Polri Diminta Kembangkan Bank Data DNA untuk Perbaiki Pengungkapan Kekerasan Seksual
Penanganan kasus kekerasan seksual pada perempuan dan anak di kepolisian belum optimal. Diperlukan terobosan ilmiah untuk memperbaiki kesulitan pembuktian yang terjadi selama ini, di antaranya disiapkan bank data DNA.
Oleh
KURNIA YUNITA RAHAYU
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Komisi Kepolisian Nasional mendorong Kepolisian Negara Republik Indonesia untuk membangun bank data Deoxyribonucleic acid (DNA) atau pembawa informasi genetik. Hal itu merupakan kunci penanganan kasus kekerasan seksual pada perempuan dan anak yang jumlahnya terus meningkat dalam tiga tahun terakhir.
Berdasarkan data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, jumlah kasus kekerasan pada perempuan dan anak meningkat dalam tiga tahun terakhir. Pada 2019, kekerasan pada anak mencapai 11.050 kasus, meningkat menjadi 11.279 kasus pada 2020, dan hingga November 2021 sudah terjadi 12.566 kasus kekerasan. Dari sejumlah kekerasan itu, kekerasan seksual mendominasi hingga 45 persen dari total kasus.
Tren serupa terjadi pada perempuan. Jumlah kasus kekerasan yang terjadi pada 2019 mencapai 8.800 kasus, kemudian menjadi 8.600 kasus pada 2020, dan kembali naik menjadi 8.800 kasus hingga November 2021. Dari total jumlah kasus kekerasan itu, 11,3 persen di antaranya adalah kekerasan seksual.
Ketua Harian Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) Benny Mamoto mengatakan, jumlah kasus kekerasan seksual pada perempuan dan anak yang ada ibarat gunung es. Masih banyak kasus kekerasan lain yang belum terungkap karena korban umumnya mengalami trauma dan memiliki hambatan kultural untuk mengakui dan melaporkannya ke kepolisian. Akibatnya, banyak korban yang baru bisa mengakui dan melaporkannya jauh setelah peristiwa terjadi sehingga barang bukti yang diperlukan aparat hilang.
Di kepolisian, kasus-kasus yang dilaporkan pun penanganannya belum optimal. Penegakan hukum atas kasus kekerasan seksual kerap terkendala di ranah pembuktian serta minimnya saksi. ”Banyak kasus yang mandek, tidak bisa diproses karena terbatasnya saksi,” kata Benny dalam seminar bertajuk ”Peran Pusat Laboratorium Forensik Bareskrim Polri dalam Pembuktian Kasus Kekerasan Seksual Perempuan dan Anak dengan Pendekatan Berbasis Ilmiah” di Jakarta, Kamis (24/2/2022).
Banyak kasus yang mandek, tidak bisa diproses karena terbatasnya saksi.
Dalam konteks tersebut, upaya pemecahan masalah selama ini dilakukan oleh Pusat Laboratorium Forensik (Puslabfor) Bareskrim Polri. Institusi itu membuat standar dan mekanisme penyelidikan berbasis ilmiah (scientific criminal investigation), salah satunya mencari pelaku kejahatan dengan metode mencocokkan DNA yang ditemukan di tempat kejadian dengan DNA terduga pelaku. Akan tetapi, Puslabfor belum memiliki bank data (database) DNA sehingga upaya pencocokan DNA masih butuh waktu panjang.
Oleh karena itu, kata Benny, pihaknya mendukung rencana Polri membangun bank data DNA. Kemampuan untuk mengungkap suatu kasus akan lebih kuat jika jumlah data DNA yang tersimpan semakin banyak dari keseluruhan penduduk. Selama ini, kendala pengungkapan kasus umumnya disebabkan tidak adanya pembanding kecocokan dengan profil DNA yang diperoleh dari barang bukti dan tempat kejadian. ”Ini juga akan membuat penyidikan lebih efektif, efisien, dan berbasis ilmiah sehingga tidak terbantahkan lagi,” katanya.
Ia menambahkan, metode pencocokan DNA terbukti mampu mengungkap kasus-kasus yang minim petunjuk. Contohnya, kasus pemerkosaan perempuan di Makassar, Sulawesi Selatan, pada 2017. Korban yang melaporkan kasus itu ke kepolisian tidak bisa menjelaskan peristiwa dan pelaku secara detail karena peristiwa terjadi dalam kondisi listrik padam. Namun, dari tempat kejadian, polisi menemukan bukti sehelai rambut.
