Keindahan yang Beracun
Keindahan tidak lagi ditawarkan sekadar untuk mata, tetapi juga menjadi narasi untuk menyentuh hati.
Ada saatnya keindahan itu beracun sehingga lebih baik dipandang saja dan jangan disentuh. Pesan ini begitu mendalam dari sebuah lukisan bunga mekar dan menyegarkan bahwa keindahan tidak lagi ditawarkan sekadar untuk mata, tetapi juga menjadi narasi untuk menyentuh hati.
Lukisan bunga karya Elma Lucyana Christin (30) itu berjudul ”Lily of the Valley” dengan media campuran di bidang lingkaran berdiameter 140 sentimeter. Karya ini ditampilkan di dalam pameran Fur & Foliage di Galeri Artloka, Jakarta Art Hub, di Wisma Geha, Jakarta, yang dibuka pada Sabtu (16/3/2024) dan berlangsung hingga 6 April 2024.
”Lily of the Valley” semacam bunga bakung atau bunga trompet kecil-kecil yang tumbuh di daerah subtropis. Ketika disentuh dan ada bagian bunga yang masuk ke mulut, maka akan meracuni sistem pencernaan tubuh kita.
Baca juga: Begitu Banyak Seniman Kita
”Ini cerita tentang bunga beracun yang indah. Saya ingin menyampaikan bahwa tidak semua yang indah itu bisa disentuh,” ujar Elma, perempuan asal Bontang, Kalimantan Timur, yang menempuh studi Desain Interior di Universitas Trisakti, Jakarta, 2013-2018.
Sejak 2013 hingga sekarang, Elma menetap dan berkarya di Jakarta. Ia memutuskan untuk melukis sejak 2020 ketika menjalin hubungan dengan rekannya yang juga berprofesi sebagai pelukis.
”Ketika pertama kali berhadapan dengan bidang kanvas, saya merasa bingung untuk memulai melukis apa. Kemudian terasa mengalir begitu saja untuk menggambar sebuah bunga,” kata Elma.
Elma menyadari alam bawah sadarnya mulai bekerja. Sejak kecil ia sudah mengakrabi bunga karena ibunya di Bontang memiliki pekerjaan sebagai perangkai bunga. Ibunya memiliki usaha bunga rangkai untuk berbagai keperluan, seperti pernikahan dan dukacita.
Ibunya menggunakan berbagai jenis bunga, baik bunga hidup maupun bunga tiruan. Yang paling melekat di ingatan Elma, ibunya paling sering merangkai berbagai jenis bunga anggrek dan dipadu dengan daun asparagus.
Sejak kecil itu pula, Elma suka menggambar. Selain itu, Elma suka menyusun berbagai benda yang ada di sekitarnya. Benda-benda itu disusun dan memiliki keindahannya tersendiri. Ia membayangkan, kesukaannya itu seperti aktivitas ibunya dalam merangkai bunga, hanya saja berbeda medianya.
”Di saat melukis, ternyata keinginan merangkai benda-benda itu juga tumbuh kembali. Saya mulai mengembangkan teknik kolase di bidang kanvas saya, hingga kemudian sampai membentuk lukisan bunga tiga dimensi yang menjadi semipatung di bidang kanvas saya ini,” ujar Elma.
Kanvas lukisan berubah menjadi bagian kerangka untuk melekatkan bunga-bunga tiga dimensi. Elma menggunakan kawat serta kertas untuk memainkan bentuk kelopak bunga. Ia menyebutnya sebagai semipatung karena lukisan warna-warni bunga masih terasa dominan.
”Aku mengizinkan pengunjung untuk menyentuh setiap karyaku,” ujar Elma.
Tentu karyanya yang diberi judul ”Lily of the Valley” pun bisa disentuh pengunjung karena itu bukan bunga asli yang beracun. Di sinilah Elma mulai memainkan dunia pesan dan konteks karyanya memasuki dunia seni rupa kontemporer. Tidak semua yang indah bisa disentuh karena keindahan bisa beracun.
Bunga menembus sangkar
Elma menampilkan juga tiga karya kupu-kupu dalam bentuk tiga dimensi. Ia menggunakan gantungan baju menjadi bagian kerangka penting sebagai simbol kupu-kupu ibarat pakaian keindahan yang bisa dikenakan siapa saja, termasuk dirinya.
Karya ini tercipta pada tahun 2023 ketika ada peristiwa yang membuat diri saya merasa seperti berada di dalam sangkar. Terpikir waktu itu, aku seperti bunga yang harus bisa menembus sangkar itu.
Kemudian ada satu lagi karya yang diberi judul ”Hidden Chamber”. Elma menggunakan separuh sangkar burung yang terbuat dari besi dan dipesannya dari Jepara, Jawa Tengah.
Elma meletakkan bunga-bunga di dalam sangkar burung itu. Bunga-bunga yang tumbuh di dalam sangkar itu diibaratkan dirinya yang bisa tumbuh menembus sangkar.
Elma berbicara tentang ketiadaan batasan dalam berkarya seni. Ketika kita memulai berusaha di bidang seni, segala sesuatu harus dilakukan untuk menembus setiap batasan yang kita rasakan.
”Karya ini tercipta pada tahun 2023 ketika ada peristiwa yang membuat diri saya merasa seperti berada di dalam sangkar. Terpikir waktu itu, aku seperti bunga yang harus bisa menembus sangkar itu,” ujar Elma.
