Menko Polhukam Mahfud MD: Mendayung di Antara Dua Kepentingan
Pemerintah tidak membiarkan terjadinya kekerasan-kekerasan politik, tetapi juga tidak represif terhadap masyarakat yang menyampaikan aspirasi. Sebab, dinamika masyarakat dipandang sebagai bagian dari demokrasi.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI, IQBAL BASYARI
·6 menit baca
Berdasarkan hasil survei Litbang Kompas pada Januari 2022, tingkat kepuasan publik terhadap pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Ma’ruf Amin meningkat. Dari 66,4 persen pada survei serupa pada Oktober 2021 menjadi 73,9 persen dalam survei akhir Januari 2022. Bahkan, jika dibandingkan dengan survei berkala yang dilakukan sejak 2015 atau pada awal masa pemerintahan Presiden Jokowi, tingkat kepuasan publik saat ini berada di titik tertinggi.
Naiknya apresiasi publik itu berbanding lurus dengan peningkatan kepuasan publik pada empat bidang utama, yakni politik dan keamanan yang meningkat 6,8 persen; penegakan hukum (5,3 persen); ekonomi (6,1 persen); serta kesejahteraan sosial (9,7 persen). Kepuasan tertinggi berada di bidang kesejahteraan sosial (78,3 persen) serta politik dan hukum (77,6 persen).
Bagaimana Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD melihat penilaian publik tersebut? Apa langkah selanjutnya setelah publik puas terhadap kerja pemerintah? Berikut petikan wawancara secara daring Kompas dengan Mahfud MD pada Jumat (18/2/2022):
Bagaimana melihat hasil survei Kompas yang menunjukkan mayoritas publik puas dengan kinerja pemerintahan Jokowi-Amin, di tengah tak sedikit suara yang kerap menyatakan sebaliknya?
Saya gembira karena masyarakat umum atau penglihatan masyarakat itu secara umum bagus. Buktinya, semua survei mengatakan baik. Artinya survei itu ada metodologinya. Terima kasih kepada masyarakat yang melihat fakta secara obyektif. Tingginya kepuasan publik jadi modal sosial dan politik untuk pembangunan demokrasi ke depan tentunya.
Khusus di bidang politik, keamanan, serta penegakan hukum, peningkatannya juga lumayan baik. Dari sudut pandang pemerintah, apa yang menyebabkan hal itu?
Kami mencoba merawat bahwa dinamika masyarakat itu sebagai bagian dari demokrasi. Oleh sebab itu, kami tidak membiarkan terjadinya kekerasan-kekerasan politik, tetapi juga tidak represif. Jadi, bagaimana agar bisa mendayung di antara dua kepentingan. Di masyarakat ada kebutuhan menyampaikan aspirasi, sedangkan di pemerintah juga ada kebutuhan agar negara tidak pecah dan koyak. Oleh karena itu, inilah yang coba kami rawat.
Apakah bisa dijabarkan upaya yang dilakukan untuk mendayung di antara dua kepentingan itu?
Misalnya, pemerintah itu pada pertengahan Desember lalu memastikan mengajukan revisi UU ITE (Informasi dan Transaksi Elektronik). Sebelumnya, materi dari revisi UU ITE itu sudah dituangkan dalam materi SKB (Surat Keputusan Bersama) Menkominfo (Menteri Komunikasi dan Informatika), Kapolri, dan Jaksa Agung.
Semuanya memberi ruang kepada masyarakat untuk menyampaikan aspirasinya, untuk menyampaikan pendapatnya tanpa tindakan represif dari aparat keamanan. Itu yang sekarang kita rasakan, dan saya mendapatkan konfirmasi dari hasil survei ini bahwa politik dan keamanan berjalan cukup baik setahun terakhir.
Bagaimana dengan bidang penegakan hukum, meski hasil survei menunjukkan ada peningkatan, angkanya di bawah kepuasan publik di bidang politik dan keamanan serta kesejahteraan sosial?
Waktu saya awal menjabat Menko Polhukam, indeks di bidang hukum cuma 49,4, tidak sampai 50. Lalu sedikit demi sedikit kami perbaiki hingga sekarang 65,9 persen publik puas. Artinya kami sedikit demi sedikit berhasil memperbaiki.
Perbaikan ditunjukkan misalnya dengan kasus-besar yang kami dorong untuk tuntaskan. Kasus BLBI, misalnya. Selama 22 tahun berdebat di televisi, saya bilang saya akan berhenti berdebat, dan saya akan bertindak. Sekarang lebih dari Rp 27 triliun disita. Kami akan kejar semua.
