Menjadi Tersangka, Haris Azhar dan Fatia Akan Segera Diperiksa
Penyidik Polda Metro Jaya menetapkan Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti sebagai tersangka. Sebelumnya, keduanya dilaporkan mencemarkan nama baik Menko Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan.
JAKARTA, KOMPAS
—
Penyidik Kepolisian Daerah Metro Jaya menetapkan Direktur Lokataru Haris Azhar dan Koordinator Kontras Fatia Maulidiyanti sebagai tersangka terkait dengan dugaan pencemaran nama baik Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan. Menurut rencana, keduanya akan diperiksa pada Senin (21/3/2022).
Penetapan tersangka itu disampaikan oleh Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Komisaris Besar Endra Zulpan secara tertulis, Sabtu (19/3/2022). ”Keduanya (Haris dan Fatia) sudah menjadi tersangka dan Senin akan diperiksa,” katanya singkat.
Haris dan Fatia dilaporkan ke Polda Metro Jaya pada akhir September 2021 lalu dengan menggunakan pasal pencemaran nama baik dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) plus gugatan perdata senilai Rp 100 miliar. Pelaporan itu dilakukan setelah pihak Luhut melayangkan dua kali somasi, tetapi tak ditanggapi oleh Haris dan Fatia.
Permasalahan ini berangkat dari konten video ”Ada Lord Luhut di Balik Relasi Ekonomi-Ops Militer Intan Jaya!! Jenderal BIN Juga Ada!!” yang ditayangkan di Youtube pada channel Haris Azhar dengan durasi sepanjang 26 menit 51 detik. Dalam video itu, Haris dan Fatia membahas konsesi Blok Wabu dan perusahaan yang beroperasi di sana yang diduga terkait dengan beberapa pejabat dan purnawirawan TNI.
Keduanya (Haris dan Fatia) sudah menjadi tersangka dan Senin akan diperiksa.
Dalam video itu disebutkan bahwa pembicaraan tersebut didasarkan pada sebuah riset yang laporannya dapat diunduh di beberapa situs kelompok masyarakat sipil. Riset yang dimaksud berjudul ”Ekonomi-Politik Penempatan Militer di Papua: Kasus Intan Jaya”. Laporan setebal 30 halaman tersebut diterbitkan bersama oleh beberapa kelompok masyarakat sipil, yakni YLBHI, Walhi Eksekutif Nasional, Pusaka Bentara Rakyat, Walhi Papua, LBH Papua, Kontras, Jatam, Greenpeace Indonesia, dan Trend Asia.
Tim Advokasi untuk Demokrasi menyebutkan, baik Haris maupun Fatia ditetapkan sebagai tersangka pada Jumat (18/3/2022) melalui surat pemberitahuan penetapan tersangka masing-masing bernomor B/4135/III/RES.2.5/2022/Ditreskrimsus dan B/4136/III/RES.2.5/2022/Ditreskrimsus. Pemberitahuan tersebut disampaikan kepada keduanya pada Jumat malam, berikut dengan panggilan untuk dimintai keterangan sebagai tersangka pada Senin nanti.
Baca juga : Polisi Diminta Tak Tindak Lanjuti Laporan Luhut dan Moeldoko
Merespons penetapan status tersangka dan panggilan tersebut, Julius Ibrani selaku kuasa hukum Fatia menegaskan bahwa hal yang dilakukan Haris dan Fatia merupakan bagian dari advokasi. Sebab, keduanya memiliki latar belakang pegiat hak asasi manusia, kelompok masyarakat sipil, yang sudah lama bergerak di bidang hak asasi manusia, dengan spesifikasi masyarakat Papua, baik lewat penelitian, pendampingan, maupun pengungkapan kasus-kasus yang terjadi di Papua.
”Artinya, ada kepentingan publik yang menjadi latar belakang dari aktivitas Haris Azhar dan Fatia, termasuk konten Youtube yang dinaikkan, yang kemudian dilaporkan oleh Luhut Binsar Pandjaitan. Itu prinsip pertama,” kata Julius, Sabtu.
Julius menuturkan, sampai detik ini juga tidak pernah ada semacam bantahan, permintaan klarifikasi, ataupun revisi terkait dengan hasil riset yang disampaikan oleh Fatia selaku Koordinator Kontras dalam materi Youtube milik Haris. ”Sehingga tidak diketahui apa informasi yang dianggap tidak benar, apa yang benar, dan apa yang dianggap mencemarkan. Informasi itu absolut ada di tangan pelapor dan ada di tangan penyidik yang tidak kami ketahui sampai detik ini,” katanya.
