Dalam konteks studi kejahatan, kekerasan seksual dikenal dengan istilah ”graviora delicta”, yakni merupakan kejahatan paling serius. Ini menguatkan kebutuhan akan RUU Penghapusan Kejahatan Seksual sangat mendesak.
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·4 menit baca
Kekerasan seksual merupakan isu yang sangat penting. Lebih dari 90 persen sasaran kejahatan ini adalah kelompok rentan, yakni perempuan dan anak-anak. Bahkan, dalam konteks studi kejahatan, kekerasan seksual dikenal dengan istilah graviora delicta, yakni merupakan kejahatan paling serius.
Karena kekerasan seksual merupakan kejahatan serius, penanganan kekerasan seksual tidak hanya memerlukan pendekatan sosiologis, tapi juga memerlukan pendekatan hukum. Oleh karena itu, Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual mendesak dibahas Dewan Perwakilan Rakyat dan segera disahkan menjadi undang-undang.
”Mari kita membuang pandangan jauh-jauh untuk kemudian memasukan RUU Pengahapusan Kekerasan Seksual ini ke dalam ranah hukum pidana administrasi. Ini harus dibuang jauh-jauh. Bagi saya, yang namanya kekerasan seksual ini adalah kejahatan serius,” ujar Eddy OS Hiariej, Guru Besar Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, dalam diskusi virtual ”Urgensi UU Penghapusan Kekerasan Seksual yang Komprehensif” yang digelar Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Kamis (6/8/2020).
Menurut Eddy, ketika kekerasan seksual menjadi hukum pidana khusus, maka menempatkan hukum pidana sebagai primum remedium. Mengapa demikian, karena dari penelitian panjang Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) hingga 2018, ada lebih dari 3.000 kasus kekerasan seksual terhadap anak dan perempuan.
”Namun, yang diproses di pengadilan amat sangat kecil, karena apa? Ada faktor stereotip jender. Seakan-akan ada perempuan atau anak yang melapor, justru dia yang menjadi korban, malah dia bisa dipersangkakan. Seakan-akan perempuan dan anak selalu dipersalahkan, dalam konteks kejahatan seksual ini,” kata Eddy.
Oleh karena itu, untuk menghapus kekerasan seksual, tidak bisa lagi melakukan pendekatan hukum pidana sebagai ultimum remedium (upaya terakhir dalam penegakan hukum), tetapi hukum sebagai primum remediun (sebagai sarana paling utama untuk menegakan hukum).
Diperlukan
Hukum pidana khusus terkait penghapusan kekerasan seksual diperlukan karena sejumlah alasan, yakni Indonesia membutuhkan kaidah hukum yang komprehensif. Itu berarti, yang dibutuhkan bukan semata-mata tindakan represif terhadap pelaku kejahatan, melainkan lebih dari itu, yakni membutuhkan pencegahan hingga penanganan yang komprehensif.
”Ketika berbicara penanganan, bagaimana penanggulangan, kita berbicara bagaimana perlindungan korban, rehabilitasi, pendampingan psikologi, mengobati korban yang depresi, kehilangan masa depan. Ini tidak tertampung dalam hukum mana pun dalam perundang-undangan di Indonesia,” kata Eddy.
Pada bagian lain, Eddy mengingatkan pentingnya perumusan tindak pidana dalam RUU Penghapusan Kekerasan Seksual disertai dengan penegasan setiap unsur dari tindak pidana tersebut. Selain menampilkan unsur pembeda antara tindak pidana yang satu dan tindak pidana yang lain, penguraian setiap unsur amat sangat bermanfaat bagi aparat penegak hukum untuk menjerat para pelaku tanpa keraguan.
Hal itu akan memberi kemudahan kepada penuntut umum terkait unsur-unsur pasal yang harus dibuktikan di persidangan.
Isi kekosongan hukum
Kebutuhan akan UU Penghapusan Kekerasan Seksual juga disampaikan Kepala Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (UPPA) Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Kepolisian Negaea RI (Polri) Komisaris Ema Rahmawati. Ia menegaskan, pihak kepolisian berharap UU Penghapusan Kekerasan Seksual akan memberikan solusi terhadap adanya kekosongan hukum terkait penanganan tindak pidana kekerasan seksual, yang selama ini tidak dapat diproses karena tidak ada UU atau pasal yang mengatur.
”Banyak sekali kasus, misalnya pelecehan dan kasus lain, ternyata belum ada aturan hukum atau undang-undang kita saat ini sehingga harapan kami UU PKS ini nanti menjadi solusi,” ujarnya.
Kendati demikian, dia mengingatkan agar jangan sampai hal-hal yang diatur dalam RUU Penghapusan Kekerasan Seksual bertentangan dengan peraturan yang lain. Apabila itu terjadi, malahan bisa membingungkan penegak hukum dalam melaksanakan undang-undang tersebut.
Ema memaparkan hingga tahun 2020, Bareskrim Polri telah menangani 2.834 kasus persetubuhan, sejumlah 1.804 kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), dan 1.518 kasus pencabulan. Selama ini, kepolisian menghadapi sejumlah tantangan dalam hal pembuktian kasus kekerasan seksual.
Selain Eddy dan Ema, dalam diskusi yang dipandu Staf Khusus Menteri PPPA I Gusti Agung Putri Astrid hadir juga sebagai pembicara Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Livia Istania yang memaparkan situasi perlindungan saksi dan korban kekerasan seksual yang selama ini ditangani LPSK.
Anggota Komisi VIII DPR yang juga Ketua Presidium Kaukus Perempuan Parlemen Republik Indonesia (KPP) Diah Pitaloka memberikan apresiasi terhadap diskusi-diskusi tentang RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Banyaknya diskusi pasca-DPR mengeluarkan RUU Penghapuan Kekerasan Seksual dari daftar program legislasi nasional (proglegnas) prioritas menunjukkan perhatian publik yang tinggi terhadap RUU tersebut.