”The Zone of Interest”, Neraka Genosida di Balik Zona Nyaman
Perlawanan terhadap genosida dilancarkan lewat film ”The Zone of Interest”. Sejarah kelam mestinya bukan untuk diulang.
Cerita di balik peristiwa keji Holocaust berulang kali digambarkan ke dalam layar lebar dengan berbagai sudut pandang. Namun, sisi kelam dan mencekam dari kejadian yang menghilangkan nyawa jutaan penduduk Yahudi di dataran Eropa ini tetap tertuang dengan kental.
Setidaknya, itu yang langsung terasa ketika menyaksikan film The Zone of Interest (2023) besutan sutradara Jonathan Glazer. Meski tak serta-merta memperlihatkan adegan kejam, permainan ironi dengan mengontraskan visual dan audio sekitar justru berhasil mengaduk emosi.
Mundur pada 1997, sebuah film bertajuk Life is Beautiful (1997) garapan Roberto Benigni juga berkisah tentang momen Holocaust di era Perang Dunia II. Guido, peran utama dalam film ini, ditangkap dan dibawa ke Kamp Konsentrasi bersama anak laki-lakinya.
Di sini, Roberto bermain ironi, membalutnya dengan humor yang sejatinya ditujukan untuk menghibur sang anak. Bayangkan melucu di tengah siksaan sebagai tahanan Nazi. Sungguh dramatis dan menyayat perasaan.
Baca juga: Perempuan, Film, dan Ruang Aman
Namun, Glazer yang mengadaptasi secara bebas novel berjudul serupa karangan Martin Amis ini sesungguhnya tidak punya tujuan utama melodramatis. Ia hanya ingin menunjukkan sebuah sejarah beserta fakta untuk mengingatkan genosida pernah terjadi dengan respons para pelaku dan sekelilingnya yang menganggap hal itu suatu yang biasa. Terasa familiar juga di masa kini.
”Alasan saya membuat film ini untuk menyatakan lagi kedekatan kami dengan peristiwa mengerikan yang kami pikir itu adalah masa lalu. Padahal, sebenarnya tidak. Itu juga hidup di masa kini. Ada hal-hal semacam ini yang meningkat dengan tumbuhnya banyak sayap kanan di mana-mana,” ungkap Glazer dalam wawancara dengan The Guardian.
Ironi yang digunakannya dalam film juga ingin menunjukkan bahwa surga bagi seseorang ternyata merupakan neraka untuk orang lain. Auschwitz, Austria, adalah kuburan massal bagi jutaan Yahudi yang disiksa dan dibunuh secara brutal oleh tentara Nazi. Walakin, kawasan tersebut rupanya surga bagi pejabat Nazi dan keluarganya.
Glazer pun menggambarkannya melalui suasana harmonis yang ditampilkan di sebuah rumah luas nan asri milik Komandan Kamp Konsentrasi Auschwitz, Rudolf Höss (Christian Friedel). Di situ, istrinya, Hedwig Hensel (Sandra Hüller), dimanjakan dengan rumah yang nyaman dan pekarangan dengan kebun dan taman bunga yang indah.
Anak-anak mereka juga serasa menikmati libur musim panas sepanjang waktu. Bahkan, narasi seorang keponakan perempuan Höss yang tengah berkunjung menyatakan, ”Ini adalah tempat terindah dan nyaman yang pernah kudatangi.”
Baca juga: ”Godzilla x Kong: The New Empire”, Dua Kekuatan Besar yang Susah Akur
Suara teriakan yang mengiris hati dari para tawanan yang berada di Kamp Konsentrasi di sebelah rumahnya, silih berganti dengan bentakan dan letusan senapan, rasanya hanya serupa angin lalu. Hanya sekali putra Höss mempertanyakan suara rintihan yang didengarnya ketika tengah berkuda bersama ayahnya.
Selain bermain dengan suara sebagai simbol, sedikit visual dan paduan dialog juga merepresentasikan kekejian yang dilakukan Nazi. Seperti asap hitam yang keluar dari cerobong asap di Kamp Konsentrasi dan potongan tulang mengambang di sungai ketika Höss dan anak-anaknya tengah menghabiskan waktu menjajal kayak di sungai.
Seperti diketahui, para tawanan di Kamp Konsentrasi harus meregang nyawa di dalam sebuah ruangan kedap berisi zat mematikan. Selanjutnya, jasad mereka dibakar dalam krematorium. Sementara itu, tulang yang tak hancur akan dikubur atau ditumbuk menjadi halus dan dilarung ke sungai di sekitar Kamp.