Setahun setelahnya, polisi setempat menangkap seorang pria karena kasus narkotika. Ia mengaku pernah melakukan pemerkosaan di daerah yang sama dengan laporan pemerkosaan pada 2017. ”Profil DNA dari rambut yang ada di TKP sesuai dengan pria tersebut. Pelaku pemerkosaan pun kemudian terbukti,” ujar Benny.
Contoh lain, ketika terjadi pembunuhan perempuan di Tangerang, Banten, pada 2016. Korban ditemukan dalam keadaan tanpa busana dan cangkul menancap di tubuhnya. Dokter forensik kemudian menemukan bekas gigitan pada tubuh korban. DNA dari bekas gigitan itu diambil dan dicocokkan dengan DNA para saksi hingga ditemukan kecocokan dengan salah satu dari mereka yang ternyata memang telah membunuh korban.
Mahal
Komisaris Besar Arya Perdana, Analis Kebijakan Madya Bareskrim Polri yang bekerja di Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA), mengakui, ada ketimpangan antara jumlah kekerasan seksual pada perempuan dan anak yang dicatat berbagai lembaga dan jumlah kasus yang dilaporkan ke kepolisian. Menurut dia, jumlah kasus yang dilaporkan jauh lebih sedikit. ”Ini juga menjadi perhatian bagi kami karena sedikit sekali korban yang bersedia melaporkan kasusnya,” ujarnya.
Dalam penanganan kasus, pembuktian juga terkendala beberapa hal. Salah satunya pengakuan saksi kunci, yakni korban. Berbagai kondisi sosial yang berkelindan menyebabkan korban enggan menceritakan kembali apa yang dialaminya, padahal itu dibutuhkan dalam proses penyelidikan dan penyidikan. ”Tantangan lain, alat bukti ilmiah itu dibutuhkan, tetapi (prosesnya) mahal,” kata Arya.
Jika wacana pembuktian berbasis ilmiah ini sukses, itu tidak hanya akan membantu terungkapnya tindak kekerasan seksual dan pelakunya. Lebih dari itu, pembuktian ilmiah ini juga secara psikologis merupakan pengakuan akan keberadaan individu sebagai korban.
Kepala Puslabfor Bareskrim Polri Brigadir Jenderal Agus Budiharta membenarkan, pembuktian ilmiah dalam pengungkapan kasus memang sangat dibutuhkan. Sebab, penyelidikan dan penyidikan tidak bisa hanya mengandalkan pengakuan saksi yang tidak bebas dari kemungkinan berbohong. Akan tetapi, tidak bisa dimungkiri, biaya yang dibutuhkan terbilang mahal. ”Biaya pemeriksaan DNA memang mahal sekali, untuk satu kasus bisa sampai Rp 2,5 juta,” katanya.
Namun, hal itu bisa diminimalkan jika pihaknya memiliki bank data DNA karena data DNA seseorang akan disimpan dan bisa digunakan kembali. Selain itu, bank data juga bisa mempercepat penentuan pelaku kejahatan berdasarkan DNA karena bisa langsung mencocokkannya dengan DNA yang ditemukan di lokasi kejadian. Apalagi, Puslabfor Bareskrim sudah memiliki laboratorium pemeriksaan DNA, baik untuk manusia maupun hewan dan tumbuhan.
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Bintang Puspayoga mengapresiasi langkah Kapolri Jenderal (Pol) Listyo Sigit Prabowo yang memiliki komitmen pada penanganan kasus kejahatan pada perempuan dan anak secara lebih baik. Hal itu diwujudkan dengan meningkatkan Unit PPA menjadi direktorat yang akan dipimpin oleh polwan berpangkat brigadir jenderal.
Namun, kata Bintang, terobosan ilmiah dalam penanganan kasus kekerasan seksual pada perempuan dan anak juga dibutuhkan. Tidak bisa dimungkiri, tantangan utama dalam penanganan kasus tersebut ada pada ranah pembuktian. ”Jika wacana pembuktian berbasis ilmiah ini sukses, itu tidak hanya akan membantu terungkapnya tindak kekerasan seksual dan pelakunya. Lebih dari itu, pembuktian ilmiah ini juga secara psikologis merupakan pengakuan akan keberadaan individu sebagai korban,” katanya.
Ia menambahkan, dalam jangka panjang, hal itu akan berkontribusi pada pemulihan dan rehabilitasi korban. Artinya, satu terobosan bisa berpengaruh signifikan bagi semua proses penanganan korban kekerasan seksual secara komprehensif.