Begitu Banyak Seniman Kita
Semua karya memperoleh hak, kesempatan, kedudukan, dan pertanggungjawaban yang sama di hadapan publik.
Di tengah situasi ekonomi yang belum menentu seperti sekarang, aktivitas di bidang seni rupa menjadi salah satu pilihan. Dalam suatu pameran, lewat sebuah ajakan di media sosial dalam rentang dua pekan saja terkumpul karya dari 176 seniman. Ini menunjukkan begitu banyaknya seniman kita.
”Itu saja masih banyak yang tak bisa kami terima lagi. Ruang pameran kami sangat terbatas. Dari 176 seniman, sudah terkumpul hampir 200 karya,” ujar MS Untung, koordinator pameran di Bellevue Art Space di salah salah satu ruang Cinere Bellevue Mall, Kota Depok, Jawa Barat, Rabu (13/3/2024).
Pameran yang digelar bertajuk ”Kecil Itu Keren”. Untung bersama rekan-rekannya mempersiapkan pameran ini dalam kurun waktu sekitar sebulan. Setiap peserta bisa mengikutkan karya dengan media apa saja dan dibatasi berukuran 25 cm x 25 cm. Ketebalannya tak lebih dari 5 sentimeter. Satu peserta boleh mengirimkan maksimal dua karya.
Pameran ini dibuka Inda Citraninda Noerhadi pada 8 Maret 2024 dan akan berlangsung hingga 7 April 2024. Saat Kompas mengunjungi pameran itu, terlihat deretan lukisan yang begitu rapat di ruang yang luasnya sekitar satu petak lapangan badminton. Corak lukisannya cukup variatif, mulai dari abstrak, dekoratif, realis, hingga seni kontemporer dengan media campuran.
Hampir semua karya menggunakan media kanvas persis berukuran sesuai ketentuan. Ada beberapa yang dituangkan ke dalam media kanvas berbentuk lingkaran atau dengan media kertas. Ada pula lukisan yang berukuran lebih kecil lagi.
Dari 176 peserta, Untung memperkirakan sebanyak 70 orang di antaranya tinggal di Jakarta, sekitar 40 orang dari wilayah Jawa Barat. Kemudian dari Jawa Tengah dan Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, Kalimantan, dan sebagainya. Ada satu peserta dari Johor, Malaysia.
Baca juga: Seni Media Baru Bagus Pandega
”Saya memperkirakan ada sekitar 40 persen peserta sebagai seniman akademis. Selebihnya, seniman otodidak,” kata Untung, yang dulunya pegawai negeri sipil di Departemen Pekerjaan Umum dan memutuskan mengundurkan diri pada 1983 untuk menjadi perupa.
Di pameran ”Kecil Itu Keren”, Untung menunjukkan satu karyanya yang turut dipamerkan. Ini terbilang unik, karena itu satu-satunya karya dengan bidang lukisan yang hanya berisi tulisan. Di bidang kanvas berwarna putih itu tertulis dengan cat hitam, ”Rencananya aku mau buat karya yang isinya cuma tulisan saja (Maret 2024).”
Untung menjelaskan, tulisan itu seperti pengumuman semata. Ini mungkin bukanlah suatu karya seni, tatkala begitu saja ditempelkan di suatu dinding bukan ruang pameran.
Berbeda ketika dihadirkan di ruang pajang dalam suatu pameran yang dikemas secara khusus. Tulisan ini akhirnya menjadi sebuah karya seni yang bisa ditelisik pesan dan konteksnya.
Lewat karya itu, Untung memancing sebuah dialektika tentang arti sebuah karya seni dan mengisyaratkan masih dibutuhkannya banyak ruang pameran. Ini mengingat ada sinyal begitu antusias dari masyarakat yang bergerak di bidang seni rupa. Mereka saat ini masih dihadapkan pada persoalan keberlangsungan dalam berkarya, keberlangsungan dalam meniti karier, dan seterusnya.
Kesetaraan
Konsep kesetaraan diusung dalam pameran ini. Untung menuangkan tulisan di sebuah panel, selaku Koordinator Pameran. Di situ dipaparkan, pameran ”Kecil Itu Keren” tanpa kurasi dan seleksi.
”Pameran ini mengusung konsep egalitarianisme. Semua karya memperoleh hak, kesempatan, kedudukan, dan pertanggungjawaban yang sama di hadapan publik. Tidak ada karya yang dipilah-pilah,” kata Untung.
Berbeda dengan pameran lukisan yang lazim digelar di sebuah galeri atau di ruang-ruang mana pun yang selama ini cukup eksklusif. Pihak pengelolanya akan sangat selektif dalam menentukan seniman yang ikut serta berpameran. Catatan kurasi oleh seorang kurator atau pengamat seni seolah menjadi hal yang mutlak diperlukan.