Dalam sebuah dialog, Höss menyebut ruang kedap dengan istilah oven. Ia pun menyetujui pembuatan oven baru dengan muatan yang lebih banyak.
Hal yang menyakitkan, obrolan tersebut dihadirkan dengan nuansa biasa sehari-hari. Begitu pula ketika Hensel memperoleh bungkusan berisi tumpukan baju yang merupakan rampasan dari para tahanan di Kamp Konsentrasi. Ia langsung menjajalnya di depan cermin, bahkan mengumumkan kepada anak-anaknya masing-masing berhak mendapat satu baju atau apa pun dari bungkusan itu.
Cara Glazer menyuguhkan keseharian keluarga Höss yang damai sejahtera disandingkan dengan suara-suara miris yang bersebelahan ini menjadi alarm bagi dirinya, juga bagi banyak orang. ”Lagi-lagi, film ini tentang masa sekarang, tentang kita dan segala kemiripan kita dengan para pelaku. Bukan dengan para korban,” ujarnya.
Baca juga: Gaung Suara Dunia untuk Palestina di Qatar
Personal
Oleh karena itu, Glazer secara terang-terangan, dalam pidatonya ketika menerima Academy Awards pada awal Maret 2024 lalu, menyinggung perlawanan terhadap genosida di Palestina. Pidato itu langsung mendapat respons negatif dari kumpulan sutradara Yahudi di Hollywood.
The Zone of Interest meneruskan estafet dari Life is Beautiful, yaitu sama-sama masuk nominasi Oscar untuk kategori film terbaik dan film asing terbaik. Keduanya juga sama-sama memenangi kategori film asing terbaik. Dua film yang mengangkat Holocaust ini pun berkibar di Festival Film Cannes, meraih penghargaan Grand Prix.
Glazer yang merupakan seorang Yahudi sangat dekat dengan peristiwa Holocaust. Namun, di tengah keluarganya, hal itu tak pernah diperbincangkan. Bahkan, sang ayah mengaku marah dan jeri ketika mengetahui Glazer sedang menggarap film tentang Komandan Kamp Konsentrasi di Auschwitz, Rudolf Höss. Akan tetapi, Glazer merasa perlu untuk membuat film ini.
Berbekal novel Martin Amis yang terbit pada 2014 dan dirombak secara masif, atau malah bisa dibilang Glazer hanya menggunakan judulnya saja, The Zone of Interest, mengingat secara isi sangat berbeda, Glazer mulai bekerja. Pertemuan dengan sosok Alexandra saat tiba di Auschwitz juga memperkuat dirinya.
”Alexandra adalah sosok gadis hitam putih di dalam film yang dilihat Höss pada malam hari seusai membacakan dongeng ke anaknya. Alexandra benar ada. Saat berjumpa, ia sudah berusia hampir 90-an,” ujar Glazer yang merampungkan film ini selama 10 tahun.
Apa yang dilakukan Alexandra dalam film, yaitu meletakkan apel-apel di sepanjang jalan menuju amp Konsentrasi agar para tahanan yang digiring bisa mengambil apel itu untuk dimakan, benar terjadi. Bagi Glazer, Alexandra adalah anomali yang merupakan cerminan jiwa bersih yang masih ada di dunia ini. Untuk itu, Alexandra direpresentasikan dengan thermal photography yang membuatnya bercahaya di tengah gelap walau bentuknya semacam siluet dalam klise negatif film.
Selain kehadiran Alexandra, Glazer ternyata memakai rumah asli yang pernah digunakan Höss sekeluarga untuk shooting. Situasi Kamp Konsentrasi juga menggunakan area yang sama persis dengan keadaan aslinya. ”Semua (pengambilan gambar) dilakukan di Austria. Cukup kaget juga rumahnya masih ada dan sama dengan yang ada di dokumentasi foto milik keluarga Höss,” ungkap Glazer.
Di sisi lain, Hüller yang memerankan Hedwig Hensel berharap film ini makin membuka wawasan mengenai Holocaust dan tidak dijadikan pembenaran untuk melakukan genosida lagi terhadap siapa pun dan kalangan mana pun. ”Aku kaget sekaligus merasa ngeri ketika memerankan Hedwig. Sosok ini seperti mati rasa atau entah bagaimana bisa tidak peduli dengan apa yang dilakukan suaminya dan yang terjadi di sekitarnya,” kata Hüller.
Tak ada alasan bagi yang punya hati untuk tak melawan apa pun bentuk kejahatan kemanusiaan, bukan?