Harapan dari Kunjungan Presiden Jokowi ke Cirebon
Sebagian warga Cirebon menumpahkan keluh kesah di hadapan Presiden Joko Widodo. Bantuan pemerintah disyukuri, tetapi mereka tetap berharap bisa hidup sejahtera tanpa bergantung pada belas kasihan pemerintah.
Tangis haru dan sukacita masyarakat kecil menyambut kedatangan Presiden Joko Widodo di Cirebon, Jawa Barat, Rabu (13/4/2022). Tidak hanya bertemu orang nomor satu di negeri ini, mereka juga menerima aneka bantuan. Muncul harapan, berbagai masalah ”wong cilik” yang mengendap di sana segera dituntaskan.
Muliaty (62) tak kuasa menahan tangis saat berjumpa Presiden Jokowi di halaman Pasar Harjamukti, Cirebon. Kedua tangan keriputnya mengatup seperti memohon. ”Saya enggak nyangka ketemu Pak Jokowi. Dia penyabar, penyayang rakyatnya,” ucap warga Penggung ini.
Saat bersalaman, ibu empat anak ini menyelipkan memo berisi permohonannya untuk bisa berjualan di sekolah menengah tingkat atas di dekat rumahnya. ”(Kebutuhan) saya dijamin anak. Tapi, dia sudah meninggal lima bulan lalu. Jadi, saya tanggung jawab untuk cucu,” katanya.
Sebenarnya, Muliaty punya tiga anak lain. Namun, kehidupan mereka juga belum mapan. Ia pun harus berjuang seorang diri memenuhi kebutuhan hariannya, dua cucunya yang yatim dan butuh biaya sekolah. Kadang, perempuan lanjut usia ini jualan es dengan pendapatan tak tentu.
”Kemarin cuma dapat Rp 3.000,” ucap warga RT 005 RW 010 Penggung ini.
Dua tahun lalu, ia sempat jualan nasi dan aneka lauk berkat modal almarhum anaknya yang bekerja di percetakan. Omzetnya bisa Rp 400.000 per hari. Namun, pandemi Covid-19 menghabisi kerja kerasnya.
Kondisinya semakin sulit ketika sejumlah harga bahan pokok melambung, termasuk minyak goreng. Produk dari hutan sawit di Indonesia itu tahun lalu harganya masih Rp 11.500 per kilogram untuk jenis curah. Namun, kini melambung hingga lebih dari Rp 18.000 per kg.
”Saya sampai enggak bisa beli minyak goreng. Makan, ya, seadanya,” ucapnya. Sejauh ini, Muliaty bertumpu pada bantuan pangan nontunai, Rp 600.000 per tiga bulan. Akan tetapi, bantuan itu belum cukup. Itu sebabnya, ia memohon kepada Presiden agar bisa berdagang.
Presiden Jokowi yang datang bersama Sekretaris Kabinet Pramono Anung, Gubernur Jabar Ridwan Kamil, dan Wali Kota Cirebon Nashrudin Azis langsung menyerahkan bantuan langsung tunai senilai Rp 300.000 untuk tiga bulan. Muliaty pun berterima kasih sambil menunduk.
Siti Chasanah (65), warga lainnya, juga meneteskan air mata saat berbicara dengan Presiden Jokowi. Ia bercerita, sulitnya membuat dapur tetap ngebul. Menderita asam urat dan kolesterol, ia tak lagi bisa berdagang dan bergantung pada bantuan pemerintah Rp 600.000 per tiga bulan.
”Makan sendiri, cari sendiri. Pernah enggak makan sehari. Anak-anak saya sudah berkeluarga jadi enggak enak minta sama anak. Jadi, pengin minta bantuan Pak Jokowi,” ujar Chasanah yang tinggal berdua dengan cucunya dan anak keempatnya yang masih menganggur.
Presiden Jokowi pun memberinya BLT minyak goreng dan paket sembako berisi minyak goreng kemasan 1 liter, biskuit, gula, hingga beras 5 kg. Chasanah kemudian berterima kasih sembari menyalami Presiden dua kali itu. Katanya, bantuan itu cukup mengurangi beban ekonominya.
Siti Wahyuni (36), warga lainnya, juga tak mampu menyembunyikan kebahagiaannya ketika dipanggil Presiden Jokowi. Ibu dua anak ini langsung menerima amplop yang diduga berisi uang tunai dari Presiden. Namun, ia belum ingin membukanya. Matanya memerah, ingin menangis.
”Pak Presiden bilang mau minta apa. Saya minta bantuan karena saya enggak pernah dapat bantuan apa pun,” ucap warga Kalijaga ini. Padahal, ia kerap pusing tujuh keliling membiayai kedua anaknya yang duduk di bangku sekolah menengah atas dan sekolah dasar.
Pendapatan suaminya yang bekerja sebagai pengayuh becak juga tak menentu. Selama pandemi Covid-19 dua tahun terakhir, suaminya paling membawa pulang Rp 40.000 dari pagi hingga sore. ”Sudah, ya, Mas. Saya mau ke Bapak dulu kasih lihat bantuan ini,” ucapnya sambil berlari.