Pada akhirnya, tak ada kesempatan yang luas untuk menampilkan karya-karya seni dari semua lapisan masyarakat. Kesempatan menampilkan karya seni di suatu pameran menjadi terhambat. Inda Citraninda Noerhadi, yang mewarisi pengelolaan Galeri Cemara dan Museum Toeti Heraty di Jakarta, memberi perhatian khusus terhadap persoalan ini.
”Sewaktu saya datang untuk membuka pameran tersebut, saya melihat ada yang sudah biasa ikut berpameran, tetapi masih banyak juga yang belum biasa berpameran. Dari mereka, saya juga mengetahui masih banyak seniman yang masih hidup kurang sejahtera,” ujar Inda.
Bagi Inda, pameran ”Kecil Itu Keren” tanpa kurasi dan seleksi menandakan keinginan untuk menghilangkan eksklusivitas. Meski karya-karya seni berukuran kecil dan ditampilkan di ruang pameran yang kecil, sesungguhnya ini menjadi ruang pameran yang seluas-luasnya.
”Saat ini ekosistem seni rupa kita kehilangan peran kritikus seni. Dari pameran seperti inilah, kita menanti sumbangan pemikiran dari para kritikus seni tersebut,” kata Inda.
Baca juga: Di Atas Panggung Kekalahan Perempuan
Hilangnya kurasi dan seleksi memberikan keleluasaan tersendiri bagi seniman. Selama ini kurasi dan seleksi mungkin saja membebani seniman dalam berekspresi. Pertimbangan wawasan dan selera kurator ataupun pemilik galeri, kemudian diimbuhi wacana pasar, menjadi beban tak terelakkan bagi seniman.
”Kalau selama ini kita melihat pameran seni rupa dan ada catatan kuratorialnya, ternyata kadang kita juga tidak banyak tahu mengenai itu. Dari kuratorial yang panjang lebar, kadang yang tahu, ya, kurator dan mungkin senimannya saja,” ujar Inda.
Dunia seni rupa mengalami pasang surut. Saat ini terlihat antusiasme masyarakat yang cukup tinggi dalam berpartisipasi di bidang seni rupa tersebut. Galeri di Jakarta saat ini juga terus bermunculan. Kegiatan pameran seni berorientasi pasar dan berskala internasional di Jakarta juga tumbuh menggairahkan.
Menurut Inda, agenda-agenda seni rupa seperti itu masih cukup eksklusif dan menampilkan karya seniman yang masih itu-itu saja. Butuh penggarapan sisi ”industri” tersendiri bagi komunitas seni rupa yang kecil dan tidak memperoleh kesempatan yang sama.
Ekspresi kehidupan
Karya seni menjadi ruang ekspresi kehidupan yang dijalani seniman dengan lingkungan di sekitarnya. Karya-karya seni mereka melahirkan pengalaman visual yang menarik.
Seperti karya yang ditampilkan peserta Cahyono ”Iwaneff” Setiyawan berjudul Dua Hati Satu Kepala (2024) dengan media campuran di atas kanvas. Iwaneff melukiskan dua tubuh laki-laki dan perempuan dengan satu kepala yang cukup besar. Untuk bagian lukisan kepala itu, ia menambahkan kacamata bolong berwarna biru. Lukisan rambutnya juga diganti dengan material benang kain goni berwarna kecoklatan.
”Saya ingin merefleksikan kehidupan saya sebagai suami. Saya bersama istri tentu sering menghadapi perbedaan pendapat. Lukisan Dua Hati Satu Kepala ini untuk mengingatkan setiap kali kami berbeda,” ujar Iwaneff asal Blora, Jawa Tengah, yang kini menetap di Jakarta.
Perupa Santoso Prisade menampilkan lukisan yang diberi judul Bibir pada Pantai (2024) dengan media cat akrilik di atas kanvas. Ia melukis sebuah perahu kecil di tengah laut yang tenang. Tampak di kejauhan ada gelombang laut yang cukup tinggi.
Lukisan itu mengisyaratkan dirinya seperti perahu yang tetap tenang meski ombak tinggi di kejauhan seakan ingin menerjang dan menelannya. Judul yang disematkan Bibir pada Pantai ini untuk menandakan posisi perahunya itu seperti bibir. ”Ini berbeda dengan bibir pantai,” ujar Prisade, yang menawarkan sikap hidup selalu waspada terhadap gelombang kehidupan, tetapi tetap bertindak tenang.