Dengan demikian, Julius mengatakan, ada prinsip dalam peradilan pidana yang terlanggar. Demikian pula prinsip hak asasi manusia, dalam hal ini hak sipil, bahwa setiap warga masyarakat yang diperiksa—dalam hal ini Haris dan Fatia—wajib mengetahui apa yang disasar dari laporan itu.
Julius menuturkan bahwa sejauh ini tidak satu pun proses atau prosedur yang dilanggar atau tidak ditaati oleh Haris ataupun Fatia. ”Setiap panggilan (dari kepolisian) terus kami respons, setiap pemeriksaan terus kami jawab. Dan, dengan demikian, alur semua pemeriksaan sesuai dengan komitmen dari Fatia itu sendiri, itu adalah bagian juga dari advokasi publik. Perlu diketahui bahwa advokasi publik yang dilakukan oleh Fatia ini juga bagian dari penundukan diri terhadap hukum yang berlaku di Indonesia,” katanya.
Baca juga : Tangani Pengaduan Luhut, Polisi Akan Ikuti Pedoman UU ITE
SKB tiga lembaga
Julius mengatakan, pihaknya juga belum melihat adanya keterbukaan dari pihak kepolisian dalam penerapan Surat Keputusan Bersama (SKB) tentang Pedoman Implementasi UU ITE yang ditandatangani Menteri Komunikasi dan Informatika, Kepala Polri, dan Jaksa Agung. ”Di mana (di dalam SKB itu) ada pembatasan mengenai penerapan Undang-Undang ITE (dalam) kaitannya dengan kepentingan publik. Ini konteks yang dihilangkan selama pemeriksaan,” ucapnya.
Akibatnya, menurut Julius, laporan yang dilakukan Luhut itu menutup alur advokasi yang dilakukan Haris dan Fatia terkait dengan kondisi situasi hak asasi manusia di Papua yang sudah demikian kritis. Demikian pula untuk riset-riset dan advokasi yang dilakukan oleh Kontras dengan Fatia selaku koordinator hariannya.
Julius mengatakan, pihaknya juga belum melihat adanya keterbukaan dari pihak kepolisian dalam penerapan Surat Keputusan Bersama (SKB) tentang Pedoman Implementasi UU ITE yang ditandatangani Menteri Komunikasi dan Informatika, Kepala Polri, dan Jaksa Agung.
Kuasa hukum Haris, Nurkholis Hidayat, menuturkan, pihaknya menyayangkan sejumlah hal terkait upaya-upaya dari terlapor selama ini yang rupanya cukup diabaikan oleh pihak kepolisian. ”Misalkan terkait keberatan-keberatan dari kami, terkait dengan proses hukum acara yang dijalani oleh penyidik ketika melakukan penyidikan kasus ini. Dimulai dari pelanggaran terhadap SKB seperti yang tadi disampaikan, mengenai penerapan ultimum remedium yang dihentikan secara arbitrary, dan pelanggaran hak-hak terlapor yang lain berkaitan dengan transparansi dan kejelasan mengenai dokumen-dokumen atau fakta-fakta peristiwa hukum yang sebenarnya dituduhkan itu masih sangat sumir,” tutur Nurkholis.
Ia mengatakan, pihaknya berpegang teguh dari awal bahwa kasus ini terkait dengan kepentingan publik. ”Apa yang disampaikan atau dilakukan oleh Haris Azhar dan Fatia semata-mata adalah ikhtiar keduanya, niat baik keduanya, untuk melayani kepentingan publik terkait dengan kontrol publik terhadap situasi kemanusiaan dan dugaan eksploitasi sumber daya alam di Papua,” katanya.
Nurkholis menuturkan dari awal pihaknya melihat kasus ini seharusnya tidak layak, tidak memenuhi unsur-unsur pemidanaan, dan tidak sesuai dengan apa yang diatur secara normatif dalam teori kasus mengenai dugaan pencemaran nama baik. ”Apa yang dimaksud dengan tindak pidana pencemaran nama baik itu tidak berlaku untuk sesuatu hal yang bersifat kepentingan publik, juga tidak berlaku untuk sebuah kenyataan yang memang faktual, juga tidak berlaku untuk sebuah kritik atau atas dasar suatu hasil studi,” ujarnya.