Kebijakan Blokir Internet di Papua, Pemerintah Yakin Tak Melanggar Hukum
Pemerintah mempertimbangkan banding atas putusan PTUN Jakarta yang menyatakan pemerintah melanggar hukum atas kebijakan melambatkan dan memutus internet di Papua dan Papua Barat, tahun 2019.
Oleh
RINI KUSTIASIH
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah meyakini tidak melanggar hukum dalam pembatasan akses internet di Papua dan Papua Barat, tahun 2019, sebagaimana diputuskan hakim di Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta. Karena itu, pemerintah sedang mempertimbangkan banding atas putusan tersebut.
Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G Plate, saat dihubungi, Minggu (7/6/2020), dari Jakarta, mengatakan, pemerintah menghargai proses hukum yang sedang berjalan. Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta pun dihormati, dan pemerintah akan menyampaikan sikap atas putusan tersebut, yakni dengan mengajukan banding ataukah tidak atas putusan tersebut, dalam waktu 14 hari sejak putusan itu dibacakan, 3 Juni 2020.
”Pemerintah yakin tidak berbuat salah atau melanggar hukum dalam kebijakan itu. Putusan itu tentu kami hormati, dan karena ini prosesnya masih panjang, maka harus dicadangkan juga hak-hak tergugat untuk menentukan sikap dalam 14 hari ini, apakah mengajukan banding ataukah tidak,” katanya.
Rabu lalu, majelis hakim PTUN Jakarta, yang dipimpin oleh ketua majelis hakim Nelvy Christin, dan dua hakim anggota, yakni Baiq Yuliani dan Indah Mayasari, menyatakan tindakan tergugat I (Kementerian Komunikasi dan Informatika) dan tergugat II (Presiden RI) yang memperlambat dan memutus akses internet di Papua dan Papua Barat pada Agustus dan September 2019 adalah perbuatan melanggar hukum. Hakim juga menghukum tergugat membayar biaya perkara Rp 457.000.
Gugatan itu diajukan Tim Pembela Kebebasan Pers yang terdiri dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI), SAFEnet, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), KontraS, Elsam, dan Institute for Criminal Justice Reform (ICJR.) Dalam gugatan yang diajukan November 2019, penggugat meminta hakim menyatakan kebijakan pemerintah melakukan pembatasan internet di Papua dan Papua Barat pada Agustus dan September 2019 melanggar hukum.
Menurut Johnny, pihaknya telah berdiskusi dan berkomunikasi dengan pengacara negara terkait dengan tindak lanjut dan upaya hukum selanjutnya atas putusan tersebut. Kemungkinan besar pihak tergugat akan mengajukan banding.
”Potensinya ialah kami akan mengajukan banding. Setelah itu diputuskan, selanjutnya kami akan menyiapkan memori banding. Dalam memori banding itu akan ada argumentasi-argumentasi baru dan landasan UU lain yang menjadi acuan payung hukumnya. Selama ini, kan, yang dipakai hanya UU ITE, dan kami akan mengajukan UU lainnya juga sebagai basis argumentasi,” katanya.
Terkait hal itu, anggota tim hukum penggugat, Muhammad Isnur, mengatakan, pihaknya juga bersiap untuk menghadapi kemungkinan banding yang diajukan oleh tergugat. ”Kami sedang bersiap juga untuk menghadapi banding dari tergugat,” katanya.
Terkait substansi putusan PTUN, Isnur mengatakan, putusan itu patut diapresiasi karena banyak menjadikan pertimbangan hak asasi manusia dalam pertimbangannya.
Dengan putusan PTUN Jakarta menyatakan pelambatan dan pemblokiran internet ini sebagai perbuatan melanggar hukum, menurut Isnur, hal itu juga membuka kemungkinan bagi pihak yang merasa dirugikan oleh kebijakan itu untuk menggugat dan meminta ganti rugi setelah putusan itu dinyatakan berkekuatan hukum tetap.