pamrih meminjamkan buku-buku koleksi pribadinya kepada siswa. Mereka paling senang membaca novel, biografi tokoh, dan buku berisi tulisan motivasi.
Akan tetapi, semua siswa yang gemar membaca adalah mereka yang menduduki peringkat 10 besar di kelas masing-masing. Para siswa berprestasi ini berasal dari keluarga memang memedulikan pendidikan sehingga orangtua selalu mendorong mereka agar banyak mencari wawasan baru.
Semua siswa yang gemar membaca adalah mereka yang menduduki peringkat 10 besar di kelas masing-masing.
”Tantangan nomor satu yang dibicarakan di komunitas Gerakan Literasi Nasional adalah mengajak siswa dari latar belakang minim bacaan agar mau membaca,” ujarnya.
Hal ini juga ditambah minimnya koordinasi guru di sekolah terkait pembiasaan membaca karena masih dibebankan kepada pelajaran Bahasa Indonesia. Yeni mengatakan, bahkan di pelajaran itu pun mayoritas guru sangat mengandalkan buku pelajaran.
Hal ini membuat kemampuan guru menulis teks tidak terasah karena untuk contoh teks langsung diambil dari buku pelajaran. Padahal, kemampuan menulis yang baik harus diiringi dengan banyak membaca.
Masalah itu tecermin dalam survei yang dilakukan Badan Pengembangan Bahasa dan Perbukuan pada 2018 terhadap 1.467 guru. Mereka diuji membaca dan memahami jenis-jenis teks kontekstual dan substansinya. Hasilnya ternyata hampir setengah guru yang diuji tidak memahaminya.
Perpustakaan desa
Sementara itu, Suciati, guru Bahasa Indonesia SMAN 1 Tanggamus, Lampung, mengungkapkan bahwa ia bersama komunitas literasi di daerahnya membuka beberapa taman bacaan masyarakat. Salah satunya di rumahnya. Buku-bukunya merupakan sumbangan dari berbagai komunitas literasi di Indonesia.
Menurut dia, komunitas literasi berupaya membujuk pemerintah daerah, kepala desa, dan lurah untuk membangun perpustakaan desa. Hal ini karena di dalam dana desa yang dikucurkan setiap bulan mencakup anggaran untuk membangun dan mengembangkan perpustakaan desa.
”Kami menafsirkan perpustakaan desa tidak harus berupa satu bangunan saja. Semestinya bisa berupa jaringan taman bacaan yang disokong oleh dana desa agar bisa rutin disuplai buku dan bacaan lainnya serta memiliki program literasi berkesinambungan,” ujarnya.
Kepala Badan Pengembangan Bahasa dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Dadang Sunandar mengatakan, literasi tidak hanya pada kemampuan membaca, menulis, dan memahami teks. Kini literasi mencakup kemampuan menavigasikan media dan informasi digital, keuangan, numerasi, sains, serta budaya dan kewarganegaraan.
Kini literasi mencakup kemampuan menavigasikan media dan informasi digital, keuangan, numerasi, sains, serta budaya dan kewarganegaraan.
”Kalau melihat angka perpustakaan sekolah, sudah 63 persen SD, 77 persen SMP, 80 persen SMA, dan 64 persen SMK memiliki perpustakaan. Namun, jumlah ini tidak berbanding lurus dengan kunjungan siswa ke perpustakaan,” ujarnya.
Dari segi kegiatan, Badan Pengembangan Bahasa dan Perbukuan mengadakan berbagai program. Salah satunya adalah Sastrawan Masuk Sekolah, yaitu sastrawan datang ke satu kabupaten/kota selama empat hari untuk mengadakan pelatihan menulis dan apresiasi sastra bagi guru dan siswa. Sastrawan yang sudah mengikuti program ini antara lain adalah Gol A Gong, Imam Sholeh, dan Jamal D Rahman. Selain itu, juga ada 546 bahan bacaan yang bisa diunduh gratis di laman Gerakan Literasi Nasional.