Pemerintah Buka Keran Masukan dari Masyarakat Sipil Terkait Pembahasan RUU TPKS
Pemerintah berupaya menjamin asas keterbukaan dalam pengembangan substansi Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Konsultasi publik bersama masyarakat sipil dan akademisi mulai dilakukan pemerintah.
Oleh
CYPRIANUS ANTO SAPTOWALYONO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah kini membuka konsultasi publik bersama masyarakat sipil dan para akademisi sebagai upaya menjamin asas keterbukaan dalam pengembangan substansi Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS). Hal ini dilakukan setelah pemerintah mengadakan konsinyering selama tiga hari untuk membahas daftar inventarisasi masalah RUU TPKS tersebut.
”Kehadiran rekan-rekan masyarakat sipil yang terlibat secara aktif untuk berkontribusi dalam menyusun substansi RUU TPKS adalah suatu legacy ke depan,” kata Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko saat memberikan sambutan pada konsultasi publik yang dihadiri kementerian/lembaga terkait serta 80 lebih perwakilan masyarakat sipil dan akademisi secara hibrida, langsung dan virtual, di Jakarta, Kamis (3/2/2022).
Sebelumnya, saat membuka konsinyering penyusunan daftar inventarisasi masalah (DIM) RUU TPKS pada Senin (31/1/2022), Moeldoko memotivasi tim Gugus Tugas RUU TPKS agar dalam menyusun DIM dapat membaca titik-titik yang perlu disempurnakan dari RUU TPKS. Dengan demikian, pada saat nanti disahkan, akan terlahir produk hukum yang paripurna. Regulasi tersebut secara substansi harus bisa menjawab seluruh persoalan, baik dari segi pencegahan, perlindungan korban, maupun pengaturan pidananya.
Kantor Staf Presiden menggelar konsinyering terkait penyusunan DIM RUU TPKS tersebut dengan melibatkan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Kementerian Sekretariat Negara, Kejaksaan Agung, Kepolisian Republik Indonesia, dan sejumlah lembaga terkait. Konsinyering penyusunan DIM ini dilakukan setelah Presiden Joko Widodo menerima naskah resmi RUU TPKS dari DPR.
Dalam sidang paripurna pada Selasa (18/1/2022), DPR mengesahkan RUU TPKS menjadi hak inisiatif DPR. RUU usulan inisiatif DPR tersebut kemudian diserahkan kepada presiden untuk diterbitkan surat presiden (surpres). Sesuai peraturan perundang-undangan, presiden memiliki waktu maksimal 60 hari untuk mengirim surpres ke DPR berikut DIM, yaitu terhitung sejak RUU TPKS disahkan menjadi hak inisiatif DPR.
Moeldoko berharap gugus tugas RUU TPKS segera bergerak melakukan diskusi publik bersama kelompok-kelompok strategis yang suaranya perlu didengar sebagai bahan dalam penyempurnaan DIM. ”Jangan sampai teriak-teriaknya nanti setelah RUU diundangkan. Lebih baik kita berdebat berdarah-darah sekarang ketimbang nanti setelah semuanya disahkan,” kata Moeldoko.
Selanjutnya, pada konsultasi publik yang digelar pada hari Kamis, Moeldoko menuturkan bahwa kolaborasi antara pemerintah dan masyarakat menjadi penting untuk merespons keadaan darurat kekerasan seksual di Indonesia. Data Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan menunjukkan bahwa sepanjang tahun 2020 hingga Juni 2021 tercatat 301.878 kasus kekerasan terhadap perempuan.
”Kolaborasi semua pihak wajib dalam mendukung dan menyempurnakan RUU TPKS karena kedaruratan kekerasan seksual tidak sekadar angka, tetapi daya rusaknya terhadap fisik dan psikis korban perlu menjadi perhatian serius kita semua,” ujar Moeldoko.
Kolaborasi semua pihak wajib dalam mendukung dan menyempurnakan RUU TPKS karena kedaruratan kekerasan seksual tidak sekadar angka, tetapi daya rusaknya terhadap fisik dan psikis korban perlu menjadi perhatian serius kita semua.
Pemerintah dalam menyusun DIM juga mempertimbangkan garis besar konstruksi hukum pidana Indonesia. Moeldoko mengatakan bahwa semua kementerian/lembaga terkait sudah mengkaji dan menyisir peraturan perundang-undangan terkait sehingga RUU TPKS tidak tumpang tindih, tidak menjadi repetisi, dan akan berdiri menjadi norma hukum yang baru.
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak I Gusti Ayu Bintang Darmawati yang turut hadir dalam konsultasi publik tersebut menuturkan, pemerintah selalu mengupayakan penyusunan DIM yang komprehensif, optimal, serta dapat menjawab persoalan dan kebutuhan masyarakat terkait kekerasan seksual, khususnya terhadap perempuan dan anak. ”Sehingga, dalam pembahasan di panja (panitia kerja) nanti tidak akan mengalami kendala,” kata Bintang.