Elma lewat karya-karya seninya memasuki dunia bunga. Ia menyebut, saat ini tengah menyusun ensiklopedia bunganya sendiri. Ensiklopedia ini kisah tentang dirinya sendiri.
Selain Elma, peserta pameran di Artloka lainnya meliputi Mohammad Taufik (Emte), Sakia Gita Sakanti, dan Tulus Mulia. Pameran bertemakan dunia tumbuhan dan binatang ini mendapatkan respons yang unik.
Mohammad Taufik, yang akrab di sapa Emte, menyuguhkan sembilan lukisan dengan tema perilaku kucing piaraan. Masing-masing dengan media cat akriliks di atas kanvas berukuran 50 cm x 50 cm.
”Saya juga memelihara kucing. Dengan memelihara kucing, saya bisa merasakan lebih tenang, damai, bahkan bisa mengobrol dengan kucing walaupun seperti ngobrol sendiri,” ujar Emte.
Emte menampilkan lukisannya dengan unik. Ia melukis figur dan benda di sekitar kucing dengan warna monokromatik hitam. Kucingnya sendiri diberi warna merah muda.
Setiap narasi keseharian ditampilkan untuk setiap lukisannya, misalnya dari lukisan tentang figur perempuan di meja makan. Ia duduk bersama kucing di sebelahnya. Ada sepotong roti, secangkir minuman, dan sebuah buku di atas meja.
Emte memberinya judul ”Let Me Tell You a Tail”. Sebetulnya, kata tail ini semacam kata pelesetan untuk kata tale yang berarti kisah atau dongeng. Emte memberikan narasi seseorang di dalam lukisan itu ingin menyampaikan suatu kisah dari sebuah buku kepada kucingnya.
”Judul karya saya sebuah permainan kata untuk kecintaan saya pada kucing,” ujar Emte, seraya menceritakan karya-karya lainnya diberi judul ”I’m Feline Fine”, ”Ro-meow & Juliet”, ”So Fur So Good”, ”Fu-get About It!”, dan sebagainya.
Tanah di lukisan
Jakarta Art Hub menampilkan sejumlah galeri. Di antara beberapa galeri tersebut, ada yang membuka pameran bersamaan dengan tujuan menghadirkan pengunjung sebanyak-banyaknya dalam waktu bersamaan.
Galeri V&V, salah satu galeri yang membuka pameran bersamaan dengan Artloka, bertajuk ”Abstract Perspective: Colors in Motion”. Pemilik Galeri V&V, Wilian Robin, menampilkan sejumlah lukisan abstrak dari beberapa perupa. Salah satu karya lukisan abstrak yang cukup unik ditampilkan Elka Alva (36) asal Lumajang, Jawa Timur, yang menggunakan tanah untuk salah satu warna di dalam lukisannya. Elka menampilkan tiga lukisan abstraknya yang diberi judul ”I Can’t Wait” (2024), ”Apa Kamu Benar-benar Menangis?” (2020), dan ”Ucapan Selamat Malam Terbaik” (2019).
”Awal menggunakan tanah untuk warna lukisan saya ketika kanvas yang saya letakkan di luar studio terdapat bekas cipratan tanah yang terkena air dari keran. Ini terjadi sekitar tahun 2014,” ujar Elka, lulusan Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta periode 2009-2014.
Elka menceritakan pengalamannya. Setelah lulus dari ISI Yogyakarta, ia pulang ke Lumajang selama delapan bulan. Di sana ia membantu orangtuanya untuk mengurusi ternak ayam.
Elka kemudian kembali lagi ke Yogyakarta. Ia menumpang di rumah kos yang dijadikan studio teman seangkatannya yang berasa dari Bali. Di situ ada halaman rumah yang digunakan Elka untuk mempersiapkan kanvas lukisannya.
Ketika mendapati kanvasnya tertoreh tanah, Elka tidak buru-buru untuk membersihkannya. Ia menatapnya dengan saksama dan merasakan ada unsur keindahan dari cipratan tanah basah ke atas kanvasnya.
”Dari peristiwa itu, saya kemudian memiliki rezeki untuk mengontrak rumah sendiri. Di belakang rumah masih terbuka halaman dan di situlah saya mulai mengembangkan banyak eksperimen lukisan abstrak dengan tanah,” kata Elka.
Baca juga: Capung dan Naga yang Tersembunyi
Kanvas mentah atau belum diberi warna dasar menjadi pilihan karena bisa menyerap warna tanah dengan lebih baik. Elka menggunakan berbagai macam metode. Ada kanvas yang dicelupkan di air yang sudah diberi tanah, ada pula kanvas yang digores tanah.
Lukisan terbaru yang dipamerkan berjudul ”I Can’t Wait” berkisah tentang keinginannya untuk tidak menunggu dalam mendapatkan kekayaan. Elka dengan spontan mengutarakan itu. Kedua lukisan abstrak lainnya untuk mengungkapkan perasaan yang sedang dialami.
Jakarta Art Hub saat ini mencakup Galeri Rubanah, Andis Gallery, Sewu Satu, Museum of Toys, Jagad Gallery, Slab, Artloka, V7V Gallery, Rachel Gallery, Unicorn Gallery, Art Agenda, dan Eugene Studio. Selain menyuguhkan keindahan bagi retina mata, banyak pula karya yang ditampilkan mengusung narasi menarik.