Baca juga: Presiden Jokowi Kucurkan BLT Minyak Goreng
Tidak cukup
Selain menyerahkan BLT minyak goreng, Presiden juga memberikan bantuan usaha senilai Rp 1,2 juta kepada sejumlah pedagang di Pasar Harjamukti dan Pasar Kanoman. Penyaluran BLT minyak goreng langsung dari Presiden ini merupakan yang kedua setelah di Jambi pekan lalu.
”Kita harapkan dengan pemberian, baik BLT (minyak goreng) maupun bantuan modal usaha ini, daya beli masyarakat bisa lebih baik lagi,” ujar Jokowi. Menurut Presiden, indikasi perbaikan daya beli tersebut tampak pada ramainya pasar di berbagai daerah jelang hari raya Idul Fitri.
Kemacetan di hampir semua kota, lanjutnya, juga menggambarkan perbaikan perekonomian. ”Ini (tidak hanya) menunjukkan mobilitas (warga) yang semakin tinggi, tetapi juga menunjukkan adanya pergerakan ekonomi perputaran ekonomi, utamanya pariwisata,” kata Presiden.
Gubernur Jabar Ridwan Kamil mengakui, bantuan itu belum optimal memenuhi kebutuhan warga. ”Kalau disebut cukup, pastilah tidak cukup. Tapi, minimal di kelompok paling rentan bisa mendapatkan subsidi untuk mengompensasi kenaikan (harga) minyak goreng,” ucapnya.
Terlebih lagi, pandemi Covid-19 telah memperlebar jurang kemiskinan. Tahun lalu, Badan Pusat Statistik Jabar mencatat, jumlah penduduk miskin di provinsi itu mencapai 4.195.300 jiwa. Padahal, pada 2019, sebelum pandemi, total penduduk miskin sebanyak 3.399.200 orang. Banyak di antaranya adalah warga yang tinggal di pesisir utara Jawa, seperti Cirebon.
Nurjanah (35), pedagang tempe di Pasar Harjamukti, mengapresiasi bantuan kebutuhan pokok dan BLT minyak goreng itu. Akan tetapi, bantuan itu bersifat sementara karena harga aneka bahan pokok melonjak. ”Kalau dulu, kami biasa makan ayam. Sekarang, paling seminggu dua kali,” katanya.
Ibu dua anak ini berharap Presiden bisa menjaga stabilitas harga kedelai yang menjadi bahan baku usahanya. Jika dulu harga komoditas impor itu Rp 9.000 per kg, kini angkanya mencapai Rp 12.500 per kg. Ia pun mengurangi produksi dari biasanya 70 kg menjadi hanya 50 kg per hari.
”Harga kedelai naik. Tapi, kita juga mau menjual dengan harga tinggi ke masyarakat rada bingung. Takut enggak laku,” ujarnya.
Nelayan di Desa Bandengan, Kecamatan Mundu, Kabupaten Cirebon, juga menuntut solusi permanen dari Presiden Jokowi atas persoalan kelangkaan solar dan pendangkalan muara. Taryudi (40), nelayan setempat, mengatakan, muara Bandengan sudah 10 tahun tak dikeruk.
Kondisi ini berbanding terbalik dengan pembangunan dua pembangkit listrik tenaga uap tidak jauh dari daerah itu. Padahal, tanpa pengerukan, tidak jarang baling-baling perahu nelayan rusak karena tersangkut lumpur hingga kayu.
”Nelayan bisa menunggu (air naik) sampai 5 jam supaya perahu bisa masuk muara,” ujarnya.
Baca juga: Zakat Bantu Pengentasan Kemiskinan Ekstrem di Jabar
Hasil tangkap yang tak menentu juga membuat nelayan lebih memilih menambatkan perahu. ”Alhamdulillah dapat bantuan sembako dari Presiden. Bisalah untuk makan tiga hari ke depan,” ucap bapak dua anak ini.
Kustono (35), nelayan lainnya, meminta Presiden Jokowi memastikan ketersediaan bahan bakar minyak solar dengan harga terjangkau. Beberapa hari terakhir, lanjutnya, nelayan sulit mendapatkan solar di stasiun pengisian bahan bakar untuk umum (SPBU).
”Kadang dua hari enggak kebagian solar. Kemarin saya berangkat 10 liter, cuma dapat ikan segini. Ya, lebih baik menganggur dulu,” ucap bapak dua anak ini sambil menunjukkan jari telunjuknya. Ia pun berharap ada stasiun bahan bakar untuk nelayan di Bandengan.
Mendengar keluhan tersebut, Presiden yang sempat berbincang dengan nelayan di perahu langsung meminta kementerian terkait menangani persoalan itu. Sama seperti masyarakat kecil lainnya, nelayan pun menanti hasil kunjungan Jokowi ke Cirebon. Harapannya, sukacita mereka dengan kehadiran Presiden tetap terjaga.
Baca juga: Wapres Amin: Butuh Kerja Ekstra Keras Pengentasan Warga dari Kemiskinan Ekstrem