Kejaksaan Belum Bersikap atas Vonis Lepas Penembak Anggota Laskar FPI
Kontras meminta jaksa untuk kasasi. Vonis lepas berakibat tercederainya keadilan bagi keluarga korban. Vonis lepas juga bisa jadi legitimasi bagi Polri untuk melakukan tindakan serupa di kemudian hari.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kejaksaan Agung masih akan mempelajari vonis lepas hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan terhadap dua anggota Polda Metro Jaya dalam kasus pembunuhan anggota Laskar Front Pembela Islam. Sebagai representasi negara, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan berharap jaksa penuntut umum menempuh upaya hukum kasasi terhadap putusan yang dinilai janggal itu.
Pada Jumat (18/3/2022), majelis hakim yang dipimpin Muhammad Arif Nuryanta memutus terdakwa Brigadir Satu (Briptu) Fikri Ramadhan dan Inspektur Dua (Ipda) M Yusmin Ohorella terbukti melakukan pidana sesuai dakwaan penuntut umum. Namun, terdakwa tidak bisa dijatuhi hukuman pidana karena adanya alasan pembenar atau alasan pemaaf. Alasan dimaksud pembelaan diri. Kedua anggota polisi itu didakwa dalam kasus penembakan terhadap enam anggota Laskar FPI di Jalan Tol Cikampek Kilometer 50, Karawang, Jawa Barat, 7 Desember 2020.
Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung Ketut Sumedana saat dihubungi, Minggu (20/3/2022), mengatakan, pihaknya menghargai apa pun putusan yang dibuat hakim. Sikap jaksa penuntut umum (JPU) di persidangan sudah benar, yaitu pikir-pikir. Waktu pikir-pikir selama tujuh hari setelah putusan dibacakan itu akan digunakan untuk mempelajari putusan secara lengkap. Hal itu bertujuan untuk mempermudah jaksa dalam membuat memori kasasi. “Kami pelajari dulu putusannya. Kami belum memutuskan karena masih pikir-pikir,” kata Ketut.
Ketut menyadari bahwa putusan majelis hakim itu jauh dari tuntutan JPU yang meminta terdakwa dijatuhi hukuman enam tahun penjara. Namun, untuk mengajukan upaya hukum kasasi, karena putusannya lepas dari segala tuntutan hukum, JPU perlu mempelajari berkas putusan. Salinan putusan sangat penting untuk mempertimbangkan langkah-langkah selanjutnya. ”Mengacu pada KUHP, jika putusannya adalah lepas dari segala tuntutan hukum atau ontslag van rechtsvervolging, JPU bisa langsung ajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Namun, kami tidak bisa spontan memutuskan karena baru Jumat kemarin putusan,” tambahnya.
Kepala Divisi Hukum Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Andi Muhammad Rezaldy mendorong jaksa penuntut umum untuk segera melayangkan kasasi ke MA. Menurut dia, jaksa sebagai representasi negara sudah sepatutnya mengajukan upaya hukum. Pasalnya, pertimbangan hakim dianggap aneh dan tidak logis secara hukum. ”Tindakan pembunuhan di luar hukum itu tidak memenuhi prinsip kebutuhan, proporsionalitas, dan masuk akal dalam konteks penggunaan kekuatan,” kata Andi.
Kontras adalah lembaga swadaya masyarakat yang aktif memantau perkara ini sejak masih penyelidikan hingga persidangan. Hasil temuan Kontras, pertimbangan putusan majelis hakim bahwa tindakan pembunuhan di luar hukum adalah pembelaan terpaksa yang melampaui batas, tidaklah tepat. Jika memang terjadi upaya merebut senjata api milik Briptu FR, setidaknya digunakan kekuatan lain untuk menghentikan tindakan perebutan senjata api itu. Jika masih tidak bisa, penembakan seharusnya ditujukan pada titik melumpuhkan, bukan titik mematikan. Aparat kepolisian seharusnya dapat meminimalisasi kerusakan atau luka akibat penggunaan kekuatan yang digunakan.
”Sejak awal kasus ini sudah ganjil dan menambah daftar panjang keganjilan proses hukum terhadap anggota Polri,” kata Andi.
Dalam beberapa kasus yang melibatkan anggota Polri, misalnya kasus penyiraman air keras terhadap penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Novel Baswedan, kasus penyiksaan Zaenal Abidin yang melibatkan sembilan anggota Polres Lombok Timur, hingga kasus extrajudicial killing terhadap Deki Susanto di Solok Selatan, Sumatra Barat. Ada juga kasus tewasnya Siyono di Klaten, yang kemudian hanya memutus secara etik dua anggota Densus 88.
”Hal semacam ini menunjukkan bahwa terdapat praktik impunitas terhadap anggota kepolisian yang berakibat pada tercederainya rasa keadilan bagi korban maupun keluarga korban. Selain itu, kami juga khawatir putusan lepas itu bisa menjadi legitimasi bagi anggota Polri untuk melakukan tindakan unlawful killing di masa depan,” kata Andi.