Tetapkan Tersangka, Jaksa Agung Janji Kembangkan Kasus Garuda Indonesia
Kejaksaan Agung berupaya mengungkap perkara dugaan korupsi pengadaan pesawat di Garuda Indonesia 2011-2021. Setelah menetapkan dua tersangka, Jaksa Agung masih mengejar kemungkinan ada tersangka lain.
Oleh
NORBERTUS ARYA DWIANGGA MARTIAR
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kejaksaan Agung menetapkan dua tersangka dalam perkara dugaan korupsi pengadaan pesawat di PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk 2011-2021. Sementara jumlah kerugian keuangan negara masih dihitung, Kejaksaan Agung akan mengembangkan kasus ini untuk menemukan tersangka lainnya.
Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin, dalam konferensi pers, Kamis (24/2/2022), mengatakan, hingga saat ini penyidik telah memeriksa 60 saksi yang terdiri dari komisaris, direksi, jajaran manajemen Garuda Indonesia, serta jajaran manajemen di Citilink. Pada hari ini, penyidik menetapkan dua tersangka dalam perkara dugaan korupsi pengadaan pesawat di Garuda Indonesia.
Kedua tersangka itu adalah Setijo Awibowo (SA) selaku Vice President Strategic Management Office Garuda Indonesia periode 2011-2012, yang juga anggota tim pengadaan pesawat CRJ-1000 NG Garuda Indonesia tahun 2011 dan anggota tim pengadaan pesawat ATR 72-600 Garuda Indonesia tahun 2012. Tersangka kedua adalah Agus Wahjudo (AW), selaku Executive Project Manager Aircraft Delivery Garuda Indonesia tahun 2009-2014, anggota tim pengadaan pesawat CRJ-1000 NG Garuda Indonesia tahun 2011 serta anggota tim pengadaan pesawat ATR 72-600 Garuda Indonesia tahun 2012.
”Yang cukup bukti untuk dijadikan tersangka baru dua orang. Nanti kami akan terus kejar, kemungkinan ada (tersangka) yang lain. Mengenai aliran dana ke tersangka, kami akan dalami, setidak-tidaknya memperkaya orang lain,” kata Burhanuddin.
Burhanuddin menjelaskan, Kejaksaan menduga ada penyimpangan dalam proses pengadaan pesawat Bombardier CRJ-1000 dan ATR 72-600 yang dilaksanakan dalam periode 2011-2013. Studi kelayakan dan rencana bisnis pengadaan pesawat di bawah 100 tempat duduk ataupun pesawat berpenggerak baling-baling tidak disusun atau dibuat secara memadai berdasarkan prinsip pengadaan barang dan jasa yang efisien, efektif, kompetitif, transparan, adil, dan wajar serta akuntabel.
”Proses pelelangan dalam pengadaan pesawat Sub-100 Seaters maupun pengadaan pesawat turbopropeller mengarah untuk memenangkan pihak penyedia barang dan jasa tertentu, yaitu Bombardier dan ATR,” ujar Burhanuddin.
Dari hasil penyidikan diketahui, ada indikasi suap dalam proses pengadaan pengadaan pesawat CRJ-1000 dan ATR 72-600 dari pihak pabrikan. Akibatnya, Garuda Indonesia mengalami kerugian ketika mengoperasikan kedua jenis pesawat tersebut.
Kami akan terus kejar, kemungkinan ada (tersangka) yang lain. Mengenai aliran dana ke tersangka, kami akan dalami, setidak-tidaknya memperkaya orang lain.
Sebaliknya, lanjut Burhanuddin, pengadaan kedua jenis pesawat tersebut telah menguntungkan sejumlah pihak terkait, yakni perusahaan Bombardier Inc-Kanada dan perusahan Avions de Transport Regional (ATR)-Perancis selaku pihak penyedia barang dan jasa. Pihak yang diuntungkan lainnya adalah perusahaan Alberta SAS-Perancis dan Nordic Aviation Capital (NAC)-Irlandia selaku lessor atau pihak yang memberikan pembiayaan pengadaan pesawat tersebut.
Terkait dengan perkara tersebut, saat ini penyidik telah mengamankan beberapa barang bukti berupa 580 dokumen. Kemudian penyidik juga melakukan pembedaan atau menerapkan klusterisasi terhadap pengadaan dua jenis pesawat tersebut, termasuk memiliki dokumen persidangan perkara Garuda Indonesia yang telah ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Secara terpisah, pengajar Hukum Pidana dari Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, berpandangan, sepanjang kasusnya tidak sama, terutama untuk subyek hukumnya, Kejagung tetap dapat menyidik dan menetapkan tersangka dalam perkara Garuda Indonesia yang sebelumnya pernah disidik KPK.
”Jadi, yang tidak boleh diperiksa lagi adalah orangnya sama, peristiwanya sama, waktunya sama. Itu yang disebut nebis in idem,” kata Fickar.
Sebelumnya, bekas Direktur Utama Garuda Indonesia periode 2005-2014, Emirsyah Satar, telah divonis penjara 8 tahun dalam kasus suap pembelian pesawat dan mesin pesawat pada Mei 2020. Ia dinilai terbukti bersalah menerima suap dari Direktur Utama PT Mugi Rekso Abadi Soetikno Soedarjo dan melakukan pencucian uang.
Fickar mengatakan, meski Emirsyah tidak boleh ditetapkan lagi sebagai tersangka, ia tetap bisa diperiksa sebagai saksi oleh penyidik. Sebab, bisa jadi dia mengetahui perkara tersebut atau ketika peristiwa pidana itu terjadi, ia tidak melakukannya sendiri.
Penyelidikan Krakatau Steel
Pada kesempatan itu, Burhanuddin menyampaikan bahwa penyidik Kejagung juga melakukan penyelidikan terhadap perkara dugaan korupsi proyek pembangunan pabrik Blast Furnance oleh PT Krakatau Steel (Persero) sejak Oktober 2021. Proyek tersebut dimulai pada 2011 sampai 2019.
Menurut Burhanuddin, nilai kontrak proyek tersebut setelah mengalami perubahan adalah Rp 6,9 triliun. Kemudian, telah dilakukan pembayaran kepada pihak pemenang lelang proyek sebesar Rp 5,3 triliun, yakni konsorsium MCC CERI dan PT Krakatau Engineering.
Pekerjaan proyek tersebut dihentikan pada 2019 meski belum selesai 100 persen. Dan setelah dilakukan uji coba, ternyata biaya produksi pabrik tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan harga baja di pasar.
”Dalam penyelidikan telah ditemukan peristiwa pidana. Oleh karena itu, dalam waktu yang tidak terlalu lama kasus tersebut akan ditingkatkan penanganannya ke tahap penyidikan umum dengan pihak-pihak yang bertanggung jawab adalah pihak Krakatau Steel dan rekanan,” ucap Burhanuddin.
Hingga saat ini, penyelidik telah memeriksa 50 orang. Selain itu, penyelidik juga meminta keterangan kepada ahli, antara lain dengan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP), serta ahli teknis terkait dengan pekerjaan.