Kemudian kasus dugaan korupsi pengadaan satelit di Kementerian Pertahanan. Dorongan pemerintah agar kasus itu diusut juga mendongkrak kepuasan publik. Orang berpikir personel TNI tidak berani untuk ditindak ternyata bisa. Selain itu, pengusutan kasus Asabri, Jiwasraya, Garuda Indonesia oleh Kejaksaan Agung. Semua dilakukan tindakan-tindakan hukum.
Ada pula kebijakan nasional kami tentang penyelesaian perkara secara damai yang disebut restorative justice. Keadilan restoratif itu akan memberikan peluang setiap perkara diselesaikan secara baik-baik kalau tidak luar biasa. Misalnya, orang telanjur ngomong salah dan fitnah, sudah dipertemukan jangan dibawa ke pengadilan. Kalau bisa didamaikan, kenapa tidak didamaikan.
Kami usahakan jaga kepuasan publik ini, meskipun suatu saat bisa turun, apalagi hukum tidak semata-mata di tangan pemerintah. Tetapi, kami semua akan jaga dan perbaiki kekurangan yang ada.
Bagaimana menjaga atau bahkan meningkatkan kepuasan publik terhadap pemerintah? Tantangan tidak ringan, salah satunya banyak pengamat melihat tahun ini sudah mulai masuk tahun politik.
Ada beberapa langkah yang kami lakukan. Kami terus melakukan dialog-dialog dengan partai politik, perguruan tinggi, terus terang saya juga sering mendengar aktivis-aktivis LSM (lembaga swadaya masyarakat) ke kantor saya untuk mendengarkan kritik dan saran mereka, dan kami juga harus melakukan apa. Itu kami lakukan dan kemudian kami siapkan berbagai instrumen hukum yang dibutuhkan untuk menyongsong Pemilu 2024 termasuk instrumen-instrumen institusinya.
Apa contohnya?
Misalnya, pemerintah dan DPR baru saja memilih komisioner KPU dan Bawaslu untuk menyongsong Pemilu 2024. Kami juga sudah mulai berkomunikasi dengan berbagai masyarakat tentang pengisian jabatan-jabatan penjabat kepala daerah, karena sekian banyak kepala daerah yang akan berakhir masa jabatan 2022-2023 untuk menuju Pilkada 2024. Instrumen hukum, institusi kelembagaan, dialog dengan kekuatan masyarakat dan parpol terus dilakukan agar 2024 tidak terjadi ledakan di masyarakat.
Terkait penanganan oleh aparat keamanan saat mengatasi penolakan warga atas penambangan untuk bendungan di Wadas beberapa waktu lalu, bukankah hal itu bisa melunturkan kepercayaan publik pada pemerintah?
Jadi begini, kami punya instrumen untuk menilai yang terjadi di lapangan. Kalau kami percaya di medsos, enggak bener juga, ya. Karena yang di medsos itu juga terkadang tidak bisa dipertanggungjawabkan. Mungkin, pemerintah terpaksa take down beberapa akun karena membuat berita yang tidak jelas.
Kami punya instrumen, namanya Komnas HAM. Agar obyektif, saya sudah berkoodinasi dan percayakan kepada Komnas HAM. Pertama, kembalikan tugas Anda sebagai fasilitator mempertemukan konflik. Lalu, yang kedua, buat penelitian investigasi yang seobyektifnya dan sampaikan kepada kami. Sekarang belum, tapi dalam satu dua hari saya akan bertemu dengan Komnas HAM. Apa yang menjadi temuan Komnas HAM itulah nanti yang akan kami tindak lanjuti.
Laporan-laporan dari medsos, masyarakat sipil ada benarnya, tetapi banyak salahnya. Percaya, dari aparat mungkin ada yang disembunyikan. Kami, kan, ada instrumen Komnas HAM. Tidak usah dipengaruhi oleh saya, tetapi juga jangan ikut larut pada isu hoaks. Nanti laporan dan pemerintah akan tindak lanjuti itu. Bagi saya, Komnas HAM adalah instrumen negara yang penting dan sangat membantu pemerintah untuk memperkecil risiko-risiko pelanggaran HAM dan tindakan kekerasan.
Secara spesifik, bagaimana dengan tindakan aparat kepolisian saat itu yang dinilai bertindak represif?
Polisi itu, kan, selalu ada di posisi dilematis, kalau ada situasi demo kalau diam akan fatal. Di Jabar (Jawa Barat), pagar-pagar kantor dirobohkan, sementara kalau bertindak dibilang represif. Mempertemukan tugas jaga keamanan dengan menyalurkan orang sampaikan aspirasi dan sikap menjadi tugas yang dilematis, ada risiko-risiko yang harus diambil dan dihadapi.